Yang terbaca meski tak tertulis.
Apa hal pertama yang harus saya acungi jempol saat membaca postingan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil alias Kang Emil yang masyhur itu? Karena dia menulis, sudah lama di Republik ini budaya komunikasi para pemimpin politiknya seakan kembali ke zaman purba, ketika manusia masih berkomunikasi dengan menggunakan simbol dan tanda.
Anda bisa putar kembali percakapan antara Setya Novanto, Riza Chalid, dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoedin. Bahasa Indonesia Setya Novanto dan Riza Chalid sangat sulit saya cerna, apalagi saya nikmati. Penuh kode, tanda, sandi yang hanya mereka berdua yang paham. Lalu mereka jadilah pejabat publik.
Surat adalah sebuah pilihan yang tepat, meski tidak ditulis di atas kertas sebagaimana zaman dulu. Namun saya kira Kang Emil pasti berkali-kali merombak struktur tulisan itu, hapus lalu ganti yang baru, baca lagi, edit sedikit, pilih judul lalu posting. Justru begitulah tradisi literasi menjaga kewarasan pikiran, karena dia harus menyelaraskan tiga hal: konteks, konten, dan estetika. Tulisan yang berbahaya bahkan menyiapkan konsekuensi dan efek ikutan pasca membacanya.
Dalam proses menulis itulah Kang Emil menemukan dialog rahasia antara hati dan pikirannya. Dia benar Ke Jakarta Tidak ke Jakarta adalah judul yang lahir dari dialog cukup sengit. Itulah mengapa saya kemudian menduga ada pesan tersembunyi yang seharusnya juga kita baca dalam surat Kang Emil.
Namun, apa pun itu, sekali lagi pilihan menulis surat adalah pilihan yang tepat. Bahkan kata sastrawan Pramoedya Ananta Toer, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian, dengan menulis suaramu abadi.” Tentu Kang Emil bukan yang pertama, namun keluar dengan sebuah surat di saat dan momentum yang pas, saya rasa tidak banyak yang melakukannya.
Yang Tersamar Namun Nyata
Saya membaca pesan tersamar itu di kalimat penutup paragraf kedua dan ketiga dari bagian pertama surat Kang Emil yang tiba-tiba merepotkan diri menjadi sejarawan. Sebelum masuk ke pesan itu, saya yakin sepenuhnya bahwa pembahasan ini adalah bagian yang membutuhkan waktu paling lama dari seluruh konten surat ini.
Keresahan hati Kang Emil tidak bisa ditutupi; ada sesuatu telah terjadi dalam kunjungan terakhirnya ke Jakarta itu. Setelah repot-repot mengutip Ben Anderson dan mengumpulkan kepingan-kepingan fakta sejarah, sampailah Kang Emil pada pesan: “Sehingga mengadu domba etnisitas manusia Indonesia hari ini dengan istilah pribumi bukan pribumi adalah kebodohan.”
Kemuakan Kang Emil atas konstelasi politik Jakarta membuatnya tiba pada kesimpulan bahwa “Jakarta adalah mitos.” Mari kita simak kalimat terakhir paragraf ketiga: “Bercampurnya segala pusat ini-itu di Jakarta membuat manusia-manusia Indonesia berlomba mengadu nasib ekonomi atau nasib politiknya ke Jakarta. Jakarta adalah mitos. Jakarta sekaligus juga adalah bom waktu.”
Itulah puncak dari kegelisahan hati yang lalu menjadi lebih santai di bagian surat berikutnya.
Kang Emil Menyiapkan Bom Waktu?
Terlihat lebih lega di bagian surat berikutnya, Kang Emil memulai gaya komuniksi yang khas merendahkan diri meninggikan derajat. Berusaha mematahkan mitos bahwa Jakarta adalah pusat segalanya adalah usaha sia-sia, itu terdengar seperti sebuah keputusasaan. Semua orang tahu, Jakarta sudah menjadi magnet beratus tahun lamanya, bahkan ketika masih bernama Batavia.
Sebagai Ibu Kota Negara, Jakarta bukan hanya mitos belaka, tapi kenyataan yang akhirnya membuat seseorang memutuskan “ke atau tidak ke Jakarta.” Jangankan untuk memimpin Jakarta, semua orang yang hijrah ke Jakarta pasti pernah gentar oleh kota megapolitan yang padat dan sempat sangat kumuh di tangan gubernur-gubernur yang tidak mampu mengendalikan para penguasa Ibu Kota.
Tapi itulah Jakarta, dia bukan mitos. Jakarta adalah kota yang warganya selalu mengeluh karena kemacetan tapi juga tidak pernah pergi dari kota. People follow the money Kang, not follow the Myth. Jakarta menyimpan relasi ekonomi dan relasi kekuasaan yang membuatnya tidak mudah untuk dikendalikan. Di atas langit ada langit, itulah kenyataan Jakarta.
Saya coba mencerna logika “Jakarta adalah mitos” dalam surat Kang Emil. Namun saya semakin tidak paham setelah Kang Emil mulai membangun argumentasi bahwa karena mitos Jakarta adalah pusat segalanya itu, maka Joko Widodo meninggalkan Solo; Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok meninggalkan DPR; begitu juga dengan Alex Nurdin yang setelah gagal kembali ke Sumatera Selatan dan tidak pernah kembali lagi. Intinya, orang rela disebut “kutu loncat politik” demi takhta Jakarta 1.
Namun, Jakarta bukanlah bom waktu, Kang Emil. Dia sudah meledak berkali-kali, Jakarta lebih mirip gunung berapi aktif yang tidak pernah diam, selalu ada letupan kecil sambil menunggu saat yang tepat untuk ledakan yang lebih besar. Salah satu ledakan besarnya adalah terpilihnya sosok kurus dari Solo menjadi gubernur dengan menggandeng Ahok sang jagal kasar dari Belitung.
Semua orang tau jalan cerita berikutnya: Sang Gubernur yang belum menuntaskan masa tugasnya itu harus pamit menjadi Presiden Republik Indonesia yang ketujuh. Surat Kang Emil tentu tidak ingin secara langsung menyebut itu sebagai tindakan “kutu loncat politik”, bukan? Namun, kesan itu tak bisa dihindarkan, Kang. Karena sesungguhnya Jokowi adalah perwujudan paling nyata dari Ke Jakarta Tidak ke Jakarta yang Kang Emil jadikan judul surat.
Bagian Negasi dari Negasi
Saya semakin menebak ada sesuatu terjadi dalam proses “silaturahmi politik” yang dilakukan Kang Emil ke Jakarta. Dengn menyebutkan hasil survei dan pengalamannya memenangkan Pilkada Bandung. Kang Emil sedang berusaha meyakinkan dirinya dan publik, bahwa jika dirinya mau, sebenarnya dia memiliki peluang untuk menang dalam perebutan kursi DKI-1. Itu yang menurut saya malah lebih mirip mitos, Kang.
Fakta Jakarta sebagai magnit di mana hukum yang berlaku adalah “ada langit di atas langit” mungkin malah menggentarkan Kang Ridwan. Entah detail cerita seperti apa yang didengarkan dan disaksikan sendiri oleh Kang Emil dalam rentang waktu tiga bulan silaturahmi dan takziah ke Jakarta.
Pasti silaturahmi Kang Emil akhirnya menyaksikan sendiri bagaimana relasi kuasa, uang, dan senjata tidak jarang mewarnai keputusan Gubernur DKI bernama Ahok. Seminggu sebelum surat ditulis, Kang Emil sempat bertemu dengan Sang Gubernur. Juga pasti ada hubungannya dengan Sandiaga Uno yang tiba-tiba sangat yakin bagian “bawah”-nya akan berhasil, setidaknya itu yang ditulisnya di Twitter.
Atau dalam silaturahminya dengan empat partai dan menyebut secara khusus nama Bapak Prabowo Subianto, Kang Emil menyaksikan sendiri para penguasa langitan yang sebelumnya sudah atau tidak dikenalnya tiba-tiba hadir turun langsung untuk merayu bahkan mungkin sebagian ada yang mengancam. Dan Kang Emil tiba-tiba ingat untuk bertakziah dan merindukan untuk kembali pada kedamaian dan romantisme Kota Bandung.
Apa dan bagaimanapun proses yang terjadi, keputusan yang benar telah diambil Kang Emil. Kota Bandung masih menyisakan tugas berat. Saya malah merindukan Bandung yang dulu, saat orang bebas berlalu-lalang saling menyapa dalam keramahan tanpa dibatasi oleh jam malam. Kafe dan tempat hiburan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Kota Bandung. Itu pasti bukan kehendak Anda, tapi kehendak Jabar-1 yang dijabat oleh kader Partai Keadilan Sejahtera.
Cerita yang tersisa dari Jakarta sebaiknya menjadi pertanda bahwa provinsi dengan jumlah pemilih terbanyak tidak lama lagi akan bisa Anda rebut. Saat itulah tugas mengembalikan roh Kota Bandung menjadi tugas Kang Emil. Bukan kota maksiat loh, Kang, tapi denyut nadi dan atmosfir kehidupan, yang tanpanya Bandung hanyalah kota yang sejuk tanpa ekspresi.
Inggit dan Para Jomblo
Jalan poros Jakarta-Bandung pernah menjadi saksi Soekarno mengembalikan Ibu Inggit, isteri keduanya yang selama ini mendampingi Bung Karno dalam pembuangan dan gelora kemerdekaan. Tapi Ibu Inggit tidak berkurang kemuliaannya karena dipulangkan, dia kembali ke Bandung dengan martabat sebagai satu-satunya perempuan yang bisa berkata “tidak” dengan tegas kepada Bung Karno.
Pidato proklamator itu bisa saja memancarkan daya hipno kepada jutaan rakyat Indonesia, tapi tidak terhadap Inggit. Ibu Inggit memilih pulang sebagaimana Kang Emil memilih pulang ke Bandung. Di sanalah kemuliaan Inggit diletakkan, sebagaimana juga kemuliaan Kang Emil diletakkan. Kemuliaan sebagai orang muda yang mampu mengatakan TIDAK kepada Jakarta adalah sebuah kemewahan tersendiri, karena tidak semua orang muda lain bisa melakukannya.
Bagian yang saya tidak berani raba adalah bagian paling akhir, ketika Kang Emil meninggalkan catatan pendek kepada para jomblo untuk segera menikah agar mendapatkan umur panjang. Meski sering diucapkan Kang Emil dalam berbagai kesempatan, pesan itu tetaplah mejadi bagian penutup yang sangat misterius.
Akhirnya saya menyerah dan harus menutup tulisan ini dengan menyisakan satu pertanyaan yang, meski tidak relevan, toh penuh harapan. Bahwa di antara sekian banyak jomblo yang belum menikah itu, setidaknya separuh atau lebih dari para jomblo yang tersebar dari Bandung, Jawa Barat, Jakarta hingga seluruh Indonesia, telah melihat dan belajar langsung bagaimana kisah tersisa dari poros Jakarta – Bandung, juga akan menjelma menjadi poros kebajikan yang menghubungkan generasi politik baru bangsa Indonesia. Amin.