Meski sudah ada komitmen serius dari pemerintah untuk menangani dan meningkatkan ancaman hukuman bagi pemerkosa anak, di masyarakat kasus-kasus pemerkosaan terhadap anak tetap saja terus bermunculan. Belum usai kita memperbincangkan kisah tragis yang dialami Yuyun di Bengkulu, kasus pemerkosaan anak yang tak kalah miris kembali terjadi di Manado, Bogor, Surabaya, Kediri, dan sejumlah daerah lain.
Bagi pelaku pemerkosaan, ancaman hukuman yang berat (bahkan hukuman kebiri atau hukuman mati) tampaknya tak banyak membuat mereka berpikir ulang sebelum memperkosa dan melakukan aksi kekerasan seksual terhadap anak-anak. Benarkah di Indonesia pemerkosaan telah berkembang menjadi subkultur tersendiri, sehingga seberapa pun berat ancaman hukuman ditetapkan, itu semua seolah tidak akan banyak pengaruhnya?
Subkultur Pemerkosa
Di berbagai pemberitaan media massa, bisa kita lihat bahwa yang namanya pelaku pemerkosaan kini tidak lagi selalu orang dewasa, tetapi juga anak-anak muda atau bahkan anak-anak belasan tahun yang masih duduk di bangku SMP atau SD. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan sosial yang keliru, suka minum-nimuman keras, memakai narkotika, dan mengembangkan subkultur yang marginal, biasanya lebih rentan terjerumus melakukan aksi yang menyimpang sekadar hanya untuk menunjukkan identitas dirinya.
Kenapa seorang anak tega memperkosa temannya sendiri atau anak perempuan lain, misalnya, selain karena pengaruh pornografi dan sikap permisif pelaku, sebetulnya ada kaitannya dengan motif pelaku untuk mendemonstrasikan keberanian dan sikap ngejago (sikap berani mati, sok jagoan). Sebuah sikap yang membuat sesuatu yang berbahaya atau menyimpang justru menjadi tantangan tersendiri bagi pelaku, khususnya mereka yang memang mengembangkan subkultur masyarakat marginal.
Seperti dikatakan Ken Gelder (2005), subkultur pada dasarnya adalah konsep yang menyangkut perbedaan antara kelompok non-normatif di satu sisi dan marginal di sisi lain. Sekelompok anak muda yang mengembangkan subkultur marginal bukan saja akan diidentifikasi dan diberi label sebagai kelompok yang menyimpang, tetapi juga perlu dipahami sebagai kelompok marginal yang mengembangkan gaya hidup tersendiri, yang memberontak pada tatanan dan sekaligus berkeinginan untuk tampil beda.
Dengan kata lain, jika di berbagai daerah muncul kelompok-kelompok kecil masyarakat marginal yang gemar mengkonsumsi miras oplosan, nonton video porno bersama, melakukan pelecehan seksual, dan lain sebagainya, lebih dari sekadar untuk menunjukkan dan memperkuat identitas mereka sebagai kelompok liyan (the others). Perilaku menyimpang yang mereka kembangkan sesungguhnya juga representasi dari subkultur anak marginal yang ingin melawan kemapanan tatanan sosial.
Menurut Hebdige (1979), salah seorang peneliti Cultural Studies dari Mazhab Birmingham, apa yang dilakukan anak-anak punk di Inggris yang ia teliti bukan sekadar suatu bentuk perlawanan semiotik terhadap tatanan yang dominan. Lebih dari itu, yang ingin diperlihatkan anak-anak punk adalah bagaimana mendramatisasikannya.
Bagi anak-anak marginal, minum miras oplosan atau tuak beramai-ramai, kemudian duduk-duduk di pinggir jalan sembari menganggu orang yang lewat, bukanlah sekadar sebagai sarana untuk lari dari kenyataan hidup, tetapi merupakan cara mereka memperlihatkan identitas dirinya. Cuma, yang menjadi masalah, ketika anak-anak marginal yang mengembangkan subkultur ngejago itu kemudian kebablasan (karena minum-minuman keras dan ternyata juga sering menonton film-film porno), referensi mereka tentang seksual menjadi keliru pula.
Bagi mereka, memperkosa bukan sekadar didorong libido yang tak terkontrol, tetapi di sana ditengarai juga ada motif untuk mendemonstrasi dan menjadi bagian dari upaya memperlihatkan “keberanian” mereka di hadapan teman-temannya yang lain. Makin sadis tindakan yang mereka lakukan dinilai menjadi investasi untuk memperlihatkan kejagoan mereka.
Merekonstruksi Subkultur
Hubungan antara miras, subkultur anak marginal, dan tindak perkosaan mungkin benar bukan hal yang sifatnya linier-kausalitas. Tetapi, ketika anak-anak muda terperangkap dalam kebiasaan mengkonsumsi miras, terbiasa melihat film porno, dan hal itu kemudian menjadi ekspresi dari subkultur marginal yang mereka kembangkan, kemungkinan mereka terjerumus melakukan tindakan menyimpang niscaya akan makin besar (berkelahi, mencuri, terlibat dalam pemakaian narkotika atau memperkosa anak gadis orang).
Untuk menyelamatkan dan mencegah agar ke depan anak-anak tidak lagi menjadi korban tindak kekerasan seksual, memberdayakan seluruh elemen masyarakat agar ikut menjadi watchdog yang peduli dan senantiasa siap keselamatan anak-anak di sekitarnya memang harus dilakukan. Guna menimbulkan efek jera dan mencegah pelaku tergiur melakukan aksi kekerasan seksual, cara lain yang dilakukan bisa pula dengan menerapkan hukuman tambahan (hukuman kebiri, pemasangan chip) atau mengumumkan wajah pemerkosa di media sosial agar bisa menjadi sanksi sosial yang memalukan bagi pelaku.
Tetapi, di sisi lain, melihat salah satu pihak yang potensial menjadi pemerkosa anak-anak adalah anak-anak atau remaja yang mengembangkan subkultur marginal, yang tak kalah penting dicoba adalah pendekatan yang berusaha memahami subkultur anak marginal dan kemudian menyalurkannya dalam kodiror kegiatan yang masih bisa ditoleransi menurut kaidah hukum dan norma masyarakat yang berlaku. Tentu saja pendekatan yang sifatnya legal-punitif dan mengandalkan peran aktif masyarakat tetap penting.
Mendekonstruksi dan kemudian merekonstruksi subkultur anak-anak marginal dalam proses penanganan yang kontekstual dan juga berempati kepada subkultur anak-anak marginal, bagaimanapun adalah jalur alternatif yang bisa ditempuh. Ini untuk menyalurkan energi mereka yang meledak-ledak liar tak karuan ke dalam jalur yang produktif.
Anak-anak yang berkonflik dengan hukum, menjadi pelaku tindak kejahatan yang serius memang sudah sepantasnya diproses secara hukum. Meski demikian, untuk mencegah agar tidak lagi muncul anak-anak lain yang patologis dan menjadi pemerkosa anak-anak sebayanya, barangkali ada baiknya jika mereka juga dipahami sebagai korban-korban situasi dan lingkungan pergaulan yang keliru.