Minggu, Oktober 13, 2024

Ketika Kita Bosan Kerja di Kota

Anzi Matta
Anzi Matta
Hobi menulis dan menggambar

muacetKendaraan terjebak kemacetan di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean.

Tiap pagi jalanan dijejali oleh orang-orang yang hilir-mudik membawa tas. Mulai tas kerja, tas tangan, ransel, hingga keranjang belanjaan (itu pun jika memang tidak digantikan oleh kantong plastik). Asap mengepul-ngepul, berbalapan dengan suara klakson dan knalpot kendaraan. Tak jarang satu sama lain berteriak dan memekakkan telinga.

Belum lagi anak-anak bayi dan balita yang digendong, sementara sang ibu—atau bibi atau entahlah perempuan itu—menggendong dan mengais-ngais pada kaca-kaca mobil. Berharap sang punya mobil memberikan sesuatu atau mungkin mereka berharap pada rasa kasihan. Dan kita pun tahu bahwa simpati dan rasa kasihan tidaklah cukup. Semua sibuk bekerja dan harus tahulah orang-orang bahwa bekerja itu melelahkan!

Bekerja adalah sesuatu yang melelahkan, apalagi di zaman yang kerap menuntut lebih dari sekadar makan-minum untuk bertahan hidup—khususnya bertahan hidup di kota. Melelahkan karena kita tahu bahwa kita tidak mendapatkan apa pun jika tidak bekerja.

Bekerja dari Senin hingga Jumat. Beristirahat di hari Sabtu dan Minggu. Berkumpul dengan kerabat di malam Sabtu dan Minggu dan hari Minggu adalah waktu berkumpul bersama keluarga. Sistem kerja yang melelahkan dan memuakkan membuat orang-orang menjadi seperti robot.

Saat pagi, berangkat kerja, menyiapkan tetek-bengek mulai dari pakaian, riasan, dan lainnya. Dan mereka pula yang harus dipusingkan dengan padatnya orang-orang dan kendaraan di jalanan. Ketika pulang kerja, mereka lalu menghadapi hal yang sama. Semua berdesakan, tak sabar untuk pulang ke rumah dan mendapatkan giliran beristirahat. Tak peduli siapa di depan kita: kita semua harus pulang!

Berburu-Meramu hingga Bekerja di Bank

Kita dapat melihat bagaimana lembaga-lembaga masyarakat penghasil pangan berkembang membentuk pertanian hingga sistem kerja, orang-orang yang bekerja di perusahaan-perusahaan, pegawai negeri, hingga bekerja di bank. Dari gaya hidup manusia paling awal: adaptasi pemburu-meramu. Bagaimana kita melihat bahwa zaman berburu-meramu membentuk sistem kerja, seperti laki-laki berburu dan perempuan ditugaskan untuk meramu.

Adaptasi berburu-meramu adalah metode bertahan hidup paling dasar yang dimiliki manusia. Kita mengenal juga dengan istilah nomaden (masyarakat yang tinggal dengan cara berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya. Tidak menetap di wilayah yang sama).

Masyarakat pemburu-meramu masih ada hingga sekarang. Oleh karena itu, metode berburu-meramu adalah tidak hanya metode bertahan hidup manusia yang paling dasar, tetapi juga metode bertahan hidup yang paling lama dalam sejarah manusia. Masyarakat pemburu-meramu dimudahkan dengan metode mereka, di mana mereka mendapatkan sumber daya alam untuk bertahan hidup, tanpa merusak lingkungan mereka.

Pada zaman berburu-meramu, masyarakat hidup berkecukupan. Tapi, pada saat ini, pada zaman ini, adalah hal yang lain. Masyarakat pemburu-meramu di zaman modern justru tinggal dalam kemiskinan. Masyarakat-masayrakat tradisional yang menerapkan metode berburu-meramu seperti di Afrika dan India bekerja keras namun tetap merasakan kelaparan. Hal yang masuk akal jika kita menyadari adalah sumber daya alam dan kondisi iklim saat ini yang berbeda seperti zaman dulu—yang mana ketersediaan pangan berkecukupan dan bahkan melimpah.

Pembagian kerja berdasarkan kelamin bahkan tidak ada pada masyarakat pemburu-meramu, tetapi masyarakat agrikultur. Laki-laki tidak selamanya berburu dan perempuan tidak selamanya meramu. Hanya saja perempuan harus mengalami masa kehamilan, di mana mereka harus beristirahat. Seperti bagaimana laki-laki tidak selamanya berburu, terutama di iklim panas, karena hanya membuang-buang waktu dan tenaga yang tidak produktif.

Lalu di mana ada masa perubahan masyarakat pemburu-meramu menjadi masyarakat penghasil pangan yang mengenal sistem pertanian. Pertanian dibentuk agar masyarakt mendapatkan pangan dari bercocok tanam yang kemudian mendapatkan pangan dari hasil panen dan hewan ternak, di mana waktu dan tempat telah ditentukan. Corak produksi telah berubah. Kebutuhan selalu berubah ditambah jumlah penduduk dan daya penduduk yang tidak statis.

Kemajuan teknik pertanian menyebabkan produksi menjadi besar dan banyak. Hingga akhirnya berkembanglah masyarakat industri, di mana individu-individu dikenalkan dengan sistem pembagian kerja dengan spesialisasi di bidang kegiatan lain selain pertanian. Kemudian kita mengenal dengan pandai besi, tukang kayu, dan lainnya.

Ekonomi industrialisasi sendiri menurut klasifikasi Jean Fourastie terbagi menjadi tiga. Pertama, produksi komoditas berupa pertanian, peternakan, dan eksploitasi sumber daya mineral. Kedua, proses produksi barang. Ketiga, layanan industri. Saat itulah masyarakat harus merasa menyusuaikan dirinya dengan zaman.

Terjadilah urbanisasi, yang mengakibatkan timbulnya susunan sosial baru dengan masyarkat berstratifikasi dengan pekerjaannya dan kemudian menciptakan status sosialnya. Dan hubungan sosial individu-individu menjadi lebih formal, terbentuklah lembaga-lembaga dalam masyarakat, seperti misalnya lembaga politik.

Bagaimana kita melihat bahwa spesialisasi pekerjaan di bidang ekonomi-politik adalah sesuatu yang memiliki prestise sosial. Tidak hanya dapat bertahan hidup untuk memenuhi kebutuhan pangan harian, tetapi juga “bertahan hidup di kota”.

Kebosanan di Depan Layar
Spesialisasi pekerjaan membuat orang-orang merasa bahwa mereka memiliki hasrat dalam bekerja. Mereka lelah, mereka menggerutu akan itu, tetapi mereka harus bekerja. Karena mereka harus mendapatkan sepasang sepatu keluaran terbaru dari Adidas ataupun furnitur IKEA yang memenuhi estetika di ruang tamu mereka. Maka siapa pun yang berkunjung akan mengatakan beberapa pujian yang membuat kita merasa cukup bangga bahwa kita sudah “bekerja dengan baik”.

Banyak para karyawan dan pekerja lainnya yang menghabiskan sebagian besar waktunya di depan layar komputer—belum lagi jika mereka bergerak di bidang media sosial dan harus menghabiskan kembali waktunya di depan layar telepon pintar mereka. Dan kita tahu bahwa sebenarnya tidak ada yang begitu kita masalahkan dengan perkembangan teknologi ini dan kemudahan kita menerima ini. Tetapi, pekerjaan membuat kita bosan.

Spesialisasi inilah yang kemudian dibantu dengan tes MBTI (Myers-Briggs Type Indicator) atau psikotes yang dirancang untuk menentukan bakat atau kecerdasan seseorang. Kita tahu pula bahwa industrialisasi menciptakan spesialisasi pekerjaan, membentuk divisi-divisi pekerjaan yang membuat orang-orang merasakan bahwa mereka terlahir dengan sebuah bakat, dan bakat inilah yang kemudian menentukan pekerjaan apa yang cocok bagi mereka.

Daya tampung di kota-kota melewati kapasitasnya, seperti kota-kota besar (apalagi Jakarta!). Bahwa industrialisasi menciptakan urbanisasi dan divisi-divisi pekerjaan. Yang nantinya akan menciptakan ketidaknyamanan pada kita juga yang seakan meremehkan kemampuan kita dengan serangkaian tes; “Kamu adalah seorang introvert, maka kamu tidak cocok bekerja menjadi…”

Dalam banyak hal kita mulai bosan dengan pekerjaan kita. Tidak hanya pekerjaan, tapi juga dengan kota yang kita tinggali. Kepadatan sosial tidak hanya meliputi kepadatan orang-orang, tetapi minimnya interaksi di antara individu-individu. Tetapi, kita akan harus bekerja di kota. Di kota yang penuh dengan ratusan orang-orang marah dan juga kesepian.

Anzi Matta
Anzi Matta
Hobi menulis dan menggambar
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.