Bakteri Corynebacterium Diptheriae telah menyebabkan kegemparan di Indonesia. Sepanjang November-Desember 2017, bakteri itu telah merenggut 38 nyawa. Masyarakat cemas. Apalagi setelah foto penderita difteri—terutama selaput putih keabuan (pseudomembran) di bagian dalam mulut—menyebar luas di media massa. Beberapa kampanye vaksin difteri pun sengaja dilengkapi dengan foto-foto itu.
Data milik World Health Organization (WHO) menyebutkan, hampir 90% dari orang yang terinfeksi penyakit menular, tidak memiliki riwayat imunisasi difteri yang lengkap. Bagi orang yang tidak mendapatkan vaksin, difteri dapat menular lebih mudah: melalui percikan ludah, pertukaran barang seperti mainan atau handuk, dan sentuhan pada luka penderita.
Maka—di tengah kengerian Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri di beberapa daerah—agak tidak mudah mereka-reka apa yang ada di kepala kalangan masyarakat penolak vaksin. Apalagi, kalau kita membuka mesin perambah Google, kemudian mengetik “rumor dan fakta tentang vaksin”, akan muncul 27.500 hasil pencarian tak kurang dari 0,44 detik. Di tautan-tautan itu, dengan mudah kita bisa membaca berbagai kebenaran rumor tentang vaksin—yang membuat para orangtua bersikeras tidak mau memvaksin anaknya.
Sebagian besar dari mereka yang biasa disebut anti-vaksin beralasan bahwa menerima atau menolak vaksin adalah hak. Tapi sesungguhnya, keputusan menggunakan vaksin atau tidak bukan perkara personal. Kesehatan kalangan anti-vaksin tidak hanya berpengaruh pada diri mereka sendiri, namun juga orang-orang di sekitar mereka.
Masuk akal ketika Heidi J. Larson, Director of The Vaccine Confidence Project (VCP) dari London School of Hygiene and Tropical Medicine menyatakan bahwa vaksin untuk anak-anak adalah kewajiban, dan bukan pilihan.
Kalangan anti-vaksin tidak baru. Sejak tahun 1860-an, menolak vaksinasi sudah menjadi ideologi gerakan yang cukup masif di seluruh dunia. Fakta tentang ini juga bisa dibaca di berbagai media. Situs The History of Vaccines garapan The College of Physicians of Philadelphia, salah satunya. Disebutkan bahwa keberadaan anti-vaksin hadir bersamaan dengan kemunculan vaksin itu sendiri, yang berarti sudah sejak 1800-an, atau lebih dari dua ratus tahun yang lalu.
Ketika itu, pokok penolakan terhadap vaksin disebabkan oleh asalnya yang berasal dari hewan. Sebagian lain tidak percaya bahwa teror penyakit menular—terutama cacar, ketika itu—adalah nyata. Adapun alasan lain adalah pelanggaran kebebasan individu.
Penolakan terhadap vaksin—baik dengan alasan agama, efek samping, ketidakbermanfaatannya, ataupun alasan konspiratif yang muncul belakangan—adalah sebuah warisan pemikiran yang tersisa dari dua abad lalu. Ia tidak luntur-luntur dan sungguh tidak ada yang patut dibanggakan dari hal itu. Warisan itu membuktikan bahwa hampir tak ada beda antara kehidupan sebelum teknologi berkembang, dan setelah teknologi informasi menjadi bagian dari diri manusia. Hampir tak ada beda antara manusia yang bahkan belum mengenal World Wide Web dengan manusia yang sudah punya aplikasi Google di telepon pintar mereka.
Seakan-akan segala perkembangan teknologi informasi serta intervensi sains dan kesehatan tidak ada manfaatnya. Maka, persoalan penyintas difteri bukan hanya soal tubuh dan kesehatan, melainkan problem ideologi pula.
Lalu, benarkah hal itu terutama disebabkan kalangan anti-vaksin yang getol kampanye? Satu grup publik anti-vaksin secara sengaja saya temukan di Facebook—dengan 2.802 akun anggota.
Di satu sisi, kita selaiknya bangga bahwa penyebaran penyakit yang terjadi bukan karena masyarakat tidak tahu. Mengingat, bisa jadi, penyebaran difteri disebabkan oleh perkara ketertutupan pada akses informasi. Indonesia negara yang luas dan punya banyak wilayah yang masih sulit mendapat akses internet. Jangankan itu, di beberapa daerah, guru sekolah saja langka, kok. Sebelas-dua belas dengan golongan masyarakat ekonomi rendah di perkotaan. Ilmu pengetahuan bagi mereka adalah barang besar dan mewah.
Jadi, ribuan akun grup anti-vaksin itu golongan beruntung. Mereka dengan leluasa bertukar informasi. Kita bisa lihat, di dalam grup bertabur tautan berita, kiriman blog, dan beberapa screen capture. Dengan catatan: semua itu merupakan penyangga dari prinsip yang dipegang teguh.
Informasi berputar terus di dalam kelompok dengan satu saja batasan: tidak akan mengubah nama grup dari anti-vaksin menjadi pro-vaksin. Bagaimanapun caranya. Informasi di dalam dibagikan demi menguatkan eksistensi kelompok. Saking kuatnya bahkan mengalahkan fakta-fakta ilmiah-empiris yang bertebaran di internet, yang berseberangan dengan posisi kelompok.
Karlina Supelli sempat membahas hal itu dalam kuliah umumnya, Ancaman terhadap Ilmu Pengetahuan (AIP). Bagi saya, penolakan terhadap vaksin dan segala fakta ilmiah tentangnya adalah salah satu bentuk dari pemujaan terhadap diri dan kelompok sendiri. Dalam AIP disebutkan, manusia seringkali terlampau asik memuja diri atau kelompok sehingga menolak pendapat dan pengetahuan yang tak sejalan dengan pahamnya.
Bahkan di era ini, ketika fakta tersedia dan dapat dengan mudah diakses. Termasuk fakta bahwa penelitian Dr. Andrew Wakefield, peneliti yang menyebut bahwa vaksin menyebabkan autisme—yang ternyata dapat bayaran sekitar £400.000 dari pengacara yang ingin membuktikan bahwa vaksin tak aman—hingga kini belum ada yang berhasil mereplikasi.
Dalam kondisi memperkuat diri sendiri, hal-hal yang sekadar dipercaya, diinginkan, dan disukai dapat berubah menjadi kebenaran bagi kelompok dengan pemikiran tertutup semacam itu. Jika faktanya ternyata tidak begitu, itu perkara belakangan.
Soal vaksinasi tak bisa dihadapi dengan modal pemujaan terhadap diri sendiri. Hal itu malah akan menyebabkan guncangan serius dalam masyarakat. Oleh kalangan anti-vaksin, keselamatan jiwa bersama dikorbankan demi hal-hal yang sesungguhnya aram-temaram. Vaksinasi sebagai sebuah tindakan seharusnya bukan berdasarkan selera dan prasangka. Kalau berdasar pada itu, akibatnya serius: kekebalan masyarakat terhadap penyakit, alias nyawa manusia.
Tentu bangsa mana pun di dunia tak ingin ada perpecahan. Anti-vaksin dan sebaliknya; anti-produk Amerika dan sebaliknya; anti-bahan kimia dan sebaliknya. Tapi bahkan mempertahankan keutuhan bangsa pun mesti ada keterbukaan pikir dan kedewasaan. Seperti pula disebut dalam AIP, kedewasaan suatu kelompok masyarakat dapat dilihat dari kesanggupan untuk membuat pilihan atas dasar komitmen kepada hal-hal yang secara faktual dan normatif dibutuhkan. Demi apa? Tak lain, tak bukan demi merawat kebaikan bersama.
Teknologi sudah canggih. Jaringan informasi sudah terbuka. Cara berpikir ilmiah semakin dimungkinkan. Ketertutupan pikir boleh masih ada dua abad lalu. Tapi tidak hari ini, ketika dunia sudah dalam genggaman. Bahkan kalaupun telepon pintar kehabisan kuota dan tak ada WiFi, itu bukan alasan.