Kamis, April 18, 2024

Ketika Barat Menunjuk Islam sebagai Terorisme

Anzi Matta
Anzi Matta
Hobi menulis dan menggambar
nice-lg
Seuntai bunga terikat di pagar untuk memperingati korban teror truk saat Bastille Dau di Nice di depan Kedutaan Besar Prancis di Roma, Italia, Jumat (15/7). ANTARA FOTO/REUTERS/Max Rossi/cfo/16

Istilah terorisme sudah begitu banyak digunakan oleh media-media massa besar, menjadi tajuk utama dengan ukuran tulisan yang besar dan mentereng. Peledakan di tempat-tempat umum yang tidak hanya merusak properti, tetapi juga memakan korban jiwa dituding banyak dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam radikal.

Tidak perlulah kita melihat statistik. Lihat saja mulai dari Taliban, Mujahidin Afghanistan, Al-Qaidah, ISIS, hingga gerakan Islam radikal di Indonesia seperti Jemaah Islamiyah (Abu Bakar Ba’asyir, Doktor Azahari, dan Noordin M. Top) hingga Santoso, dari Mujahidin Indonesia Timur, yang kemudian menyatakan bai’at kepada ISIS.

Serangan teror yang menggemparkan dunia adalah tragedi 11 September 2001 hingga serangkaian serangan teror di Prancis: serangan maut atas majalah Charlie Hebdo pada Januari 2015 yang diklaim Al-Qaidah, serangan di kota Paris, terjadi di dekat Stadion Stade de France pada 13 November 2015, dan yang terakhir adalah serangan truk maut di Nice yang menewaskan 84 orang.

Pertanyaannya adalah kenapa Prancis? Tentu saja selain alasan akan ideologi gerakan-gerakan Islam radikal tersebut. Beberapa waktu lalu, Direktur CIA John Brennan memperingatkan, “Sebagai meningkatkan tekanan terhadap ISIS, kita menilai bahwa itu akan mengintensifkan serangan teror global untuk mempertahankan dominasinya dari agenda terorisme global.”

Kita perlu menilik sedikit beberapa gerakan Islam yang berkembang pesat di Timur tengah. Negara-negara dengan populasi Islam yang besar di Timur Tengah dan Asia Tengah telah bertemu dengan Eropa pada periode kolonial. Pada tahun 1967, Mesir dan Suriah mengerahkan pasukan mereka untuk persiapan perang lainnya (yang kemudian dikenal dengan Perang Enam Hari), tetapi Israel mendahului hingga berakhir dengan Israel menguasai Mesir.

Dan bertahun-tahun hal ini menciptakan penyebaran fundamentalisme Islam menjadi dua kekuatan: kekuatan akar rumput dan non-pemerintahan. Salah satu usaha berdasar akar rumput adalah dengan berdirinya Ikhwanul Muslimin. Namun berbeda dengan gerakan lainnya, Ikhwanul Muslimin menciptakan pelayanan sosial bagi masyarakat miskin dan bahkan menciptakan divisi untuk para perempuan yang ingin bergabung dengan mereka dan juga menolak terorisme.

Saat organisasi ini menjadi besar, justru Perdana Menteri Mesir membekukan Ikhwanul Muslimin pada tahun 1948, disusul dengan pembunuhan Hassan al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin. Ikhwanul Muslimin pecah menciptakan perseteruan menjadi dua kelompok yang menginginkan perjuangan dengan cara kekerasan dan tanpa kekerasan.

Represi yang terjadi di negara-negara Timur Tengah tak kurang lebih hasil Perang Dingin, permainan politik antara Amerika Serikat dan Soviet. Tentu saja jika ingin membahas satu per satu negara-negara mana yang terlibat dengan jejak rekam serangan mereka tak akan selesai dibahas dalam satu malam saja.

“Perang melawan terorisme” seperti yang acapkali diucapkan Amerika tak hanya jargon untuk justifikasi mereka melakukan agresi militer demi kepentingan politik. Rita Lasar, saudari dari Abe Zelmanowitz, korban The World Center (WTC), yang kematiannya dikenang oleh Amerika dan bahkan seluruh dunia atas pengorbanan heroiknya yang memutuskan menyelamatkan seorang disabel daripada mengambil kesempatan untuk menyelamatkan dirinya, mengatakan setelah kematian saudaranya, “Saya segera mengetahui bahwa negaraku akan menggunakan kematian saudaraku untuk menjustifikasi pembunuhan orang-orang tak bersalah di Afghanistan dan di mana pun yang pantas di mata mereka [Amerika Serikat].”

Teror Amerika Serikat dan Media Massa
Pada pemerintahan Ronald Reagan, awal 1980-an hingga akhir Perang Dingin 1991, Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan luar negerinya atau “doktrin” yang kemudian dikenal dengan Doktrin Reagan. Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan luar negerinya untuk menghadapi permasalahan hubungan internasional dengan mengikuti tradisi doktrin presiden-presiden pasca-Perang Dunia II yang diawali oleh Truman (dikenal dengan Doktrin Truman, 1947).

Doktrin Reagan sendiri adalah usaha untuk bekerja sama dengan negara-negara lain yang menyatakan perlawanan mereka terhadap Soviet. Pada 1983, enam mujahidin Afghanistan mengunjungi Ronald Reagan di Gedung Putih yang pertemuannya di bawah sponsor pihak-pihak swasta. Amerika menyebut-nyebut mereka dengan founding fathers Amerika Serikat, sebagai pejuang kemerdekaan karena perlawanan mereka terhadap Soviet atau perlawanan atas “ateis Soviet”.

Setelah itu, Doktrin Reagan diteruskan Doktrin Bush untuk menaikan anggaran dana militer. Pada Oktober 2001 agresi militer di Afghanistan dilakukan. John Pilger dalam film dokumenter The Breaking Silence: Truth and Lies in The War on Terror (2003) mengatakan jumlah korban pada saat itu adalah 3.000 jiwa, jauh lebih banyak dari korban WTC 9/11.

Atas penyerangan Amerika Serikat terhadap Afghanistan, Bush mengatakan, “orang-orang Afghanistan akan mengetahui kemurahan hati kami, Amerika, dan menyadari kita akan melakukan serangan militer. Kami juga mengirimkan bantuan pangan, obat-obatan, dan persedian untuk perempuan-perempuan dan anak-anak yang kelaparan di Afghanistan. Negara Amerika adalah teman bagi Afganistan.”

Ketika itu mungkin kita belum mengenal penggunaan tagar di media sosial sebagai bentuk solidaritas atau belasungkawa atas kejadian tersebut, tetapi banyak dari orang-orang mengutuk orang-orang di Afghanistan dan memuji atas usaha pemerintahan Amerika Serikat memerangi terorisme. Sungguh Amerika adalah seorang kawan yang baik, melakukan penyerangan militer agar bantuan internasional bagi orang-orang Afghan menjadi berguna dan berarti.

Amerika adalah negara terbaik di dunia, dikenal akan kemurahan hatinya dalam sebuah mitos dan ironi paling memuakkan. Dan media massa juga merupakan kawan yang baik dalam membantu Amerika untuk menciptakan ketakutan, nasionalisme, dan xenophobia.

Amerika Serikat tak akan menjadi begitu murah hati dan berarti jika tanpa bantuan media massa. Mungkin banyak dari kita juga seorang yang naif dan malas hingga mempercayakan sepenuhnya kepada mereka yang menghadirkan berita di televisi. Media memberitahu kita bahwa negara-negara di Timur Tengah adalah kumpulan teroris dan kita tidak menyukai terorisme, yang mana kita juga tak begitu mengetahui istilah terorisme sendiri.

Palestina melakukan selebrasi atas penyerangan di WTC. Cek realitas adalah Palestina benar-benar berselebrasi, tetapi berselebrasi dengan ketakutan akan pasukan Israel dari Jenin.

Perang dan penyerangan militer adalah ekspresi paling jujur yang dilakukan oleh negara. Upaya negara dalam jalan demokratis untuk menghentikan “ketakutan” akan teror. Itulah yang dilakukan Amerika, khususnya kesalahan ultimatum Bush. Yang terjadi di Timur Tengah pun adalah sesuatu yang kompleks, represi atas beberapa perang.

Sesungguhnya Amerika tak pernah menjadi kawan yang baik. Namun, satu yang pasti: Bush dan Saddam, Mubarak dan Rafsanjani, Shamir dan Arafat adalah kawan yang baik satu sama lain. Justifikasi untuk teror ini tak kurang lebih agar musuh Amerika menjadi musuh bersama orang-orang.

Paris, Ibu Kota Prostitusi, dan Kemaksiatan
Paris adalah ibu kota Perancis, terkenal akan keindahannya, Paris “modern” dengan jalan-jalan kecil yang sempit hingga perancangan ulang urbanisasi oleh Baron Haussmann di distrik dengan jalan-jalan yang lebar, dilengkapi bangunan batu neo-klasik bourgeoise. Paris juga dikenal akan budayanya, keunikan, dan keanehannya yang menarik.

Tentu kita punya kacamata berbeda melihat budaya yang berbeda. Sebelum serangan 13 November 2015 di Paris, ISIS menyatakan Paris sebagai “ibu kota prostitusi dan kemaksiatan”. Dan tepat pada 13 November, John Schindler, kolumnis The New York Observer, mengunggah tweet, “Kelompok radikal dari Balkan yang bersenjata ringan terlibat baku tembak di Prancis pada 1995, begitu mengherankan mengapa semua orang terkejut (dengan serangan teror).”

William McCants, seorang sarjana dan pakar ekstrimisme Islam dan penulis buku The ISIS Apocalypse mengatakan, serangan tersebut adalah peringatan terhadap Prancis agar menghentikan serangan di Suriah. McCants baru-baru ini berpendapat, budaya politik Prancis adalah masalah kontraterorisme. Mereka menemukan bahwa “empat dari lima negara dengan tingkat tertinggi dari radikalisasi di dunia adalah Francophone, termasuk dua top di Eropa (Prancis dan Belgia).”

Sebagian dari masalah adalah sejumlah besar kaum muda perkotaan yang menganggur, ladang yang subur untuk merekrut radikal. Selain itu, program sekularisasi agresif Prancis juga menjadi pemicu. Karenanya unsur keagamaan (seperti penggunaan jilbab) dilarang di sekolah-sekolah. Lebih lanjut McCants mengatakan sulit berspekulasi untuk alasan yang pasti atas serangan ISIS di Prancis.

Tak hanya itu, Presiden Francois Hollande bergabung dengan koalisi anti-ISIS pimpinan AS. Prancis melakukan serangan udara di daerah Suriah dengan menewaskan lebih dari 100 warga sipil. Menteri Luar Negeri Perancis Laurent Fabius pada November tahun lalu mengatakan, “Mengingat Prancis tidak hanya diancam, tapi juga diserang Daesh (akronim untuk ISIS), lumrah baginya (Prancis) untuk melangkah maju. Dalam konteks pertahanan diri, perlu bagi Prancis untuk mengambil aksi.”

Kita dapat melihat bahwa agenda terorisme tidak hanya dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam radikal Timur Tengah, tetapi juga negara-negara Barat. Agresi militer yang dilakukan negara-negara yang berkoalisi dengan Amerika tak lebih sebagai alasan apologis untuk memerangi terorisme. Kenyataan yang ada adalah bahwa ini permainan politik atas kekayaan minyak dan kepentingan politik lainnya.

Perang melawan terorisme justru mengakibatkan terbunuhnya warga-warga sipil tak bersenjata, perempuan, dan anak-anak serta menguatkan gerakan Islam radikal.

Anzi Matta
Anzi Matta
Hobi menulis dan menggambar
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.