Begitu banyak berita kematian di surat kabar. Saya tidak hanya bicara tentang iklan belasungkawa atas kematian yang biasa muncul di surat kabar. Misalnya di edisi Rabu, 27 Juli 2016, dalam harian Tempo yang berjumlah 32 halaman saja saya mendapati empat berita kematian.
Saya membaca tewas terbunuhnya 19 penyandang disabilitas di Tokyo. Di lembar berikutnya, ada berita pemerintah kita hendak menghukum mati 14 terpidana kasus narkoba; dua mayat ditemukan dalam air yang mungkin korban kriminalitas di Depok; juga mayat misterius bertato Batman, dan kematian seorang pastor akibat penyerangan di sebuah gereja di Prancis.
Ini hanya dari sebuah surat kabar. Belum lagi jika saya mungkin membaca surat kabar lainnya yang memberitakan serangan tak henti di negara-negara berkonflik di Timur Tengah, pembunuhan perempuan atas nama kehormatan (kill of honour) dan pembunuhan karena kalah kudeta.
Kita dijejali berita kematian, bukan tentang duka cita dan empati. Berita-berita tentang kematian dan kekerasan yang terus menerus, silih berganti, membuat kita banal. Setiap kali membuka lembaran berita di surat kabar cetak, majalah, ataupun layar smartphone dan laptop, apakah kita menjadi peduli dengan kehidupan atau membuat kita menjadi takut pada kamatian? Apakah hidup itu benar berharga?
Ketika bicara tentang kehidupan dan kematian dalam paradigma sekuler, kita menyandarkan diri pada perdebatan tentang hak asasi manusia yang mencakup hak hidup sebagai dak dasar. Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu bersepakat bahwa HAM merujuk pada Pernyataan Umum tentang (1). Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan individu.
Saya meminjam cara pandang kelompok Liberal-Libertarianisme dalam memandang HAM yang mereka pandang cukup problematis. Perdebatan tentang HAM berkisar pada dari mana dan dalam bentuk apa HAM berasal. Apakah HAM bisa kita lihat muncul sebagai sesuatu yang alamiah ataukah sebuah kontrak sosial (konvensi).
Kelompok liberal memandang HAM bisa dijalankan apabila kita melihat hak hidup dilekatkan dengan hak kepemilikan, hak kepemilikan terhadap kehidupan dan terhadap tubuh sebagai bagian dari properti. Argumen ini mengimani bahwa HAM adalah sebuah kesepakatan. Tentu saja pandangan ini tidak terlepas dari anggapan bahwa semua manusia adalah makhluk rasional dan mampu bersepakat pada suatu hal yang menyangkut untung-rugi.
Manusia rasional menolak kesepatakan yang bersifat merugikan dan menerima kesepakatan yang menguntungkan mereka. Maka, jika dilihat secara keseluruhan, Pernyataan Umum dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia menimbulkan kontradiksi.
Dengan melihat banyaknya berita pengambilan hak hidup orang lain di surat kabar hari ini saja saya menyadari beberapa hal. Kalau memang kita (mayoritas) menerima HAM sebagai hal yang alamiah, apakah kita bisa dengan mudah merampas hak hidup orang lain?
Pembunuhan terhadap 19 orang penyandang disabilitas dan ISIS dengan mudahnya memenggal kepala orang yang tidak setuju dengan pemahaman mereka adalah bukti kekuasaan mampu mengintervensi hak hidup orang lain. Buat saya, yang alamiah adalah kekuasaan dan intervensi.
Sosialisasi bahwa semua orang harus menerima konsep HAM di Indonesia sudah gagal di awal. Aparat negara kita yang bertugas mensosialisasikannya saja gagal dengan menolak hasil keputusan International People’s Tribun 1965. Bagaimana dengan kondisi masyarakat di akar rumput, di samping berjejalnya berita penghilangan nyawa? Apakah benar kita memahami dan menghargai hak hidup?
Yang ajaib, berita kriminalitas tentang pembunuhan dan kekerasan massa terhadap pelaku kriminalitas disajikan televisi ketika pas jam makan siang. Hartoyo, aktivis LGBT yang baru-baru ini dilaporkan oleh Senator Fahira Idris, bercerita kepada saya bahwa ia hampir setiap hari dikirimkan ancaman pembunuhan karena membela hak-hak LGBT.
Jangan lupakan juga ancaman pembunuhan kepada Ulil Abshar-Abdalla oleh Forum Ulama Umat Islam Indonesia (FUUI). Di sini muncul kontradiksi HAM lagi; ketika hak berkumpul dan menyampaikan pendapat dibuka, hak hidup diancam. Seseorang dan sekelompok merasa berhak atas hidup orang lain.
Pertanyaan selanjutnya adalah di manakah negara? Apakah negara dan kekuasaannya mampu membela HAM yang paling dasar saja seperti hak hidup?
Saya rasa kegagalan kita sebagai masyarakat Indonesia untuk memahami HAM sudah dicontohkan oleh negara yang hendak mengambil nyawa manusia, bahkan warga negaranya sendiri karena kasus narkotika.
Negara Indonesia yang selalu mengklaim sebagai negara hukum jelas melanggar sendiri Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945. Pasal ini dengan jelas mengatakan bahwa, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Apa yang dicontohkan oleh negara di bawah pemerintahan Joko Widodo ini membuat kita cacah-cacah* ikut serta saja atas argumen-argumen rasionalisasi negara akan adanya hidup manusia yang lebih berharga dari manusia lainnya.
Terang saja jika masyarakat makin tidak menghargai hak hidup, berita kriminalitas bertaburan, dan nyawa-nyawa yang hilang. Kita menjadi terbiasa dan empati tidak ada lagi.
Dalam suatu forum kepemudaan nasional yang pernah saya hadiri, seorang pemuda dengan semangat berapi-api menyatakan bahwa dia mendukung sekali hukuman mati yang dilakukan negara. Seorang pemuda dengan bangga menyatakan setuju akan pembunuhan atas nama kekuasaan terhadap hak individu lain untuk hidup.
Pemuda tersebut menjadi acuan saya untuk melihat potret generasi penerus bangsa yang gagal memahami HAM. Mengapa? Karena negara dan kekuasaannya mencontohkan bahwa kamu bisa mengambil hidup orang lain, jika kamu memiliki kekuasaan lebih dari yang lain.
*Cacah adalah satuan hitung penduduk yang digunakan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara pada masa pra-kolonial.