Seorang pembantu presiden mengatakan dalam sebuah acara tentang klaim pengusaha yang ingin pemilu 2024 diundur. Diambil dari berita Tempo ia mengatakan:
“Rata-rata mereka (pengusaha) berpikir, bagaimana proses demokrasi dalam konteks peralihan kepemimpinan jika ada ruang dapat diundur? Alasannya para pengusaha baru menghadapi persoalan pandemi Covid-19 dan saat ini perlahan bangkit”.
Tidak ada yang salah dalam pernyataan tersebut karena rasionalisasinya adalah force majeur alias pandemi, tetapi yang menjadi pertanyaan hal ini harusnya bisa dijawab oleh pemerintah dan pengambil keputusan di negeri ini dengan cepat. Bahwa pemikiran akan mengundurkan proses demokrasi tidaklah menjamin juga adanya kebangkitan yang signifikan dari pengusaha itu sendiri.
Setiap pengusaha sejatinya di era seperti sekarang ini tentu ingin mendapatkan profit yang sebesar-besarnya untuk menutup kerugian yang mereka dapatkan selama kejadian force majeur seperti pandemi Covid-19 ini. Mereka secara sadar atau tidak menggunakan metode Surveillance Capitalism (SC) dalam melihat perkembangan negara dengan konteks ekonomi. Metode ini biasa digunakan di negeri liberal seperti America yang melakukan monitoring (surveillance) terhadap masyarakatnya dengan motif ekonomi yang berimplikasi pada politik.
Sependek pengetahuan penulis, model ini tengah merambah ke Indonesia dengan merangseknya kegiatan ekonomi menggunakan modal kapital yang dalam asumsi penulis bukan bagian utama dari sektor ekonomi real yang menjadi kekuatan tulang punggung utama bumi nusantara ini.
Model SC banyak digunakan oleh perusahaan raksasa di Amerika yang melakukan monitoring bukan tujuan untuk mengancam atau membahayakan, tetapi lebih kepada pengawasan terhadap pengguna yang dianggap sebagai aset pemasok data dan objek periklanan bagi korporasi tersebut.
Pengguna the big five seperti Apple, Microsoft, Amazon, Google dan Facebook sadar atau tidak merupakan objek dari SC tersebut dan dalam konteks tertentu dapat juga digunakan sebagai “political weapon” yang menyerang sendi demokrasi atau nama “people power” yang bisa berbeda dengan realitasnya.
Berbeda dengan negeri RRT, di sana model State Surveillance (SS) justru digunakan untuk melakukan monitoring kepada warganya dalam menggunakan berbagai perkembangan dan kemajuan jaman. Dengan model SS, negara dapat membatasi aktifitas warganya yang dapat membahayakan kehidupan pemerintahan dan negara. Ketika ada giat yang cendurung membuat ekonomi sedikit saja terganggu maka segera dilakukan pembatasan sebagaimana RRT menghabisi pengguna mata uang dan penambang kripto.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Pernyataan sang pembantu presiden itu sepertinya lebih condong ke arah Amerika, para pengusaha yang menjadi obyek dalam statement tersebut coba ditabrakkan dengan kepentingan bernegara dan berbangsa dalam ranah politik. Siratan bahwa proses demokrasi dalam konteks peralihan kepemimpinan yang seharusnya sudah bukan lagi dalam ranah pembicaraan, dikarenakan dasar penetapan kehidupan berbangsa dan bernegara melalui proses demokrasi dalam hal ini peralihan kepemimpinan harus dilakukan sesuai dengan aturan perundang undangan.
Harusnya sang pembantu presiden justru memberikan solusi kepada pengusaha dengan berbagai insentif yang menarik mencontoh di beberapa negara maju yang juga mengalami hal yang sama yakin pandemi Covid-19 dengan Indonesia.
Berbagai insentif untuk mengakserasi normalisasi bisnis ekonomi harusnya menjadi fokus utama yang bisa ditawarkan kepada para pengusaha, jika benar mereka adalah pengusaha maka sejatinya mereka akan survive dalam kondisi politik Indonesiabyang semakin dewasa serta lebih tertata.
Kalau sekedar ingin pengusaha yang hanya bisa berusaha karena dekat dengan lingkar kekuasaan dan mendapatkan profit karena selingkuh dengan kekuasaan, ya itu jangan sebut sebagai pengusaha, harusnya KPK masuk dan melihat kegiatannya karena pastinya ada kongkalikong yang terjadi di dalamnya.