Minggu, Desember 8, 2024

Ketika Nasionalisme dan Merah-Putih Hanya Tameng

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.
- Advertisement -

Setiap awal-awal Agustus, terutama menjelang tanggal 17, kita akan melihat pernak-pernik merah putih. Ada berupa gantungan kunci, bendera kecil, hingga bendera besar. Sepintas terlihat, bumi Indonesia akan dipenuhi dengan warna merah putih saja. Hal itu terjadi karena memang hampir di depan setiap rumah, orang-orang akan mengibarkan bendera. Bahkan ada kecenderungan bahwa mereka sedang bersayembara untuk membuat bendera terbesar dan tertinggi.

Di jalanan, seakan tidak mau kalah, setiap kendaraan pun tidak lupa diikatkan dengan bendera. Akhirnya, jalanan pun berseliweran dengan warna merah putih saja. Entah apa dasar filosofisnya. Yang pasti, mereka menyebut semua ini adalah sebagai bentuk lain dari nasionalisme. Pertanyaannya, benarkah itu bukti dari nasionalisme. Kalau benar, sesempit itukah pengertian dari sebuah nasionalisme? Apa sebenarnya nasionalisme?

Dulu, Gubernur Alabama, George Wallace, pernah tidak membiarkan mereka yang kebetulan berkulit hitam untuk sekolah. Baginya, ras kulit hitam adalah budak bagi kaum kulit putih. Nah, melihat itu, JF Kennedy, sebagai presiden saat itu, langsung bereaksi cepat. Dia langsung mengambil alih dan membatalkan aturan bawahannya, George Wallace. Sebagai hasilnya, orang berkulit hitam bisa sekolah, bahkan di tempat yang sama serta syarat yang sama pula. Begitulah nasionalisme.

Nasionalisme tidak sekadar deskripsi tentang persamaan kedudukan. Dalam kontkes kepemimpinan, nasionalisme itu pun bukan semata menjanjikan kesetaraan. Nasionalisme adalah negarawan. Mereka tidak hanya fasih untuk berkata-kata tentang apa nasionalisme. Mereka sudah harus sampai pada titik pemikiran bagaimana kesetaraan yang dipercakapkan benar-benar hadir di depan setiap warga, apa pun agama dan sukunya, serta apa pun jabatannya. Singkatnya, semua orang mempunyai jarak yang sama dengan hukum.

Sayangnya, untuk saat ini, jarak inilah yang sebenar-benarnya masih tidak dimiliki Indonesia. Jarak kita kepada keadilan berbeda satu sama lain. Sekolah dimonopoli orang kaya. Kita masih lebih doyan menggaungkan nasionalisme melalui simbol-simbol. Kita bernyanyi Indonesia Raya setiap upacara, tetapi itu sebatas bernyanyi. Roh nyanyian itu sendiri tidak hadir. Ibarat dalam tubuh, dia adalah tubuh tanpa jiwa. Dihapal, tetapi tak dilakonkan. Yang lebih hebat, tak dihapal dan tak dimengerti seperti seorang menteri yang secara live tak hapal lagu kebangsaan.

Akhirnya, lantunan lagu kebangsaan kita berhenti hanya pada taraf seremonial. Memang, saban hari manakala ada perisitwa nasional, lantunan lagu ini kerap dibuat menjadi rutinitas. Masalahnya, lantunan lagu ini masih pada taraf ritual, bukan spiritual. Masih bernada sama, kita pun kerap menggaungkan Pancasila. Kita bahkan tidak jemu-jemu menggemakannya di setiap kesempatan. Akan tetapi, seperti tadi, kita masih terjebak pada simbol-simbol saja.

Kita hanya saleh dalam aturan protokoler dan lupa pada kesalehan sosial. Lihat, berbagai kejadian yang menyangkut pengerdilan makna pluralisme seringkali terulang. Baru-baru ini dan hingga detik ini, misalnya, umat minoritas selalu dihajar amukan massa melalui “pembatasan” dan penyegelan. Islam di Timur kerap tertekan—seperti yang terjadi di Tolikara—dan Nasrani di Barat jauh lebih tertekan lagi. Kita saling menekan. Seperti biasa, negara melalui polisi memang hadir.

Tetapi, mereka selalu hadir ketika korban sudah berjatuhan. Di sini, pengerdilan fungsi polisi pun benar-benar menemui definisi terbaiknya: menolong korban, bukan mencegah. Masih teringat pernyataan menjengkelkan dari pucuk pimpinan tertinggi Polri untuk sekadar menyebut contoh saja, tepat ketika terjadi kekerasan di Sleman. Baiklah saya kutip pernyataan itu di sini, “jika ada kegiatan bersama-sama, mohon polisi diberi tahu.” Cermati ucapan itu!

Apakah benar bahwa kita harus mengundang polisi untuk menjaga kita setiap hari? Lalu, apakah kita bersalah ketika tertimpa masalah seperti kecopetan karena sebelumnya tidak meminta polisi untuk menemani kita? Percayalah, hal itu masih hanya sebagian kecil. Mereka yang kini duduk di pemerintahan masih lebih kerap berlaku layaknya makelar ketimbang negarawan. Mereka memimpin kita atas dasar keuntungan. Mereka bahkan mengasosiasikan hubungan rakyat dengan pemerintah layakanya hubungan business to business.

Hasilnya, setiap putusan lebih condong karena alasan keuntungan. Maka, jadilah kontrak politik sebagai alat transaksi, bukan alat kontrol. Hal itulah yang kemudian berakibat fatal. Rakyat dikhianati dan ditimpa berbagai aturan yang sarat politis. Maka, jangan heran jika rakyat pada akhirnya mudah terprovokasi.

- Advertisement -

Hal itu terjadi karena secara tidak langsung, pemimpin kerap menerapkan logika kekuatan, bukan kekuatan logika. Jika kalah, kerahkan massa! Sudah terang, mendaratnya paham ekstremisme dan merebaknya politik identitas merupakan indikasi kuat bahwa pemimpin kita gagal.

Kini, bendera kebangsaan sudah berkibar di mana-mana. Tetapi saya tidak setuju kalau bendera itu benar-benar definisi lain dari nasionalisme. Saya justru curiga kalau-kalau  nasionalisme tak berkobar di hati kita. Bukankah selama ini, acap kita lihat bendera-bendera khilafah disandingkan dengan bendera Indonesia dengan kalimat: NKRI harga mati. Di sini, bendera mera putih hanya tameng untuk bendera lain. Karena itulah saya dengan segenap pikiran kotor saya sangat yakin bahwa nasionalisme kita sebenarnya sudah usang.

Tameng dan Alibi

Pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih hanya tameng dan alibi untuk bendera-bendera lain. Jika pun tidak, pengibaran bendera ini hanya sebatas festival, bukan pesta, apalagi perayaan kebangsaan. Seperti kasus Provinsi Alabama tadi, pemimpin kita masih banyak bercokol pada mental George Wallace. Secara sepihak, mereka mengkhususkan diri. Ada yang menerapkan syariat Islam. Ada yang menentangnya di tempat lain. Sayang, pada kasus ini, JF Kennedy tidak hadir menyamakan jarak terhadap hukum.

Malah, jarak itu semakin dilebarkan. Tragisnya, sekolah-sekolah sebagai pundak bagi kita untuk memikul mimpi negara ini pun sudah dirasuki semangat kebencian. Akibatnya, siswa-siswa kita pelan-pelan menjadi peternak kebencian. Percayalah, jika hal ini dibiarkan, beberapa tahun ke depan, akan ada beberapa provinsi yang akan membuat peraturan kekhususan.

Pada saat itu, ketakutan kita menjadi beralasan, terutama pada masa awal-awal Agustus, yang berkibar bukan lagi bendera merah putih, melainkan bendera provinsi, bendera negara lain, bendera paham radikalisme, dan sebagainya.

Jika ini yang terjadi, inilah yang menjadi akhir bendera nasionalisme. Tragisnya, nasionalisme ini akan berakhir karena bendera lambang nasionalisme yang sekarang kita kibarkan itu dibuat menjadi tameng dan alibi untuk bendera-bendera lain. Apakah ini yang namanya post-nasionalisme? Post-nasionalisme dalam artian di mana bendera nasionalisme dibuat menjadi senjata untuk mendapatkan cita-cita sektoralnya? Entahlah.

Yang pasti, saya masih berharap, semoga masih ada jiwa seperti JF Kennedy di negara ini untuk melawan kepicikan.

Kolom terkait

Kita dan Nasionalisme

Merdeka dari Kebencian

Nyinyiran tentang Nasionalisme

Pram, Kata, dan Kuasa

Ben Anderson, Tragedi, dan Rekonsiliasi

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.