Hari-hari ini, di era lubernya informasi dan meriahnya media sosial, kita dapat melihat semua orang bisa serta-merta berpendapat dan selanjutnya ramai-ramai menganalisis hal sumir seperti dugaan, khayalan bahkan harapan—tiga objek yang tidak memiliki landasan objektif untuk dianalisis.
Analisis seharusnya adalah proses mengurai sesuatu yang kompleks dalam bagian-bagian yang lebih kecil untuk memahaminya lebih baik. Teknik ini dipakai dalam studi matematika dan logika sejak masa Aristoteles (384–322 B sebelum Masehi), meski istilah analisis sebagai konsep formal masih relatif baru.
Prinsipnya, analisis ingin memastikan keberadaan objek yang dianalisis memiliki kegunaan praktis. Anda bisa bayangkan apa jadinya jika Anda menganalisis khayalan tentang komputer sebesar gunung Kelud? Lalu Anda buat estimasi kecepatannya, komponen-komponennya, RAM-nya, kapasitas memorinya, dan sebagainya?
Atau menganalisis dugaan istri besok akan dapat uang kejutan sebesar 10 miliar? Lalu apa saja kira-kira yang akan dia beli? Di mana dia akan belanjakan uang itu? Atau harapan agar lusa semua penyakit kanker lenyap dari dunia? Atau menganalisis Mukidi jadi Sekjen PBB tahun 2100?
Analisis terhadap keadaan yang tidak ada landasan objektifnya sama saja dengan melakukan kesia-siaan.
Jika bukan untuk tujuan bergurau dan menghibur, manfaat ilmiah dari analisis tersebut bisa dikatakan nihil. Inilah yang tentu akan kita hindari saat kita berbicara tentang soal-soal yang serius dan melibatkan kepentingan orang banyak.
Analisis yang rapuh bersandar pada khayalan dan harapan juga terjadi pada kasus perang Suriah. Sudah banyak yang menulis ihwal konflik Suriah dan berbagai faktor yang menyebabkannya, meski sedikit sekali yang benar-benar mengenali dan memahami dengan tepat. Lalu beberapa saat setelah konflik berdarah itu meletus awal tahun 2011, ada yang menghembuskan secara serius kemungkinan bahwa Indonesia akan menjadi seperti Suriah.
Tentu yang dimaksud sebagai kemungkinan ini bukan sekadar kemungkinan filosofis yang bersifat umum dan das sollen, tapi kemungkinan yang dekat dan das sein. Dalam memaparkan kemungkinan Indonesia menjadi seperti Suriah itu tampaknya tidak jarang orang lupa melihat kenyataan fisik, geografis, demografis, etnografis, dan geopolitik.
Jika Anda pernah melihat film perang, Anda mungkin masih ingat bagaimana para komandan duduk di sebuah ruang merancang strategi. Di ruangan itu biasanya selalu ada peta yang terpampang dan menempel di dinding. Jika Anda bertanya mengapa harus ada peta itu secara fisik, maka jawabannya agar analisis yang dilakukan di ruang itu berpijak pada kenyataan yang ada, fakta-fakta konkret, dan situasi lapangan yang sebenarnya.
Sebaliknya, analisis yang diharapkan dapat melahirkan sebuah strategi dan taktik itu tidak boleh didasarkan pada dugaan, informasi yang salah, apalagi sekadar nubuat atau ketakutan yang tidak berdasar. Demikianlah.
Suriah bukanlah negara di antah-berantah yang kita sulit untuk melihat, mengobservasi, dan menelitinya secara langsung. Ambillah peta—atau lebih gampang lagi buka Google Map—dan perhatikan segalanya secara saksama. Lalu buka Wikipedia untuk melihat informasi seputar Suriah secara lebih jauh dan mendalam. Pelajari berbagai aspek demografi, etnik, dan militernya. Dengan cara murah ini Anda akan punya gambaran untuk mengikuti isi tulisan ini lebih runut.
Pertama, Suriah adalah negara yang memiliki luas 185,180 km2 (bandingkan dengan Indonesia yang memiliki luas 1,904,569 km2 ). Lalu populasi Suriah adalah 17,064,854 jiwa pada 2014 (bandingkan dengan Indonesia yang memiliki populasi 255,461,700 pada tahun 2015).
Geografi Suriah pada umumnya adalah daratan yang sebagiannya subur dan dataran tinggi (bandingkan dengan Indonesia yang terdiri atas belasan ribu pulau dengan begitu banyak sungai).
Kedua, Suriah sejak ratusan tahun telah menjadi korban invasi militer yang bertubi-tubi karena letaknya yang menghubungkan antara Timur dan Barat. Sejak imperium Romawi hingga era Kekhalifahan Ustmani area ini diperebutkan.
Secara geopolitik fakta tersebut menyebabkan daerah ini memiliki kerawanan yang lebih tinggi ketimbang Indonesia yang relatif aman dari keadaan serupa. Salah satu yang paling nyata dalam kasus Suriah ialah fakta bahwa belum lama ia lepas dari Imperium Ustmani yang menduduki wilayah ini selama ratusan tahun.
Setelah kekuatan Imperium Ustmani menyusut drastis dan menjadi negara sekuler pasca Perang Dunia I, Turki mantan penjajah itu tetap menjadi tetangganya. Inilah masalah yang tidak pernah dialami oleh Indonesia, misalnya, yang tidak pernah dijajah oleh imperium yang menyusut lalu menjadi jirannya.
Turki, sebagaimana yang kita ketahui, menyimpan ambisi untuk kembali menguasai Suriah pra Perjanjian Sykes-Picot. Erdogan yang beberapa kali menyiratkan ambisinya untuk memulihkan kembali Kekhalifahan Utsmani seperti tidak pernah merasa rela melihat Suriah menjauh dan kian mandiri dari pengaruh Turki. Apalagi, menurut hitungan Erdogan, mayoritas rakyat Suriah masih menginginkan tumbangnya kekuasaan minoritas Alawi yang melawan Imperium Turki.
Walhasil, rivalitas lama itu memang mudah sekali untuk kembali kumat dan menyulut konflik. Dengan demikian, Suriah selalu bertetangga dengan negara yang menyimpan post-power syndrome terhadapnya.
Ketiga, dan ini nyaris sama sekali tidak ada dalam kasus Indonesia, Suriah memiliki musuh yang hingga kini menjajah dan menduduki wilayahnya. Musuh itu tak lain adalah Israel. Hingga hari ini negara Yahudi itu menjajah dataran tinggi Golan dan tidak pernah membuat perjanjian damai.
So, sejak 1960-an Suriah berada dalam status perang dengan negara tetangganya, Israel. Dalam konteks inilah Suriah kemudian mendukung gerakan-gerakan perlawanan Palestina dan Lebanon untuk memerangi Israel. Hamas dan Hezbollah sama-sama mengakui peran Suriah dalam membantu mereka melawan Israel, baik dalam persenjataan, pelatihan militer maupun dukungan politik.
Jadi, selain perang frontal yang on-off dengan Israel, Suriah juga terlibat perang proksi selama puluhan tahun lamanya. Akibat dukungannya terhadap gerakan-gerakan perlawanan itu, maka perang intelijen Israel terhadap Damaskus tak pernah berhenti. Akibat lainnya, jutaan pengungsi Palestina yang berjuang untuk kembali ke tanah airnya juga tinggal sementara di berbagai kamp di Suriah.
Rakyat Palestina yang tinggal di kamp-kamp itu tetap membawa senjata mereka ke dalam wilayah penampungan—menimbulkan komplikasi serius terhadap keamanan Suriah. Dampaknya, saat meletus konflik di tahun 2011, sebagian warga Palestina pendukung pemerintah berperang dengan sebagian lain yang mendukung pemberontak/oposisi.
Peredaran senjata itu diperparah oleh adanya gerakan perlawanan Irak terhadap rezim Saddam dan Amerika Serikat pasca 2003 sebagaimana dipaparkan pada poin berikutnya.
Dari satu dimensi objektif ini saja situasi Suriah tidak memiliki kesamaan kecuali mungkin dengan Lebanon yang juga tetangganya. Israel bersama sekutu terdekatnya juga melancarkan berbagai jenis perang lain, termasuk perang ekonomi dan politik di fora internasional. (Bersambung ke bag. 2)
Baca