Jumat, April 26, 2024

Ketika Guru Mencabuli Siswanya

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
anak-pencabulan
Ilustrasi

Tindak pencabulan terhadap anak-anak untuk ke sekian kalinya kembali terjadi di Tanah Air. Yang membuat hati kita miris, pelaku pencabulan diduga dilakukan oleh seorang guru yang seharusnya dihormati dan mengayomi anak didiknya. Kasus pencabulan yang menimpa sekitar 25 siswa ini terjadi di SD Negeri 2 Karangjambe, Kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Kasus pencabulan ini terungkap setelah para murid tersebut ramai-ramai melapor ke orangtua mereka.

Anak-anak yang menjadi korban pencabulan umumnya bukan hanya dipangku pelaku, tetapi juga diraba-raba bagian vitalnya oleh guru Bahasa Inggris berinisial EA itu. Para orangtua korban jelas geram dengan apa yang dilakukan pelaku dan berharap pelaku bukan hanya dipecat, tetapi juga diproses ke jalur hukum sesuai ketentuan yang berlaku.

Meski korban pencabulan di Tegal itu tidak sampai menjadi korban pemerkosaan pelaku, bisa dipastikan korban akan mengalami trauma mendalam atas kejadian yang mereka alami. Anak-anak yang seharusnya memperoleh perlindungan dan kasih sayang tentu syok dan menderita luka psikologis yang mendalam gara-gara kelakuan guru mereka yang ternyata jauh dari sosok orang yang seharusnya dihormati karena kesantunannya.

Berbeda dengan tindak pemerkosaan yang merupakan penyaluran hasrat seksual pelaku, dan diwarnai dengan tindak kekerasan dalam bentuk persetubuhan paksa terhadap korban, yang disebut tindak pencabulan skalanya lebih rendah. Pencabulan adalah bentuk pelecehan seksual berupa perlakuan yang tidak wajar kepada seseorang akibat adanya hubungan dominasi antar satu dengan yang lain.

Bentuk pencabulan yang dimaksud di sini bisa berupa pemberian perhatian seksual, meraba-raba bagian vital korban, mencium paksa, menelanjangi, memangku korban, menatap dengan pandangan yang berminyak, dan berbagai jenis tindakan lain yang merendahkan korban secara seksual.

Persamaan antara pelecehan dan tindak perkosaan adalah keduanya sebetulnya sama-sama tidak diiinginkan oleh (anak) perempuan yang menjadi korban. Anak dan perempuan yang menjadi korban pencabulan maupun pemerkosaan biasanya tak bisa berbuat apa-apa karena di sana terdapat dan sedang berlaku nilai atau kontruksi sosial masyarakat yang seolah-olah membenarkan peristiwa di atas atau minimal menuntut korban untuk selalu bersikap pasrah (Rohan Collier, 1998).

Seorang anak yang menjadi korban pencabulan umumnya akan memendam sekian lama peristiwa yang mereka alami, karena ketakutan di bawah ancaman pelaku yang kebanyakan adalah pihak yang lebih superior dan ditakuti korban.

Kasus pencabulan terhadap anak perempuan tentu tidak hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai negara lain, kasus pencabulan bahkan sudah pada taraf yang benar-benar memprihatinkan. Di Amerika Serikat, misalnya, dilaporkan sekitar 60% perempuan pernah menjadi korban pelecehan seksual.

Sementara itu, di Uni Eropa, sekitar 4 juta manusia mengalamai pelecehan seksual (Collin2, 1992). Di Belgia, survei menunjukkan bahwa 30-34% perempuan mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Di Spanyol, jumlahnya meningkat kira-kira 80-90% di kalangan perempuan muda. Di Portugal, jumlahnya 37%, di Belanda 58% dan di Jerman 72% (Rubenstein, 1992).

Di Indonesia, walau kasus pelecehan seksual belum separah negara-negara lain seperti disebutkan di atas, jika tidak segera ditangani dengan serius, tidak mustahil kecenderungan ke arah sebagaimana terjadi di luar negeri akan berlaku sama.

Nasib anak yang menjadi korban tindak pencabulan memang tidak sedramatis nasib anak yang menjadi korban tindak pemerkosaan. Tetapi, efek psikologis dari tindak pencabulan sesungguhnya tidak kalah merisaukan. Maka, mencegah kasus pencabulan agar tidak menimpa anak-anak sesungguhnya sama pentingnya dengan mencegah agar anak tidak menjadi korban tindak pemerkosaan.

Dalam kondisi normal, membayangkan seorang guru tega berbuat cabul dan merusak masa depan anak didiknya barangkali tidak pernah terlintas di benak para orangtua. Tetapi, kalau melihat berbagai kasus pencabulan yang selama ini terjadi, kisah tentang ulah guru yang kelewat batas mencabuli dan bahkan memperkosa anak didiknya sendiri sebetulnya tidak hanya satu-dua kali terjadi.

Seorang yang sehari-hari tampak lemah-lembut dan santun, bukan mustahil justru seperti musang berbulu domba. Seorang guru yang sehari-hari berwibawa dan sopan, bukan tidak mungkin di ballik itu sebetulnya tengah menyembunyikan niat jahatnya sebagai pelaku pencabulan atau kekerasan seksual yang menyasar anak-anak di bawah umur.

Sigmund Freud sejak tahun 1920-an sebenarnya telah menyatakan bahwa hasrat untuk merusak sama kuatnya dengan hasrat untuk mencintai. Dalam buku On Love and Hate (1972), Eibl-Eibesfeld dengan gamblang juga telah menunjukkan bahwa perilaku agresif manusia dan berbagai bentuk perilaku destruktif lainnya sesungguhnya adalah insting bawaan yang telah terprogram secara filogenik.

Insting ini berupaya mencari penyaluran dan selalu menunggu kesempatan yang tepat untuk melampiaskannya. Artinya, seorang guru, bahkan seorang ayah kandung sekalipun, ketika suatu saat libidonya tengah menggelegak, dan di kepalanya referensi sosial yang berkecamuk adalah kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual, baik yang diperoleh dari hasil membaca, menonton film atau berdasarkan cerita dari temannya, maka jangan kaget jika seorang guru yang terhormat itu tiba-tiba berubah menjadi serigala yang jahat.

Masyarakat, para orangtua, dan anak-anak sendiri selama ini acapkali lengah dan tidak curiga dengan ulah para gurunya. Sebab, di benak mereka biasanya diyakini bahwa figur-figur yang dihormati, seperti guru, ulama atau orang-orang yang disakralkan tidaklah mungkin terjerumus melakukan tindak pelecehan seksual.

Peristiws yang dialami para siswa di SD Negeri 2 Karangjambe, Tegal, adalah sebuah pelajaran berharga bagi kita semua, bahwa untuk mencegah agar kasus serupa tidak terjadi lagi, yang dibutuhkan adalah kepekaan dan kesediaan masyarakat agar tidak larut dalam mitos-mitos yang menyesatkan. Bersikap waspada dan menjadi watchdog yang selalu mengawal keselamatan anak adalah kunci untuk mencegah agar anak-anak kita tidak menjadi korban pencabulan dan pemerkosaan.

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.