Minggu, November 24, 2024

Benarkah Pelaku Kekerasan itu karena “Gangguan Jiwa”?

Lya Fahmi
Lya Fahmi
Mahasiswa Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta.
- Advertisement -

Dalam beberapa minggu terakhir, ketenangan hidup kita diusik oleh kabar kekerasan-kekerasan yang terjadi dalam waktu berdekatan. Dimulai dari penyerangan terhadap KH Umar Basri di Cicalengka, (Alm.) Ustaz Prawoto di Bandung, dan Gereja St. Lidwina di Sleman yang melukai beberapa orang, termasuk Romo Prier.

Kejadian-kejadian itu tak pelak menimbulkan banyak spekulasi. Ada yang memandangnya sebagai rangkaian peristiwa yang berkaitan dan ada pula yang tak mau meyakininya sebagai konspirasi. Yang menarik, mengutip Wahyudi Akmaliah, ketiga kasus ini disimpulkan sebagai kekerasan yang dilakukan oleh Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Ketika tulisan ini dibuat, beredar pula kabar terbaru tentang penyerangan masjid di Tuban yang diduga dilakukan oleh ODGJ.

ODGJ tiba-tiba saja populer sebagai pelaku tindak kekerasan. Di lini masa sosial media, mulai ramai orang-orang menuliskan komentar yang mengandung kata “orang gila,” meskipun sebagian besar menuliskannya sebagai ekspresi tak percaya. Terlepas sudah sejauh apa penyelidikan polisi terhadap kasus-kasus ini, dugaan kekerasan yang dilakukan oleh ODGJ sudah sangat mengemuka.

Benar atau tidak, saya tak ingin membahasnya. Melalui tulisan ini, saya hanya ingin mengajak kita semua untuk berpikir ulang tentang hubungan antara kekerasan dan gangguan jiwa. Kekerasan oleh ODGJ itu fakta atau stigma?

Gangguan jiwa memiliki banyak variasi, mulai dari gangguan jiwa ringan (seperti kecemasan) hingga gangguan jiwa berat (seperti skizofrenia). Masing-masing variasi gangguan jiwa memiliki gejala-gejala yang berbeda. Gejala depresi tak sama dengan gejala skizofrenia.

Gejala skizofrenia tak sama dengan gejala kecemasan sosial. Gejala kecemasan sosial tak sama dengan gejala gangguan kepribadian, dan seterusnya. Banyak variasi gangguan jiwa yang tidak dikenali oleh masyarakat umum karena literasi kesehatan jiwa yang rendah. Seluruh definisi tentang gangguan jiwa seolah terangkum dalam satu kata: Gila.

Seseorang yang diduga berkaitan dengan masalah atau gangguan kejiwaan dipukul rata dengan sebutan “orang gila.” Pertanyaannya, dengan sebutan gila, variasi gangguan jiwa mana yang dimaksudkan?

Jika Anda adalah seseorang yang memiliki gangguan jiwa dalam bentuk gangguan kecemasan atau depresi, yang mana dialami oleh 14 juta jiwa penduduk Indonesia (Riset Kesehatan Dasar tahun 2013), apakah rela disebut “orang gila?” Saya yakin, jawabannya tidak. Dengan demikian, label “gila” tidak layak kita gunakan karena ia tidak menunjuk pada suatu apa pun, kecuali memperkuat stigma.

Kekerasan merupakan salah satu stigma yang melekat pada ODGJ. ODGJ sering dipandang sebagai orang yang berbahaya. Tak jarang, stigma ini membuat ODGJ terkucil dari masyarakat sekitarnya. Orang-orang secara otomatis menjauh untuk menghindari bahaya.

Padahal, gangguan jiwa tak selalu berkaitan dengan perilaku agresif, sekalipun itu penderita skizofrenia. Skizofrenia mungkin gangguan yang paling dekat dengan konotasi  “gila,” namun dalam studi Rueve dan Welton (2008) disebutkan 92% penderita skizofrenia tidak melakukan tindak kekerasan. Alih-alih melakukan tindak kekerasan, justru penderita gangguan jiwalah yang sering menjadi sasaran tindak kekerasan orang-orang di sekitarnya (Stuart, 2003).

- Advertisement -

Beberapa dari Anda mungkin tak sepakat dengan penjelasan di atas, mungkin Anda pernah mengetahui atau melihat ODGJ, khususnya penderita skizofrenia, melakukan tindak kekerasan. Namun, hal yang perlu dicatat, perilaku agresif yang ditunjukkan oleh ODGJ hanya terjadi disaat gejala-gejala psikiatrik yang mereka alami dalam keadaan aktif.

Gejala-gejala tersebut biasanya berupa halusinasi atau delusi. Untuk memahami hal ini, ada adegan dalam film Beautiful Mind yang dapat membantu kita memahami hubungan antara kekerasan dan delusi. Salah satu adegan dalam film tersebut menggambarkan aksi kejar-kejaran di area kampus antara John Nash dengan sekelompok orang.

Dalam kesadaran John Nash, orang-orang yang mengejarnya adalah mata-mata musuh yang ingin mencelakainya. Sebagai usaha mempertahankan diri, John Nash melukai salah seorang dari kawanan tersebut. Tapi belakangan kita tahu bahwa orang-orang yang mengejar John Nash itu bukanlah mata-mata musuh, tapi petugas-petugas rumah sakit jiwa, dan yang sempat dilukai oleh John Nash adalah dokter jiwa.

Keyakinan-keyakinan yang salah akibat persepsi yang menyimpang dari kenyataannya itulah yang disebut dengan delusi. Delusi itu yang memicu John Nash bertindak agresif hingga melukai seseorang; ia melindungi diri dari sesuatu yang sebenarnya tak terjadi. Dan ketika John Nash menjadi lebih stabil karena sudah mendapat pengobatan, tak kita lihat lagi John Nash melukai siapapun. Saat gejala-gejala psikiatrik dapat dikendalikan melalui pengobatan, tidak ada bahaya yang perlu dikhawatirkan.

Cerita John Nash memberi kita informasi, kadang perilaku agresif yang ditunjukkan oleh ODGJ lebih sebagai bentuk pertahanan diri. Tindak kekerasan yang ditunjukkan kadang merupakan reaksi atas kekerasan yang mereka dapatkan. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Stuart (2003), alih-alih melakukan tindakan kekerasan, ODGJ justru sering menjadi objek kekerasan itu sendiri.

Bullying, pengabaian dari keluarga, atau pemasungan adalah bentuk-bentuk kekerasan yang sering diterima oleh ODGJ. Ketika perilaku agresif itu merupakan tindakan untuk mempertahankan diri, apakah adil untuk menghakimi mereka sebagai orang yang mengakibatkan kekerasan?

Masih menurut Stuart (2003), sangat sedikit tindak kekerasan yang betul-betul melibatkan ODGJ. Dari kejadian yang sedikit itu, korban “kekerasan” yang dilakukan oleh ODGJ lebih sering keluarga atau orang dekat. Jika merujuk pada pendapat ini, cukup sulit dipercaya bahwa pelaku di setiap tindak kekerasan akhir-akhir ini dilakukan oleh ODGJ.

Entah siapa yang memulai dan apa maksud dari gembar-gembor ODGJ sebagai kambing hitam banyak kejadian belakangan ini. Yang jelas, dugaan-dugaan ini memperkuat stigma negatif terhadap ODGJ, memperkuat pandangan bahwa ODGJ memang berbahaya dan mudah melakukan tindak kekerasan. Tak banyak orang yang menyadari, stigma adalah hal yang lebih berat untuk dihadapi ODGJ dari pada gangguan jiwa itu sendiri.

Kolom terkait:

Dalih “Orang Gila”, Kekerasan, dan Politik Oligarki

Kharisma Jati dan Komedi yang “Sakit”

Lya Fahmi
Lya Fahmi
Mahasiswa Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.