Jumat, Maret 29, 2024

Kemerdekaan, Pendidikan, dan Kemanusiaan

Dr. Dea Tunggaesti, SH, MM.
Dr. Dea Tunggaesti, SH, MM.
Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI)

Ya, tahun ini kita tak merdeka untuk memperingati kemerdekaan.

Sirna sudah keriuhan perlombaan di tanah lapang pada peringatan kemerdekaan RI. Semua warga diminta berdiam diri di rumah. Virus corona, yang belum juga bisa ditundukkan, masih berkeliaran mencari korban.

Tapi, persis di sana kita sejatinya punya waktu lebih luang untuk merenungkan kembali makna kemerdekaan dikaitkan dengan konteks kekinian.

Para founding fathers dulu bergerak karena menolak bangsa ini berada dalam otoritas asing yang bernama rezim kolonial. Selapis anak bangsa yang beruntung memperoleh pencerahan dari bangku pendidikan lalu mulai berhimpun, berdiskusi, dan mengimajinasikan sebuah bangsa yang merdeka.

Kata sejarawan, pendidikan adalah dinamit bagi sistem kolonial. Berkat anak-anak yang mencicipi sekolah, kolonialisme mulai digugat dan akhirnya hendak diakhiri. Buku-buku mengajari mereka bahwa manusia itu setara, tidak boleh ada yang lebih berkuasa dan menindas karena alasan etnis atau ras.

Pada tahun ini, kita risau karena bangsa ini berada dalam kekuasaan “otoritas asing” yang juga tak kita kehendaki, yaitu pandemi akibat Covid-19. Perbedaannya, ini bukan melulu masalah Indonesia, melainkan problem global.

Untuk mengakhirinya, ikhtiar penting telah dilakukan: membuat vaksin. Tapi, ikhtiar ini perlu berbulan-bulan. Kabarnya paling cepat awal 2021 vaksin baru bisa diakses.

Dalam masa penantian itu, hidup kita semua dibekap bahaya karena virus yang masih merajalela. Kita lalu harus selalu memakai masker saat di luar rumah, menjaga jarak, juga rutin mencuci tangan.

Tapi bahaya besar lain juga menyungkup: perekonomian yang meredup. Banyak perusahaan merumahkan karyawan. Daya beli melemah.

Pada masa seperti ini, sebagai anak bangsa, inilah saat tepat untuk mengerjakan hal yang barangkali selama ini lebih banyak ada di benak: solidaritas kemanusiaan. Dengan kemampuan masing-masing, ini saat untuk membantu sesama. Ya, kemampuan jelas berbeda-beda. Tapi jangan membuat kita terhalang untuk ikut menolong.

Saya berikan sebuah contoh. Jika di rumah ada telepon genggam yang tidak terpakai padahal masih bisa digunakan, ini saatnya untuk menyampaikan kepada para siswa yang membutuhkan. Sekarang ada sekitar 52 juta siswa yang harus belajar dari rumah. Mereka idealnya membutuhkan komputer atau laptop; tapi dalam kondisi darurat, sebuah telepon genggam bisa lumayan membantu. Namun banyak di antara anak-anak kita yang bahkan tak punya telepon genggam.

Kita baca di berita, seorang ayah di Garut, Jawa Barat, nekad mencuri telepon genggam untuk anaknya yang harus belajar dari rumah. Hati siapa yang tak teriris mendengar kabar menyedihkan ini?! Tapi tak cukup stop di sana, kita mesti bergerak.

Silakan googling atau tanya kiri-kanan, sudah ada beberapa inisiatif untuk mengumpulkan telepon genggam bekas. Sampaikan telepon genggam Anda ke sana. Selalu ada jalan untuk berbuat kebaikan. Insya Allah bantuan tersebut akan sangat bermanfaat.

Saya sendiri telah menggalang aksi pengumpulan dana di kitabisa.com. Uangnya akan dibelikan telepon genggam untuk keperluan belajar anak-anak kita yang kurang beruntung. Alhamdulillah, donasi terus mengalir. Ini semua membuktikan bahwa kepedulian pada sesama masih besar.

Pendidikan, saya percaya, berperan besar dalam mengubah nasib sebuah kaum atau bangsa dalam setiap fase. Lihat saja para founding fathers. Pendidikan yang membelokkan jalan pikiran mereka dan lalu merumuskan kessimpulan bahwa kemerdekaan harus diperjuangkan.

Pada hari-hari ini, pendidikan anak-anak kita terancam – karena belajar dalam situasi tidak ideal. Saatnya mengulurkan tangan, semampu kita. Jangan sampai kita kehilangan satu generasi karena abai membantu mereka.

Momentum peringatan kemerdekaan tahun ini selayaknya membimbing kita kembali untuk menekuni jalan kemanusiaan. Seperti para founding fathers tekadkan dulu: kemerdekaan adalah jalan, bukan tujuan. Tujuannya sendiri adalah, seperti tercantum dalam Mukadimah UUD 1945: “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”

Pandemi selayaknya merekatkan kembali solidaritas kemanusiaan kita. Seperti tersurat dalam sejumlah meme dan itu benar belaka: “We are not all in the same boat, but we are all in the same storm.”

Dr. Dea Tunggaesti, SH, MM.
Dr. Dea Tunggaesti, SH, MM.
Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.