Akhir-akhir ini saya mencoba memperhatikan kegairahan kehidupan masyarakat di sekitar saya sehari-hari dan mungkin juga di lingkup yang lebih besar akan pelaksanaan nilai-nilai dan norma-norma keislaman. Panggilan toa dari musalla dan masjid untuk majlis taklim hampir setiap hari kita dengarkan. Taklim-taklim ini rata-rata diinisiasi oleh ibu-ibu. Ibu-ibu memang menunjukkan gairah kehidupan keislaman yang lebih apabila dibandingkan dengan bapak-bapak.
Dari sini sebenarnya kita bisa mendeteksi bagaimana keislaman itu ditanamkan di dalam keluarga, karena ibu adalah pihak yang paling dekat dengan anak-anak di dalam keluarga. Sekolah-sekolah negeri dari SD sampai SMA, termasuk sekolah swasta, menunjukkan gairah keagamaan yang tidak kita jumpai sebelum masa reformasi. Kini, setiap Jumat, SD Negeri yang tidak jauh dari pemukiman saya menyelenggarakan semacam “Apel Islam Jumat” pagi. Mereka datang pagi-pagi berkumpul di halaman untuk membaca ayat-ayat al-Qur’an yang dipandu oleh guru mereka dan juga guru mereka memberikan nasihat-nasihat agama.
Bahkan gairah keagamaan bisa kita jumpai pada tingkat PAUD (pendidikan anak usia dini) di mana anak-anak diajari untuk bernyanyi yang berisi hal-hal ketauhidan, hal yang sebenarnya belum bisa dicerna oleh pikiran mereka. Asumsi guru-guru PAUD dan juga keluarga adalah sejak paling dini anak-anak kita harus diperkenalkan dengan konsep keislaman. Di lingkungan kita sebenarnya agama begitu dekat dan bisa dikatakan tidak ada hari tanpa agama. Pendek kata, keislaman begitu mengakar di dalam kehidupan masyarakat kita.
Mengkhawatirkan Islam
Sementara itu, kita menemukan situasi yang kontras dengan realitas keseharian yang kita hadapi di kalangan masyarakat Muslim. Jika kita memperhatikan narasi publik kalangan Muslim di Indonesia tentang agama mereka, yang kita dengar dan lihat adalah narasi kekhawatiran. Mereka senantiasa dihantui oleh rasa takut bahwa akan musnahnya Islam dari Indonesia. Ustaz-ustaz kondang dalam ceramah mereka menyuarakan aspek kekhawatiran bahkan ketakutan (fear) akan sirnanya Islam dari Indonesia.
Narasi mereka selalu mengajak jamaah mereka di dalam ceramah-ceramah mereka untuk mencurigai segala hal yang mungkin menyerang Islam. Narasi tentang ancaman Cina, Amerika, Rusia, PKI, liberalisme, dan sosialisme, semua dihadirkan untuk meyakinkan jamaah bahwa kita memang sedang dalam keadaan siap siaga menghadapi perang terhadap penghancuran Islam di Indonesia. Bahkan fenomena belakangan ini, perasaan kekhawatiran dan ketakutan akan sirnanya Islam tidak hanya diarahkan pada pihak luar sebagai penyebabnya, namun juga diarahkan pada pihak dalam kita sendiri.
Kelompok yang tidak sependapat dengan asumsi mereka bahwa Islam di Indonesia sedang akan dimusnahkan dianggap musuh mereka. Dengan melancarkan strategi ofensifnya, kelompok ini mengembangkan narasi tentang kemajuan Islam itu dihalang-halangi oleh kaum Muslim sendiri. Kelompok yang khawatir akan tenggelamnya Islam di Indonesia ini juga menganggap negara sudah mulai menjadi ancaman bagi mereka.
Namun, kembali lagi, apabila fenomena kekhawatiran di atas kita cocokkan dengan kehidupan sehari-hari umat Islam di Indonesia, maka kekhawatiran tersebut tidaklah berdasar. Kekhawatiran tersebut lebih diciptakan oleh gejala inferioritas. Bagaimana kita bisa menyatakan Islam akan punah di Indonesia jika pada Sabtu dan Minggu pagi ribuan anak PAUD antre untuk berlatih manasik umrah dan haji yang tersebar di mana-mana. Seusia PAUD yang di banyak negara lain mereka sekolah hanya bermain di halaman dan kebun sekolah, di negeri ini mereka diajari hal-hal yang berat. SD, SMP, dan SMA negeri kita juga menerapkan keislaman yang sangat ketat dalam praktik mereka sehari-hari.
Belum lagi ibu-ibu mereka yang masih selalu menanggap anak mereka kurang dalam berislam karenanya seminggu dua kali perlu menghadirkan guru ngaji. Bagaimana kita menyatakan negara memusuhi Islam sementara anggaran negara juga banyak digunakan untuk memajukan umat Islam.
Selain itu, kecenderungan kehadiran Islam dalam hukum dan kebijakan negara juga semakin meningkat. Jelas dari sini saya berpikir optimis bahwa Islam tidak akan musnah dari Indonesia sebagaimana yang dipikirkan oleh sebagian kelompok umat Islam akhir-akhir ini.
Mengkhawatirkan Indonesia
Guru-guru bangsa seperti Gus Dur, Cak Nur, Munawir Sadjali, Quraish Shihab, dan Buya Syafii sering menyatakan jika keislaman dan keindonesiaan adalah dua hal yang tidak patut untuk dipertentangkan. Islam (kedamaian, kesejahteraan, keindahan) adalah agama yang cocok dengan karakter orang Indonesia. Indonesia adalah keterbukaan, kedamaiaan, dan kesejahteraan. Karenanya, Islam Indonesia adalah Islam yang dibayangkan (imagined Islam) bagi masa depan Islam di dunia ini.
Menjadi orang Islam Indonesia dengan karakteristik-karakteristik di atas adalah hal yang sebenarnya membanggakan dan dengan itu sumbangan Islam atas perdamaian dunia benar-benar bisa diharapkan. Keislaman di Indonesia sudah lama menyatu dan keduanya saling mengisi. Hubungan keduanya bisa diibaratkan sebagai garam dan air lautnya.
Namun, narasi yang sudah lama berakar di atas akhir-akhir ini lambat laun mengalami perubahan sebagaimana yang diungkapkan oleh pelbagai studi dan riset atas Islam Indonesia hari-hari ini. Ada semacam kecenderungan baru untuk menceraikan keislaman dan keindonesiaan. Pengalaman keislaman dan keindonesiaan yang sudah lama ditempuh oleh negeri ini dipertentangkan. Ada arus deras yang menginginkan untuk mensubordinasikan keislaman ke dalam keindonesiaan.
Arus deras ini dibawakan oleh pemain yang relatif baru yang pergumulan mereka dengan keindonesiaan tidak intensif. Pengalaman hidup mereka adalah pengalaman kehidupan transnasional. Buku-buku yang mereka baca adalah buku-buku yang tidak ditulis oleh tokoh-tokoh Islam Indonesia. Rasa politik mereka bukanlah rasa politik Indonesia yang, meskipun memperjuangkan Islam, namun Indonesia tetap diletakkan sebagai entitas yang sejajar dan compatible dengan keislaman.
Menyetop Kekhawatiran
Jika dihadapkan pada pertanyaan mana yang lebih mengkhawatirkan untuk punah dari Indonesia apakah keislaman ataukah keindonesiaan, maka saya akan menjawab keindonesiaan lebih mengkhawatirkan. Jawaban ini saya dasarkan pada observasi dan pengalaman keseharian ketika keislaman di Indonesia ini semakin banyak yang menjaga dan mendaku, namun itu tidak terjadi pada keindonesiaan. Sebagai everyday life di Indonesia, saya sama sekali tidak khawatir akan kepunahannya.
Perkembangan politik Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir ini dan kemungkinan akan tetap berjalan pada masa-masa yang akan datang menunjukkan daya tahan keislaman (the resilience of Islam) merupakan sinyal kelebihan dibandingkan dengan daya tahan keindonesiaan. Slogan NKRI harga mati nampaknya kedodoran menghadap upaya-upaya mensupremasikan keislaman. Islam akan tetap menjadi kekuatan sosial, budaya, dan politik.
Karenanya, dalam konteks ini, saya sama tidak mengkhawatirkan Islam. Justru saya lebih mengkhawatirkan musnahnya keindonesiaan. Jika kita melihat prevalensi cara berpikir yang serba keislaman dalam segala bidang kehidupan di masyarakat, justru hal yang mengkhawatirkan adalah punahnya rasa kebangsaan dan keindonesiaan. Hal ini sangat membahayakan bagi kehidupan kebangsaan kita.
Maka, mari kita kembalikan keislaman dan keindonesiaan sebagai dua hal yang saling mengisi, bukan saling mensubordinasi. Kita jangan hanya mengkhawatirkan keislaman, tapi juga mengkhawatirkan keindonesiaan kita.
Kolom terkait
Benarkah Islam dan Ulama Terzalimi?
Dalam NKRI Tak Ada Orang Kafir!
Islam dan Arab: Menimbang Pribumisasi Islam Gus Dur