Minggu, November 24, 2024

Kembali Kepada Pemilik Kisah, Sebuah Strategi Kebudayaan

AJ Susmana
AJ Susmana
Penulis
- Advertisement -

Pada mulanya adalah kata. Kata itu telah menjadi film dan tinggal di antara kita; menjadi industri yang melupakan kata. Akibatnya kata menjadi kering dan film (nasional) pun menjadi kering; tak ada asupan bergizi yang mengalir dari kata.

Ungkapan tersebut adalah uneg-uneg betapa jomplangnya Negara (lebih jelasnya: Pemerintah) menghidupi kehidupan spiritualnya (baca juga: kebudayaan) dalam hal ini skup bidang Sastra dan Film.

Kehidupan dunia film terlihat begitu mewah, glamour, berbiaya tinggi sementara Sastra seperti terlunta-lunta dari panggung kesepian ke kesepian berikutnya dengan sekali-kali tepukan menyambut  kelahiran sebuah Novel  (buku) dan angkat gelas pada sang juara yang bingung dengan nilai kejuaraannya di antara keagungan masa lalu dalam sebuah Fakultas atau Jurusan Sastra dan suatu saat meraih mimpi sebagai sastrawan dunia yang disambut di rumah Nobel dengan materi yang berlimpah.

Tapi pada saat itu, usia sudah tua menjelang masuk kubur sehingga barangkali masih berguna menjadi inspirasi kisah berikutnya bagi generasi mendatang. Betapa susah untuk mendapat Hadiah Nobel yang di sana Sastra diagungkan sebab di sana tidak ada Hadiah untuk tukang bikin film. Ini tentu saja bukan tentang perkara Nobel tetapi bagaimana menciptakan basis yang kuat buat dunia perfilman nasional yang bermutu dan juga sekaligus menggerakkan industri kreatif.

Menjadi sastrawan di Indonesia tentu berat karena tak ada kondisi yang mendukung seperti Hadiah Sastra Nasional dan atau daerah yang besar. Setiap tahun sekali misalnya. Pramoedya Ananta Toer dan W.S. Rendra kaya lebih karena dirinya sendiri, bukan karena peran negara dan ini merupakan keajaiban yang berakar pada kepercayaan bahwa seorang pujangga akan lahir pada zamannya. Peran ini justru diambil oleh swasta.

Coba cek hadiah Sastra di Indonesia. Swasta lebih menonjol mengambil peran seperti hadiah yang menggiurkan dari Khatulistiwa Award misalnya pernah 100 juta rupiah! Bandingkan dengan Dewan Kesenian Jakarta untuk tahun 2023, 25 juta untuk juara menulis masing-masing untuk Novel dan Puisi. Lomba-lomba yang lain lebih rendah nilainya yang tidak cukup untuk menutup biaya riset dan penulisan sebuah Novel.

(Barangkali) Seorang penulis novel standardnya membutuhkan waktu untuk menulis 1 tahun atau dua tahun sementara risetnya bisa lebih panjang dari itu. Total menulis novel professional kira-kira 3 sampai 5 tahun. Karena itu hadiah yang pantas untuk sebuah Novel Indonesia dari negara adalah sekitar 500 Juta rupiah mengingat dari swasta seperti Khatulistiwa Literary Award yang kemudian berganti  Kusala Sastra Khatulistiwa sebesar Rp 100 juta.

Mengapa sastra begitu penting bagi kelangsungan sebuah bangsa sehingga perlu mendapatkan hadiah besar dan negara harus berperan aktif menghidupkan dunia sastra sebelum nanti dengan sendirinya menghidupkan dunia film nasional? Ada banyak alasan tentunya yang bisa dikemukakan.

Tetapi yang pokok dan prinsip adalah  karena Sastra mendahului sejarah. Kelangsungan hidup manusia dan selanjutnya agar bermakna dan  abadi haruslah dikisahkan. Kisah tidak membutuhkan fakta sebagaimana sejarah membutuhkannya. Tetapi peristiwa demi peristiwa yang dimaknai dan berarti harus dikisahkan dari generasi ke generasi dalam berbagai cara yang kadang perlu mengaburkan fakta yang terjadi demi tujuan yang hendak dicapai. Di situlah kita mengerti makna dari perkataan: “Pada mulanya adalah kata”

Ronggawarsito pujangga Surakarta, misalnya, yang sudah kehilangan sejarah sastra Jawa Kuno karena sebagaimana dikatakan Poerbatjaraka bahwa Ronggawarsito tidak mengerti bahasa Jawa kuno, tetapi terpaksa karena posisinya sebagai pujangga istana yang harus memberi “nasehat” kepada raja terpaksa menuliskan karya-karya sastranya selain dari kemurnian hatinya sebagai pujangga tapi juga terkadang salah dalam memahami warisan sastra Jawa Kuno.

- Advertisement -

Lalu Dinasti Mataram yang juga tidak mengerti sejarah masa lalunya menuliskan sejarah Jawa Kuno terutama Majapahit berbeda dengan apa yang ditemukan kaum sejarawan tetapi kisah seperti dalam Babad Tanah Jawa,  nama-nama Brawijaya sebagai raja-raja Majapahit sangat melekat di sanubari orang Jawa dan menghidupi serta mengiringi kebesaran Mataram. Kisah atau sastra itulah yang awal mula memberi makna keberadaan manusia. Dalam hubungannya dengan bangsa, sastra nasional itulah yang akan menjadi basis kepribadian bangsa yang harus dijaga dan dikembangkan.

Karena itu, sastra nasional tidak bisa dibiarkan dihidupi oleh swasta atau asing sebab sastra menjadi jiwa bangsa. Apa yang dilakukan oleh Kusala Khatulistiwa Award,dengan memberikan hadiah yang besar (dan itu pantas)  adalah kritik terhadap negara yang tidak menghidupkan sastra nasional. Negara seharusnya memberikan hadiah sastra lebih besar dari apa yang dilakukan Richard Oh dengan Kusala Khatulistwa Awardnya itu sehingga bisa menjadi semacam Nobel ala Indonesia,

Kalau kita bicara Hilirisasi yang lagi ramai dalam dunia ekonomi dan masa depan industri kita sehingga sebagian calon presiden dan cawapres perlu menjadikannya bahan kampanye untuk kemenangan Pemilu Presiden 2024, Dunia Film adalah hilirisasinya. Tapi tanpa menghidupkan dunia sastra sebagai hulu, dengan memberikan peluang lebih besar untuk penemu kisah dan makna peristiwa kehidupan manusia, para sastrawan dan calon sastrawan itu, kita pun tidak bisa mengharapkan dunia (industri) film nasional yang bermutu akan tercipta. Kita sering silau dengan dengan bagusnya film ini itu dari  berbagai bangsa tetapi lupa bagaimana mereka memperlakukan hulu (sastra) lebih bagus dari kita: Indonesia.

Marilah kita kembali kepada pemilik kisah (kasih hadiah yang besar di sini). Nobel sangat mengerti ini. Karena itu  ada hadiah sastra bukan tukang film karena sastrawan adalah juga penemu seperti halnya penemuan di bidang fisika, teori,dan ilmu lain-lain. Film hanyalah alat diseminasi gagasan dan pesan atau sebagai alat propaganda dan penyebar yang modern dan efektif karena watak visualnya.

Karena itu, dengan memberi peluang untuk lahirnya atau terciptanya penulis sebanyak mungkin dan menempatkannya sebagai raja atau ratu  dalam dunia kisah bukan,  para tukang film,  dengan hadiah uang yang banyak selayaknya Hadiah Nobel, niscaya kehidupan film nasional pun akan berkembang hidup dan berkualitas. Orang mungkin tahu betapa bagusnya film Red Cliff tapi tahukah dia kalau Red Cliff hanya fragmen dari sebuah novel karya?

Sebagai strategi kebudayaan, menghidupkan atau menggairahkan dunia hulu yaitu sastra dengan memberikan hadiah ala Nobel Indonesia ini  barangkali layak untuk diajukan kepada para capres dan cawapres yang kini berlaga di Pemilu 2024. Atau barangkali, para capres dan cawapres mempunyai strategi kebudayaan yang lain yang hendak didialogkan dengan para pekerja seni dan budaya?

AJ Susmana
AJ Susmana
Penulis
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.