Sabtu, April 27, 2024

Ketimpangan Pembangunan dan Marginalisasi Masyarakat Miskin

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
Ilustrasi Seorang warga kurang mampu sedang mencuci pakaian di sekitar halaman belakang rumahnya. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Seorang warga kurang mampu sedang mencuci pakaian di sekitar halaman belakang rumahnya. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Pembangunan yang digagas dan dikembangkan pasca-reformasi idealnya harus berjalan berimbang dan tidak melahirkan ketertinggalan antarsektor dan tidak malah memperlebar kesenjangan antarkelas. Tetapi, yang terjadi di Indonesia belakangan ini, berbagai program pembangunan yang digulirkan bukan saja kurang memberikan efek daya ungkit yang signifikan, lebih memprihatinkan malah melahirkan berbagai bentuk ketimpangan sosial ekonomi yang makin parah.

Dalam laporan terbaru Bank Dunia bertajuk “Ketimpangan yang Semakin Lebar” diungkap pertumbuhan ekonomi dalam satu dekade terakhir relatif tinggi dan jumlah penduduk miskin turun dari 24 persen di tahun 1999 menjadi 13,3 persen pada 2014. Ironisnya di saat yang sama 1 persen rumah tangga terkaya di Indonesia menguasai 50,3 persen dari aset uang dan properti nasional.

Berbeda dari sejumlah negara lain di Asia Tenggara yang mampu keluar dari tekanan krisis dan berhasil membangun kelas menengah yang tangguh, sejak 2009 ketimpangan di Indonesia dilaporkan kembali makin lebar. Pada 2012 nilai konsumsi 10 persen warga terkaya setara dengan total konsumsi 42 persen warga termiskin. Pada 2015, nilai konsumsi 10 persen warga terkaya bahkan setara dengan konsumsi 54 persen warga termiskin.

Indonesia dewasa ini disebut memiliki tingkat ketimpangan pembangunan terparah di Asia Tenggara. Sekitar 10 persen orang terkaya di tanah air menguasai 77 persen dari seluruh kekayaan di Indonesia. Ini berarti 200 juta lebih penduduk Indonesia dari kelas menengah ke bawah hanya menikmati distribusi kue pembangunan tak lebih dari 25 persen. Ketimpangan pembangunan seperti ini jika tidak segera ditangani bisa melahirkan efek domino berupa keterbelakangan dan proses marginalisasi masyarakat miskin yang tidak memungkinkan keluar dari apa yang disebut Robert Chambers (1987) sebagai pusaran perangkap kemiskinan (poverty trap).

Sejak reformasi, pemerintah sebetulnya telah menggulirkan dana tidak sedikit dan melaksanakan berbagai program pembangunan yang diklaim pro job dan pro poor. Tetapi, karena tidak didukung fondasi modal sosial masyarakat miskin yang memadai, serta dominasi ekonomi rente dan cengkeraman kekuatan bisnis kapitalisme benar-benar telah mengakar di semua sendiri kehidupan, maka berbagai upaya yang dikembangkan pemerintah untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin tampaknya belum memperlihatkan hasil seperti diharapkan.

Banyak bukti memperlihatkan, selama ini berbagai program pembangunan yang dikembangkan lebih banyak bersifat karitatif, sekadar memperkuat dan memperpanjang daya tahan masyarakat miskin dalam menghadapi tekanan kebutuhan hidup. Alih-alih memberdayakan dan mengembangkan potensi swakarsa dan keberdayaan masyarakat, kenyataan yang terjadi program-program pembangunan yang dikembangkan justru mematikan potensi self-help masyarakat miskin dan menciptakan ketergantungan yang makin kronis.

Di berbagai daerah, mungkin benar angka kemiskinan absolut tidak bertambah, atau bahkan berkurang karena kebutuhan dasar masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan telah disubsidi negara. Namun, di sisi lain, angka kemiskinan relatif dan ketimpangan antarkelas justru dilaporkan makin melebar, karena kesempatan dan kemampuan masyarakat untuk mengakses sumber-sumber produksi dan mengakumulasikan kapital sangat berbeda.

Kelas terkaya masyarakat, karena sejak awal hidup di pusaran kemakmuran, peluang mereka untuk mengembangkan diri justru menjadi lebih terbuka di tengah struktur masyarakat yang terpolarisasi. Di sisi lain, perkembangan ekonomi rente, nepotisme, praktik perselingkuhan seperti kasus “papa minta saham”, dan sebagainya, meski dikritik hanya melahirkan kapitalisme semu di Indonesia, dalam kenyataan tidak mengubah peta struktur kelas dan dampak yang ditimbulkannya.

Danny Dorling (2014), dalam Inequality and The 1% memperingatkan kita semua bahwa bahaya ketimpangan pembangunan sesungguhnya tidak hanya pada aspek ekonomi, seperti perbedaan kesempatan dalam mengakses sumber permodalan dan pasar. Implikasi yang merisaukan adalah karena ketimpangan itu kemudian menimbulkan efek yang dramatis terhadap potensi masyarakat, seperti menurunkan angka harapan hidup, memperkecil prospek kelanjutan pendidikan dan kesempatan kerja masyarakat, dan juga mempengaruhi perkembangan kesehatan mental masyarakat.

Implikasi ketimpangan pembangunan ini sangat mencemaskan. Sebab, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang akan melahirkan efek yang makin memojokkan masyarakat miskin, karena pola pembangunan yang top down dan menafikan kondisi riil masyarakat. Di era persaingan global yang sudah di depan mata, bisa dibayangkan apa yang bisa dilakukan masyarakat miskin di tanah air untuk dapat bertahan–apalagi menang menghadapi iklim persaingan yang makin ketat? Tanpa didukung fondasi dan modal sosial yang memadai, niscaya dengan cepat usaha-usaha yang dikembangkan masyarakat miskin akan terlibas arus investasi dan modal kuat, baik dari tingkat nasional maupun internasional.

Ke depan, ketimpangan pembangunan di Indonesia diprediksi makin menjadi-jadi karena sejumlah faktor. Pertama, pelaksanaan program pembangunan tidak dilandasi fondasi kemampuan dan kepemilikan modal sosial yang benar-benar kuat. Apa yang bakal terjadi ketika program pembangunan digulirkan ke masyarakat yang terpolarisasi dan sebagian besar masyarakat tidak memiliki keterampilan dan kemampuan life skills yang memadai? Jangankan berbicara bagaimana masyarakat mampu mengakses sumber-sumber produksi dan mengembangkan usaha yang layak, dalam banyak kasus, ketika program pembangunan digulirkan, ternyata yang terjadi adalah kesenjangan yang makin lebar karena peluang dan kemampuan masyarakat yang berbeda.

Kedua, pelaksanaan berbagai program pembangunan cenderung hanya mementingkan pertanggungjawaban administratif atau sekadar memenuhi persyaratan nomenklatur nama program, sesungguhnya secara substansial jauh dari memadai. Dalam APBN ataupun APBD banyak program diklaim merupakan bagian dari program penanggulangan kemiskinan. Namun, pelaksanaan program di lapangan sering kali belum mampu menimbulkan daya ungkit yang benar-benar signifikan.

Ketiga, karena kebijakan pembangunan yang dikembangkan cenderung bersifat meritokratis, maka kesempatan masyarakat menengah ke atas, terlebih kelompok 1-10 persen terkaya, umumnya menjadi jauh lebih terbuka untuk mengembangkan deversifikasi usaha dan mengakumulasikan basis kekayaannya. Banyak bukti memperlihatkan, kelompok elite masyarakat dengan pendapatan dan investasi yang bernilai triliunan rupiah, niscaya akan tetap mampu bertahan dan bahkan mengail keuntungan di tengah situasi gonjang-ganjing kondisi perekonomian, karena memiliki fondasi usaha yang dan akses kuat pada pusat-pusat kekuasaan.

Sudah bukan rahasia lagi orang-orang yang masuk daftar 100 orang terkaya di Indonesia umumnya punya berbagai variasi usaha dan sumber penghasilan yang saling menopang, serta memiliki backing elite di berbagai level yang senantiasa bersedia memberikan kemudahan dengan kompensasi yang rasional-kalkulatif.

Untuk mencegah agar di tahun-tahun mendatang ketimpangan pembangunan tidak makin melebar, harus diakui bukan hal mudah. Membangun fondasi kuat agar masyarakat menengah ke bawah dapat mengembangkan potensi swakarsanya, selain membutuhkan program pemberdayaan yang benar-benar serius, yang dibutuhkan tak pelak adalah komitmen pemerintah untuk mengembangkan program-program pembangunan yang berorientasi pada redistribusi aset dan penataan pembagian margin keuntungan yang adil serta proporsional bagi masyarakat miskin.

Bagi masyarakat miskin, mengejar langkah panjang kelompok masyarakat terkaya yang sudah jauh melambung di atasnya tentu merupakan hal yang utopis. Tanpa didukung kebijakan dan program pemberdayaan yang pro masyarakat miskin (power to powerless) dan mekanisme pembagian aset produksi yang berpihak pada masyarakat miskin, peluang mereka untuk memangkas ketertinggalan itu pasti akan tertutup atau minimal.

Di era kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla, berbagai paket kebijakan perekonomian hingga jilid VIII dikeluarkan, yang secara substansial lebih banyak menawarkan kemudahan berinvestasi dan pengembangan usaha domestik, bukan tidak mungkin malah makin memperlebar munculnya ketimpangan pembangunan. Sebab, yang pertama dan paling diuntungkan oleh kehadiran paket-paket kebijakan itu umumnya para pelaku usaha dan golongan masyarakat menengah ke atas yang memang lebih siap memanfaatkan situasi.

Semoga di tahun 2016 pemeritahan Jokowi-JK mampu melahirkan maskot kebijakan dan program pembangunan yang kontekstual dan benar-benar pro masyarakat miskin. Selamat Tahun Baru 2016.

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.