Kasus vaksin palsu telah membuka mata kita betapa rentannya anak-anak dari berbagai bentuk kejahatan. Kepolisian telah menetapkan sekitar 23 tersangka dalam kasus tersebut dan Kementerian Kesehatan telah membeberkan 14 rumah sakit yang diduga terlibat dalam penggunaan vaksin palsu tersebut.
Pada dasarnya vaksin dibutuhkan oleh anak-anak supaya bisa tumbuh dan berkembang secara layak, sehingga wajib diberikan pada masa-masa perkembangan awal. Dengan diberikan vaksin palsu, maka tumbuh kembang anak menjadi terganggu karena menjadi tidak kebal terhadap berbagai penyakit dan bakteri.
Dalam rangka Hari Anak Nasional setiap 23 Juli, negara perlu terus diingatkan bahwa anak-anak adalah masa depan bangsa yang akan meneruskan dan membangun estafet kepemimpinan dan pembangunan negara. Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang layak dan sehat menjadi salah satu fondasi lahirnya generasi bangsa yang produktif, andal, dan mampu bersaing di era kompetisi global.
Kejahatan vaksin palsu yang diduga melibatkan banyak pihak tersebut, dari tingkat pengumpul botol bekas, pembuat vaksin palsu, distributor, dokter, dan rumah sakit, adalah jaringan kejahatan yang menjalankan operasinya secara sistematis dan terencana. Hal ini karena diduga mereka sudah beroperasi selama 13 tahun dan baru terkuak setelah Polri menindaklanjuti dugaan jual beli vaksi palsu di internet dan ada bayi tujuh bulan yang tewas yang diduga akibat disuntik dengan vaksin palsu di Pandeglang, Banten.
Sebagai tumpuan masa depan bangsa dan bagian dari kelompok rentan dari berbagai bentuk kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), anak-anak berhak mendapat perlindungan lebih dari negara. Dalam kasus vaksin palsu ini, negara diduga telah gagal dalam melindungi dan memenuhi hak anak atas kesehatan sebagaimana dijamin dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, namun masih gagal dalam mengintegrasikan prinsip dan norma yang terkandung di dalam Konvensi tersebut untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi hak anak atas kesehatan.
Padahal, Konvensi tersebut seharusnya menjadi dasar dan norma untuk mewujudkan proses pembangunan, khususnya pelayanan kesehatan yang berbasis hak anak (child rights-based approach of health care system). Termasuk, melindungi anak-anak dari segala bentuk kejahatan kesehatan seperti vaksin palsu.
Pasal 3 ayat (1) Konvensi tentang Hak Anak menegaskan bahwa kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama dalam segala tindakan terhadap anak (child’s best interest).
Dalam kasus vaksin palsu ini, kepentingan terbaik bagi anak, khususnya dalam memperoleh haknya atas kesehatan, terabaikan. Negara diduga telah lalai dalam melakukan pengawasan sehingga vaksin palsu bisa beredar dengan bebas selama bertahun-tahun.
Di dalam Konvensi Hak Anak tersebut, ditegaskan beberapa prinsip dasar dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak anak.
Pertama, hak untuk tidak mengalami diskriminasi. Prinsip itu melarang segala bentuk diskriminasi atas penikmatan hak-hak anak, termasuk hak atas kesehatan. Negara harus bersikap pasif agar tidak mengganggu, mengurangi, atau menghalangi setiap anak dalam menikmati hak-haknya.
Di samping peran pasif negara, dibutuhkan tindakan proaktif dari negara untuk menjamin adanya kesempatan yang sama bagi setiap anak untuk menikmati hak-haknya.
Kedua, hak untuk hidup, bertahan, dan mengembangkan diri. Negara harus menciptakan lingkungan yang mampu menghormati martabat anak dan menjamin pengembangan diri yang holistik bagi setiap anak. Dengan demikian, anak mampu mengembangkan potensi dirinya secara bebas dan dinamis.
Ketiga, hak untuk didengar. Negara harus menghormati hak anak untuk mengekspresikan pandangannya secara bebas. Kadang, karena dianggap masih di bawah umur, orangtua atau negara mengabaikan aspirasi atau pendapat anak. Padahal, anak pada setiap jenjang umur dan tingkat kedewasaan mempunyai kemampuan untuk mengekspresikan dirinya. Semua pihak harus belajar untuk memahami ekspresi anak sebagai bagian dari hak anak untuk didengar.
Lebih lanjut, Pasal 3 ayat (3) Konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa negara berkewajiban memastikan lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas perawatan dan perlindungan anak agar melakukan pengawasan dalam bidang kesehatan dan keselamatan anak.
Di dalam Komentar Umum PBB Nomor 14 tentang Hak atas Standar Kesehatan yang Tinggi sebagai penjabaran dari Pasal 12 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, terdapat empat elemen mendasar yang harus dipenuhi negara dalam menghormati, memenuhi, dan melindungi hak atas kesehatan, khususnya bagi anak-anak.
Pertama, ketersediaan, di mana fasilitas kesehatan harus tersedia dalam jumlah dan kualitas yang memadai untuk menjamin hak anak untuk mendapatkan kesehatan. Misalnya, negara harus mengawasi ketersediaan vaksin secara benar dan dalam jumlah yang cukup sehingga tidak ada peluang masuknya vaksin palsu.
Kedua, aksesibilitas, di mana negara harus memastikan fasilitas kesehatan, termasuk vaksin bisa diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi, juga di daerah yang terpencil sekalipun. Terkuaknya korban vaksin palsu di ibukota negara menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan anak-anak yang jauh dari ibukota yang tidak bisa mengakses vaksin yang benar. Untuk itu, negara harus memastikan bahwa anak-anak di daerah pun terbebas dari kejahatan vaksin palsu ini.
Ketiga, keberterimaan, di mana fasilitas kesehatan, barang, dan pelayanannya harus menghormati sisi etika dan budaya setempat. Dalam konteks budaya dan masyarakat tertentu, pemberian vaksin perlu dikonsultasikan dengan pimpinan adat (budaya) sehingga bisa diterima secara baik.
Keempat, kualitas, di mana fasilitas, barang, dan pelayanan kesehatan harus dijamin kualitasnya, sehingga setiap anak memperoleh hak atas kesehatan yang setara dan berkualitas yang menjamin dirinya mampu tumbuh dan berkembang secara layak.
Kasus vaksin palsu adalah ujian bagi negara untuk menuntaskannya dari hulu hingga ke hilir. Sebab, ia tidak hanya menjadikan anak-anak sebagai korban, tapi juga mempertaruhkan kualitas generasi masa depan bangsa.
Proses hukum yang sedang berjalan harus diawasi dan dikontrol sehingga penegak hukum bisa menguak akar kejahatan sampai ke aktor besarnya. Sedangkan atas korban vaksin palsu, negara harus memulihkannya melalui langkah-langkah yang segera dan terencana, di antaranya melakukan pemeriksaan ulang, pemberian vaksin ulang, dan mengontrol proses produksi dan distribusi vaksin secara benar.