Minggu, Oktober 13, 2024

Khilafah: Konsep atau Keniscayaan?

Setiap membaca kisah Khalifah Umar bin Khattab menyusuri kota Madinah guna membantu kaum miskin dan menegakkan keadilan bagi kaum marginal, bergetar rasanya hati ini.

Siapakah kiranya yang tak mau hidup dipimpin oleh pemimpin yang begitu adil, bertakwa, dan dekat dengan rakyatnya?

Romantisme itu seringkali menjadi argumen bahwa kembali kepada sistem khilafah adalah solusi dari segala solusi—dari mulai keadilan, kemiskinan, kebodohan, korupsi, kebanjiran, hingga ketularan virus Korona. Benarkah demikian? Dan benarkah khilafah itu suatu kewajiban bahkan keniscayaan?

Sebelum ke sana, mari kita meneliti kembali sejarah Islam, terutama saat-saat di mana konsep khilafah sebagai sistem pemerintahan pertama kali dibahas, didebat, dan dikembangkan.

Perdebatan Awal Khilafah 

Dalam bukunya Caliphate, sejarawan Hugh Keneddy menilai saat Rasulullah ﷺ wafat, para sahabatnya belum (atau bahkan tidak) memiliki konsep yang jelas tentang kepemimpinan umat selanjutnya. Yang mereka tahu bahwa harus ada pemimpin yang melanjutkan kepemimpinan di sebuah umat yang masih terbilang baru ini. Sebab kalau tidak, maka perjuangan dan capaian Rasulullah ﷺ dalam membentuk umat atau komunitas lintas batas ini bisa menjadi sia-sia. Namun siapa orangnya, apa wewenangnya, dan bagaimana teknisnya itu menjadi perdebatan.

Kaum Anshar awalnya mengklaim bahwa merekalah yang pantas menjadi pemimpin umat Islam. Pasalnya, merekalah tuan rumah di Madinah. Merekalah yang menyambut dan menerima Rasulullah ﷺ dan kaum Muhajirin dengan tangan terbuka saat mereka datang dalam kesusahan. Dan dari Madinah-lah, panji Islam dapat berkibar luas hingga ke semenanjung Arabia.

Kaum Anshar juga adalah mayoritas di kota Madinah. Mungkin karena faktor-faktor ini, kaum Anshar merasa tidak perlu mengundang kaum Muhajirin untuk berkumpul di Tsaqifah Bani Sa’idah guna membahas isu kepemimpinan pasca wafatnya Rasulullah ﷺ.

Kaum Muhajirin, yang diwakili Abu Bakar dan Umar, bergegas datang ke Tsaqifah dan mengutarakan keberatannya. “Nabinya adalah orang Quraisy, maka pemimpin selanjutnya pun harus orang Quraisy. Tak mungkin orang Quraisy menerima orang selain mereka menjadi pemimpinnya,” ujar Abu Bakar menjelaskan dasar penolakannya.

Sejatinya, argumen Abu Bakar juga menegaskan pentingnya memilih tokoh Quraisy sebagai pemimpin dikarenakan posisi terpandang mereka di mata bangsa Arab. Sebab bila tokoh Quraisy yang terpilih, maka kemungkinan besar orang atau kabilah Arab lain yang baru masuk Islam akan condong menerima hasil pemilihan tersebut. Toh, umat Islam saat itu mayoritas adalah bangsa Arab, tentu pemimpinnya harus berasal dari suku yang disegani oleh bangsa Arab.

Namun, jika tokoh dari kaum Anshar yang terpilih, maka ditakutkan akan ada banyak pihak yang menentang hasil pemilihan tersebut. Konsekuensinya, umat Islam yang relatif baru berkembang ini akan tercerai-berai. Dan kalau kaum Quraisy yang di Madinah saja enggan mengakui kepimpinan dari kaum Anshar, bagaimana dengan kaum Quraisy yang ada di Mekkah atau suku-suku Arab yang lain? Begitu kira-kira lingkup argumen Abu Bakar.

Tidak mencalonkan dirinya, Abu Bakar yang rendah hati pun mengajukan dua nama calon pemimpin dari suku Quraisy: Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarrah. Pentolan Mekkah yang relatif baru masuk Islam bernama Abu Sufyan tidak masuk bursa. Walaupun Abu Sufyan orang Quraisy, dia bukan sahabat dekat dan senior Rasulullah ﷺ. Begitu pula tokoh Ahlul-Bait, Ali bin Abi Thalib, yang “baru” berusia 30-an tahun.

Bilal bin Rabah keturunan Habsyah (Ethiopia) dari pihak ibu, Shuhaib bin Sinan (budak Romawi, keturunan Arab), dan Hudzaifah Al-Yaman dari Bani Abs yang tergolong sahabat dekat dan awal Rasulullah ﷺ pun tidak masuk hitungan karena sekalipun memiliki darah Arab, mereka bukan berasal dari suku Quraisy. Yang perlu ditekankan di sini bahwa argumen (superioritas) golongan dan kesukuan masih kuat (setidaknya) pada diskusi awal terkait kepemimpinan pasca Rasulullah ﷺ.

Pendapat Ulama dan Realita di Indonesia

Di kemudian hari, ulama seperti Imam Mawardi, Imam Al-Ghazali, bahkan Al-Bani—mengikuti posisi Abu Bakar—berpendapat bahwa salah satu syarat menjadi khalifah adalah ia harus orang atau keturunan kaum Quraisy. Para ulama tersebut kerap menguatkan argumen mereka dengan mengutip hadis yang mengatakan, “Senantiasa urusan (khilafah/pemerintahan) ini di tangan suku Quraisy sekalipun hanya tersisa dua orang dari mereka (di dunia),” (HR. Bukhari no. 7140 dan Muslim no. 1820).

Menyikapi hal itu, Imam Nawawi berkata bahwa hadis di atas dan hadis sejenis lainnya merupakan bukti bahwa “khalifah itu hanya bisa diduduki orang kaum Quraisy […] juga berdasarkan konsensus para sahabat dan orang-orang setelah mereka.”

Namun demikian, Imam Al-Juwaini dan Mawdudi tak sependapat. Mereka berpendapat bahwa khalifah tidak mesti orang Quraisy asalkan dia orang Islam, taat, dan (yang tak kalah penting) sangat berkuasa. Posisi kedua Imam tersebut mencerminkan realitas politik yang memang dianggap tidak viable lagi untuk menampilkan orang Quraisy sebagai khalifah di mana banyak di antara mereka tidak lagi memegang tampuk kekuasaan.

Tidak ada data berapa jumlah orang atau keturunan Quraisy saat ini yang eligible menjadi khalifah. Kalaupun kita berasumsi seluruh penduduk Saudi Arabia (33 juta jiwa) saat ini adalah keturunan suku Quraisy, itu pun kurang dari 2% jumlah umat Islam di dunia.

Di Indonesia, ada sekitar 500 ribu – 1,5 juta orang (0,5% dari total penduduk Indonesia) yang leluhurnya berasal dari Hadramaut (Yaman). Sebagian dari mereka merupakan keturunan Rasulullah dan/atau suku Quraisy.

Jika dicermati, upaya merealisasikan kekhalifahan di Indonesia tentunya merupakan suatu hal yang tidak viable. Bagaimana mungkin, sebuah sistem pemilihan pemimpin yang sedari awal mengesampingkan 99,5% penduduknya? Di Saudi Arabia masih mungkin.

Orang Indonesia yang ngotot jadi khalifah tentu akan kecewa. Jangankan dia, keluarga Saud yang menjadi penguasa Saudi Arabia sendiri tidak eligible menjadi khalifah. Pasalnya, mereka adalah keturunan bani Hanifah—bukan Quraisy.
Menariknya lagi, Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia (2009) yang mengusung ide khilafah dengan ragam kutipan Al-Qur’an dan hadis tidak satu kali pun menyentuh argumen dan dalil tentang kandidat khalifah itu harus orang Quraisy.

Mungkin topik itu tidak seksi, dan membuat orang Indonesia lari. Namun fakta tidak tercantumkannya hal ini rasanya seperti intellectual dishonesty atau setidaknya intentional omission dari organisasi yang mengaku syar’i.

Seandainya ada pemilihan seperti yang direncanakan oleh manifesto di atas tentu sejatinya Felix Siauw, Munarman, Prabowo, Jokowi, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, bahkan Anies Baswedan tak akan lolos seleksi administrasi (atau nasab) calon khalifah. Kalau Puan Maharani atau Khofifah Indar Parawansa jelas tidak bisa jadi khalifah, menurut manifesto, karena faktor jenis kelamin mereka. Jadi yang eligible siapa? Yang eligible mungkin Habib Rizieq, Habib Bahar, dan para habaib lainnya. Bila ini terjadi, semoga saja Habib Luthfi bin Yahya atau Habib Quraish Shihab yang menang.

Kembali ke Laptop

Baik, kita kembali ke momen di Tsaqifah. Kaum Anshar menghormati argumentasi Abu Bakar tentang pamor suku Quraisy. Memang, bila dibandingkan dengan kaum Quraisy, kaum Anshar yang terdiri dari Suku Aus dan Khazraj bukanlah suku yang terpandang dan bukanlah yang pertama memeluk Islam.

Namun demikian, mereka menyadari bahwa mereka adalah tuan rumah dan mayoritas di kota Madinah. Sebagai jalan tengah, kaum Anshar menawarkan kepemimpinan bersama, yaitu satu orang dari kaum Anshar dan satu orang dari kaum Muhajirin.

Di tengah kebuntuan ini, Umar yang terkenal tegas dan brilian pun angkat suara. Umar pertama mengatakan bahwa tak mungkin ada dualisme kepemimpinan. Selanjutnya, Umar menegaskan bahwa bukan hanya (satu) orang Quraisy yang pantas, tetapi pemimpin yang hendak dipilih harus berjasa dalam Islam dan berkualitas (bertakwa) di antara mereka. Umar pun membaiat Abu Bakar yang berperan penting dalam penyebaran Islam dan terkenal akan ketakwaannya.

Memang dalam lingkungan para sahabat, dapat dikatakan Abu Bakar adalah primus inter pares (yang pertama di antara yang sederajat). Beliaulah orang dewasa pertama yang masuk Islam (selain istri Rasulullah ﷺ Khadijah tentunya), beliaulah yang menemani Rasulullah ﷺ hijrah, dan beliau pulalah yang diminta oleh Rasulullah ﷺ menggantikannya sebagai imam salat—sebuah indikasi kuat tentunya. Di sini, Umar menggarisbawahi faktor merit juga penting, selain tentunya harus orang Quraisy.

Walhasil, di pertemuan terbatas pemuka Anshar dan Muhajirin minus keluarga Rasulullah ﷺ yang sedang sibuk mengurusi pemakaman, Abu bakar terpilih menjadi pemimpin.

Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah pemimpin yang baru terpilih ini harus dipanggil apa? Syeikh (pemimpin suku atau tetua) kah, amir (pemimpin atau pangeran) kah, atau malik (raja) kah?
Pemimpin yang baru terpilih ini sejatinya meneruskan tugas Rasulullah ﷺ dalam memimpin dan menata umat. Seperti rasul walau bukan rasul, ia memiliki dimensi kepemimpinan religi (spiritual) dan kenegaraan (state).

Oleh karenanya, tak bisa disebut syeikh, amir atau malik yang berdimensi kenegaraan saja. Pilihannya pun jatuh pada kata ‘khalifa’ (deputi/wakil ataucpengganti/penerus) yang memang disebut dalam Al-Qur’an dan hadis.

Abu Bakar dengan kerendahan hati memilih titel Khalifaturasulullah (deputi/wakil Rasulullah). Bagaimana Khalifah Abu Bakar memandang dan menerjemahkan posisi khalifah dalam prakteknya? Kita lanjutkan insyaallah di kemudian hari. (Bersambung…)

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.