Rabu, November 13, 2024

Kekerasan Politik: Bom Waktu Amerika

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Dalam dua bulan saja, telah terjadi dua percobaan pembunuhan. Ini bukan lagi sekadar kebetulan, melainkan alarm bahaya yang menjeritkan adanya masalah serius: kekerasan politik. Perlu diingat, kekerasan politik tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh subur di tanah yang dipupuk oleh kegagalan kepemimpinan dan polarisasi masyarakat yang ekstrem. Tambahkan senjata api ke dalam ramuan ini, dan Anda mendapatkan bom waktu yang siap meledak.

Itulah gambaran Amerika Serikat saat ini: masyarakat terpolarisasi, standar kepemimpinan yang merosot, dan undang-undang kepemilikan senjata yang longgar. Donald Trump, Kamala Harris, dan Joe Biden, semuanya memiliki andil dalam menciptakan situasi ini. Biden berkuasa dengan janji menyatukan Amerika, namun kenyataannya, Amerika justru semakin terpecah belah. Partai Republik dan Demokrat tak lagi saling memandang sebagai rival politik, melainkan musuh bebuyutan yang harus dihancurkan.

Data statistik pun berbicara. Pada tahun 1994, hanya 21% dari Partai Republik memiliki pandangan sangat negatif terhadap Demokrat, dan sebaliknya, hanya 17% Demokrat yang sangat tidak menyukai Partai Republik. Namun, pada tahun 2022, angka-angka ini melonjak drastis: 62% dari Partai Republik memiliki pandangan sangat negatif tentang Demokrat, dan 54% Demokrat merasakan hal yang sama terhadap Partai Republik. Polarisasi ini meningkat hampir tiga kali lipat dalam tiga dekade terakhir.

Meskipun media sosial, terutama dengan tokoh kontroversial seperti Elon Musk yang memegang kendali, bisa disalahkan sebagian, namun perlu diingat bahwa media sosial ada di mana-mana, tetapi kekerasan politik semacam ini tidak terjadi di negara lain. Ini menunjukkan betapa krusialnya peran kepemimpinan, sesuatu yang saat ini sangat kurang di Amerika.

Donald Trump adalah seorang mantan presiden yang telah divonis bersalah dalam sejumlah kasus hukum, termasuk upayanya untuk menggulingkan pemerintahan yang sah di Amerika Serikat setelah kekalahannya dalam pemilu. Sebagai pemimpin yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip demokrasi, tindakannya justru menunjukkan sikap yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

Di sisi lain, Kamala Harris, yang seharusnya menjadi wakil presiden yang mendukung dan memperkuat kredibilitas presiden, sering kali membuat kebijakan dan pernyataan yang justru merusak reputasi bosnya sendiri, Presiden Joe Biden. Dengan tindakan yang tidak konsisten, Harris sering kali terlihat goyah dalam mengambil kebijakan, mengubah pandangannya secara drastis, sehingga memperlihatkan ketidaktegasan dalam kepemimpinannya.

Trump, dalam masa jabatannya dan setelahnya, kerap mempromosikan teori-teori konspirasi yang tidak berdasar, seperti tuduhannya bahwa pemilu dicurangi, yang secara langsung memicu pemberontakan dan kekerasan di Amerika. Di sisi lain, Harris, yang seharusnya menjadi tokoh pemersatu, sering kali terjebak dalam dinamika politik yang merugikan citra dan kekuatannya sebagai pemimpin. Dalam konteks ini, tidak ada dari keduanya yang mampu menjadi simbol persatuan nasional.

Kata-kata dan tindakan mereka, bukannya mengurangi ketegangan, malah memicu lebih banyak perpecahan. Perhatikan saja perbedaan mencolok dengan bagaimana para calon presiden dari generasi sebelumnya berinteraksi. Dahulu, meskipun ada perbedaan politik, mereka tidak pernah meragukan patriotisme atau niat baik lawan politik mereka. Namun sekarang, retorika saling menghina telah menjadi norma. Trump secara terang-terangan menyebut Harris “cacat,” sementara Harris membalasnya dengan menyebut Trump sebagai “diktator.”

Jenis retorika yang penuh dengan penghinaan ini mungkin terdengar kekanak-kanakan pada permukaannya, tetapi dalam masyarakat yang sudah sangat terpolarisasi seperti Amerika Serikat saat ini, hal ini bukanlah masalah sepele. Narasi semacam itu dapat memicu reaksi ekstrem dari pendukung setia mereka.

Pendukung yang terpengaruh oleh retorika semacam itu dapat merasa terdorong untuk mengambil tindakan sendiri, termasuk tindakan kekerasan, dengan keyakinan bahwa mereka sedang melawan diktator atau menyelamatkan negara dari ancaman Marxis. Dengan retorika yang terus memanas, kondisi demokrasi di Amerika Serikat tampak semakin rapuh dan terpecah. Polarisasi ini menunjukkan bahwa demokrasi di AS sedang berada dalam kondisi yang sangat buruk dan jauh dari ideal.

- Advertisement -

Namun, yang patut disyukuri adalah bahwa ini bukan Amerika Latin atau Timur Tengah, di mana dalam situasi serupa, mungkin tentara AS sendiri akan berada di garis depan, memaksakan intervensi militer dengan dalih membela kebebasan. Di tempat-tempat seperti itu, kita mungkin akan melihat bom kebebasan dijatuhkan dari pesawat F-16 atau tentara yang menembakkan senjata atas nama demokrasi. Tetapi di dalam negeri Amerika sendiri, meskipun kekacauan terjadi, segala sesuatunya tampak dibiarkan. Inilah yang mengerikan—kondisi ini bisa semakin memburuk jika tidak segera diatasi.

Dalam serangan pertama, Trump hanya mengalami luka ringan dan hanya dirawat sebentar di rumah sakit. Serangan kedua berhasil dicegah sebelum terlaksana. Namun, bayangkan skenario yang lebih buruk—bagaimana jika ada serangan ketiga, dan kali ini Trump tidak seberuntung itu? Bayangkan kehancuran yang mungkin terjadi. Kita sudah melihat bagaimana para pendukung fanatik Trump menyerbu Gedung Capitol ketika dia kalah dalam pemilihan presiden. Apa yang akan mereka lakukan jika pemimpin mereka terluka parah atau bahkan tewas?

Konsekuensinya bisa sangat mengerikan, dan kita hanya bisa berharap bahwa skenario tersebut tidak pernah terjadi. Namun, mengingat betapa polarisasinya masyarakat saat ini, kekerasan politik yang sebelumnya tak terbayangkan bisa menjadi semakin normal dan diterima. Seperti yang dikatakan oleh seorang juru bicara Secret Service, “Kita hidup di masa yang berbahaya,” yang merupakan pengakuan gamblang atas realitas kekerasan politik yang menghantui Amerika Serikat hari ini.

Masalah utamanya adalah kekerasan politik sering kali menjadi sesuatu yang dianggap biasa. Pada awalnya, serangan pertama mungkin mengejutkan dan mengganggu, tetapi begitu terjadi serangan kedua atau ketiga, masyarakat cenderung kehilangan rasa kaget mereka. Kekerasan yang dulunya tak terbayangkan kini tampak seperti bagian dari kehidupan sehari-hari. Seorang juru bicara Secret Service mengungkapkan hal ini dengan tepat, “Kita hidup di masa yang berbahaya.” Ini adalah pernyataan yang mengakui kenyataan suram tentang meningkatnya kekerasan politik di Amerika Serikat. Pertanyaannya sekarang adalah, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah ini?

Salah satu solusi yang paling jelas dan sederhana mungkin adalah dengan menghilangkan senjata dari jalanan. Jika tidak ada senjata, maka percobaan pembunuhan juga akan berkurang. Namun, di negara seperti Amerika Serikat, di mana senjata api telah menjadi bagian integral dari budaya dan dianggap sebagai simbol kebebasan individu, hal ini tentu bukanlah solusi yang mudah untuk diterima. Amerika tampaknya lebih memilih mempertahankan akses terhadap senjata api ketimbang mengejar perdamaian yang lebih stabil. Oleh karena itu, diperlukan lebih dari sekadar kebijakan pengendalian senjata untuk menangani kekerasan politik ini.

Para pemimpin politik harus mengambil peran yang lebih besar dengan memberikan contoh yang baik bagi masyarakat. Mereka perlu menunjukkan bahwa perbedaan pandangan politik bukan berarti mereka harus saling membenci. Mereka harus membuktikan bahwa mereka bisa berdiskusi dan berdebat secara sehat tanpa memicu lebih banyak kebencian atau perpecahan. Pekan lalu, kita melihat secercah harapan akan hal ini. Joe Biden, saat berbicara kepada para petugas pemadam kebakaran pada peringatan tragedi 9/11, memutuskan untuk mengenakan topi kampanye Trump sebagai simbol persatuan. Ini adalah isyarat yang kuat, menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan pandangan politik yang tajam, simbol-simbol persatuan nasional tetap penting.

Namun, isyarat tersebut datang terlambat—Biden baru melakukannya setelah dia pensiun dari perlombaan politik. Ini menandakan bahwa simbol persatuan tersebut, meskipun baik, tidak cukup untuk meredakan ketegangan politik yang telah membara. Momen itu, walaupun kuat, tidak terjadi ketika benar-benar dibutuhkan, saat Biden masih berada di panggung politik sebagai kandidat.

Di sisi lain, Donald Trump dan Kamala Harris sebenarnya memiliki peluang besar untuk mengubah arah diskursus politik yang penuh kebencian ini. Mereka bisa menggunakan pengaruh dan posisi mereka untuk menunjukkan kepada rakyat Amerika bahwa perbedaan politik tidak harus mengarah pada perpecahan. Mereka bisa memimpin dengan contoh, menunjukkan cara untuk tidak hanya tidak setuju, tetapi melakukannya dengan rasa hormat dan tanpa kebencian. Sayangnya, harapan untuk hal ini tampak tipis. Para pemimpin politik Amerika, tampaknya, lebih fokus pada demokrasi di luar negeri—membawa misi demokrasi ke negara-negara lain—daripada memperbaiki demokrasi di dalam negeri mereka sendiri. Di dalam negeri, yang tampaknya menjadi prioritas utama adalah perebutan kekuasaan, bukan upaya untuk mempersatukan bangsa.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.