Minggu, November 24, 2024

Menakar Keampuhan BPJS Kesehatan

Alexander Michael Tjahjadi
Alexander Michael Tjahjadi
Research Intern Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
- Advertisement -
Ilustrasi BPJS Kesehatan [sumber: tribunnews.com]

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memiliki ide sentral universal health coverage (UHC), di mana setiap orang dari latar belakang status maupun kekayaan dapat dijamin oleh “asuransi” kesehatan nasional. Namun, dalam pelaksanaannya, BPJS Kesehatan memiliki berbagai masalah yang membuat orang berpikir, sudah siapkah Indonesia menerapkan sistem itu.

Ada dua permasalahan pokok yang harus ditangani, yaitu dari sisi pengguna dan dari sisi pembiayaan. Dari permasalahan tersebut, BPJS Kesehatan harus dikelola secara profesional agar bisa mengatasi permasalahan dari hulu ke hilir.

Dari segi pengguna, tingkat penetrasi pengguna BPJS ini cukup tinggi. Data yang diambil dari Kata Data menunjukkan bahwa pada tahun 2014, peserta BPJS sekitar 133 juta orang, sedangkan pada tahun 2016 mencapai 172 juta orang. Selama dua tahun tersebut, peningkatan pengguna hanya mencapai 29 persen. Hal ini menunjukkan bahwa dengan fasilitas kesehatan, BPJS mampu menarik minat penggunanya.

Selain itu, dari sisi iuran yang harus dikeluarkan, peserta BPJS membayar dengan jumlah yang masih sedikit. Pada tahun 2014 iuran berkisar antara Rp 25 ribu sampai Rp 59 ribu, tergantung kelas rumah sakit. Adapun pada tahun 2017, terdapat kenaikan sehingga iuran berkisar antara Rp 25 sampai Rp 80 ribu. Hal ini lumrah, karena pembiayaan untuk BPJS sudah di titik nadir. Walaupun pegawai pemerintah dan pegawai swasta mewajibkan 5 persen gajinya untuk BPJS, tetap saja pembiayaan BPJS masih defisit.

Bahkan defisit tidak kunjung membaik, akan tetapi malah memburuk. Sejak tahun 2014, defisit BPJS Rp 3,3 triliun. Jumlah ini meningkat tiga kali lipat pada tahun 2016, di mana defisit mencapai Rp 9,7 triliun. Jika masyarakat berpikir pemerintah harus turun tangan, pemerintah sudah turun tangan tetapi tak bisa menanggung defisit yang terlalu besar. Nilai penyertaan pemerintah pada program BPJS meningkat cukup tajam dari Rp 500 miliar di tahun 2014 menjadi Rp 6,8 triliun di tahun 2016.

Besarnya defisit yang terjadi menurut Menteri Kesehatan dikarenakan pada tahun ini sekitar 80 persen peserta BPJS sakit. Sebagian besar atau 33 persen dari pendapatan BPJS mengalir kepada tindakan kuratif atau pengobatan untuk penyembuhan penyakit. Hal ini terjadi karena sebagian besar peserta kurang menyadari perilaku hidup sehat, sehingga berujung kepada penyakit yang baru diketahui setelah diperiksa dokter.

Ketika dari segi pembiayaan sudah bermasalah, maka permasalahan akan menjalar ke pelaksanaanya. Banyak berita menyebutkan bahwa dokter dan pegawai medis yang menanggung bayaran sedikit menderita karena program ini. Jam kerja menjadi bertambah dan tunggakan pembayaran semakin menumpuk. Padahal, sebagai pelaksana tugas, seharusnya dokter dan pegawai medis mendapatkan keuntungan dalam program ini.

Masalah operasional bukan terjadi di pelaksana saja tetapi pengguna juga. Program BPJS rawan penyalahgunaan. Hasil audit dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menemukan bahwa ada BPJS yang penggunanya sudah meninggal namun masih dapat dipakai. Praktik-praktik kecurangan inilah yang akan menambah kerugian BPJS. Belum lagi perilaku aji mumpung dari BPJS. Orang yang sakitnya masih ringan memaksakan untuk memakai BPJS karena sudah membayar iuran setiap bulan.

Dengan permasalahan tersebut, ada beberapa hal yang dapat disiasati oleh pemerintah. Dari segi pembayaran, seharusnya iuran BPJS mengalami peningkatan, terutama untuk mereka yang berpendapatan menengah ke atas. Dengan demikian, keuntungan program dapat mengikuti iuran BPJS. Selain itu, stabilnya pembayaran sangat penting karena kelancaran dana penting untuk menyokong operasional BPJS.

Dari sisi pengguna, upaya preventif dari aneka macam penyakit perlu dilaksanakan oleh semua warga. Jika tidak, klaim BPJS akan meningkat tajam. Maka, jaminan kesehatan yang bersifat universal harus holistik, tidak cuma menyelesaikan permasalahan jangka pendek, tetapi harus jangka panjang. Jangan sampai anggapan BPJS sebagai “bom waktu” terulang.

- Advertisement -

Kolom terkait:

Jokowi, Obama dan Sektor Ketiga

Membunuh Obamacare

Obat Mahal dan Keragaman Hayati Indonesia

Alexander Michael Tjahjadi
Alexander Michael Tjahjadi
Research Intern Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.