Kooperatif dengan korupsi adalah kata yang patut disematkan kepada pemerintahan Joko Widodo saat ini. Mengapa demikian? Dalam berbagai kesempatan, pemerintah mengakui bahwa kita sedang mengalami darurat korupsi yang kian hari semakin menggurita. Tak terbilang sudah berapa banyak hakim, panitera, jaksa, dan advokat yang ditangkap oleh KPK karena korupsi.
Tak terhitung pula berapa anggota legislatif yang dibui karena kejahatan yang hina dan haram itu. Demikian pula sudah berapa menteri, gubernur, bupati/wali kota yang dibawa ke hotel prodeo karena virus yang bernama korupsi. Ibarat kapal yang sedang berlayar, badai korupsi akan menenggelamkan negeri ini, jika pemerintah tak serius memberantasnya
Tetapi alih-alih memerangi korupsi, sikap pemerintah malah berbanding terbalik: koruptor mendapatkan angin segar melalui remisi, suatu sikap yang sungguh kontradiktif tetapi kooperatif pada korupsi.
Memperingati Hari Kemerdekaan RI ke-71 tahun, 428 narapidana korupsi mendapatkan “hadiah” remisi. Melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, pemerintah sedang berusaha merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Salah satu yang menjadi fokus revisi adalah ihwal syarat pemberian remisi yang semakin dilonggarkan. Ini patut diwaspadai, sebab hal demikian mengindikasikan bahwa pemerintah semakin melunak dalam menghadapi korupsi. Padahal, ancaman dan dampak yang ditimbulknnya sungguh sangat luar biasa.
Mengetatkan Remisi
Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) yang penanganannya pun membutuhkan extra ordinary measures atau cara-cara yang luar biasa. Paling tidak ada empat sifat dan karakteristik kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa.
Pertama, korupsi merupakan kejahatan terorganisasi yang dilakukan secara sistematis. Kedua, korupsi biasanya dilakukan dengan modus operandi yang sulit sehingga tidak mudah untuk membuktikannya.
Ketiga, korupsi selalu berkaitan dengan kekuasaan. Keempat, korupsi adalah kejahatan yang berkait dengan nasib orang banyak.
Selain itu, ada beberapa dampak korupsi. (1) Korupsi merusak demokarasi. (2) Korupsi dianggap merusak aturan hukum. (3) Korupsi dapat mengganggu pembangunan berkelanjutan. (4) korupsi merusak pasar. (5) Korupsi mengganggu kualitas hidup masyarakat. (6) Korupsi dinggap melanggar HAM (Eddy O.S. Hiariej, 2012).
Bertalian dengan hal tersebut, upaya serius memerangi kejahatan ini amat dibutuhkan. Salah satu upaya yang didorong oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono adalah dengan mengetatkan remisi melalui PP No. 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Pada Pasal 34 peraturan a quo disebutkan ada dua syarat yang harus dipenuhi koruptor agar mendapatkan remisi. Pertama, bersedia bekerjasama dengan aparat hukum untuk membantu membongkar perkara pidana yang dilakukannya. Kedua, telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.
Kedua syarat ini pada dasarnya lebih menunjukkan sikap responsif pemerintah kala itu dalam menghadapi semakin maraknya kejahatan kerah putih seperti korupsi. Dalam bayangan saya, logika sederhana yang dibangun oleh pemerintahan Yudhoyono adalah sesuatu yang tidak adil bila koruptor diberi perlakuan yang sama dengan pencuri ayam, apalagi mencuri karena kelaparan.
Bahwa koruptor adalah warga binaan yang memiliki HAM yang sama dengan narapidana yang lain, itu adalah benar. Tetapi korupsi adalah kejahatan luar biasa, sehingga perlakuannya pun harus berbeda dengan kejahatan pada umumnya (street crime). Sedikit banyaknya pengetatan tersebut akan memberikan efek jera (deterrence effect) sehingga setiap orang akan berusaha menghindari korupsi. Pada titik ini, pengetatan remisi kepada koruptor adalah hal yang logis.
Langkah Mundur
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan adalah langkah mundur bagi pemerintahan Joko Widodo. Sebab, bila Jokowi ingin mewujudkan Nawa Cita-nya, hambatan terbesarnya adalah massifnya korupsi. Jika korupsi masih merajalela, mewujudukan Nawa Cita hanyalah pepesan kosong alias mimpi di siang bolong. Bermimpi tidak salah, kecuali dalam keadaan mabuk.
Paling tidak, ada lima pasal krusial dalam RPP yang menarik didiskusikan. Pertama, pada Pasal 32 ayat (1) dan (2) RPP meniadakan syarat bersedia bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk membongkar tindak pidana yang dilakukannya (justice collaborator). Meniadakan ketentuan justice collaborator sama saja menumbuh-suburkan korupsi. Sebab, pengungkapan kejahatan terorganisasi seperti korupsi juga ditentukan oleh kesediaan pelaku menjadi justice collaborator.
Kedua, remisi tambahan pada Pasal 36 RPP. Ada kesan bahwa syaratnya semakin dilonggarkan dan cenderung subjektif, karena hanya dengan melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan seorang narapidana korupsi sudah berhak mendapat remisi tambahan. Parahnya lagi tak ada tolak ukur yang jelas dan pasti.
Ketiga, ketentuan asimilasi pada Pasal 43 RPP. Bahwa seorang naraidana korupsi mendapat asimilasi apabila berkelakuan baik dalam 9 bulan terakhir; aktif mengikuti program pembinaan; telah membayar lunas denda dan uang pengganti.
Secara kriminologis, ketentuan ini bersifat krimonogen, sebab akan menstimulasi orang untuk melakukan korupsi. Pendeknya, ketika sudah menjadi narapidana, seseorang akan dengan mudah memperoleh asimilasi, apalagi bila ia adalah narapidana korupsi yang kaya raya.
Keempat, secara implisit, dalam Pasal 48 RPP mengakomodasi pidana kerja sosial di luar lapas bagi narapidana korupsi. Ketentuan semacam ini berpotensi menimbulkan kejahatan baru, misalnya narapidana korupsi terbuka kemungkinan menyuap petugas lapas agar pidana kerja sosialnya dibuat fiktif alias diada-adakan.
Kelima, ketentuan tentang narapidana korupsi yang dihukum 1 tahun 4 bulan berhak mendapatkan cuti bersyarat pada Pasal 78-79 RPP. Secara eksplisit pengaturan demikian cukup diskriminatif bagi sesama koruptor. Selain itu, ketentuan ini bisa mendorong orang agar melakukan korupsi kecil-kecilan yang kira-kira vonisnya hanya 1 tahun 4 bulan, dengan harapan kelak akan memperoleh cuti bersyarat.
Bila pemerintah kukuh menetapkan RPP tersebut menjadi PP, Komisi Pemberantasan Korupsi sebaiknya mengefektifkan tuntutan pidana mati kepada koruptor sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2). Jadi, remisi tak bermanfaat lagi.