Indonesia dengan belasan ribu pulau merupakan untaian alam dengan kekayaan hayati melimpah. Identitas kebudayaan nasional dari ratusan etnis dan bahasa memproduksi aneka pepatah, folklore, kearifan lokal, dan seterusnya, yang pasti semuanya berhubungan dengan aspek ekologi. Dalam kajian antropologi dikenal dengan konsep ekologi budaya (cultural ecology) yang menjadi darah atau inspirasi semangat pengetahuan lokal.
Saat ini, di tengah kondisi lingkungan yang semakin terdegradasi akibat eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, hutan belantara porak-poranda digilas roda pembangunan hedonis di tengah kompetisi pasar global, ditambah lagi dengan ancaman perubahan iklim, serta bayang-bayang bencana alam yang terus meneror kehidupan umat manusia, memaksa manusia mencari solusi guna mengatasi persoalan yang tak berkesudahan tersebut.
Menyikapi beragam bencana alam yang rutin, maka paradigma berpasrah diri hingga anggapan bencana adalah bencana alam sebagai hal yang semestinya terjadi merupakan tindakan yang tidak produktif dalam pengelolaan lingkungan. Bencana rutin semestinya dipandang sebagai hasil dari perilaku kita sebagai individu-individu yang memberikan kontribusi beban dan merusak kondisi lingkungan hidup.
Sejalan dengan kondisi lingkungan hidup yang semakin terancam, kehadiran teknologi yang semakin canggih dengan segala kelebihannya, oleh para pakar diproyeksikan dapat menyelesaikan krisis lingkungan hidup, justru malah sebaliknya.
Ibarat panggang jauh dari api, kehadiran teknologi justru semakin memperburuk kondisi lingkungan. Penggunaan teknologi modern tanpa pertimbangan etis dan minusnya kesadaran ekologi (ecological awareness) secara tidak langsung telah mengantarkan manusia pada kondisi lingkungan yang kian darurat.
Sepintas, kemajuan teknologi yang kian pesat hingga mencapai titiknya pada Revolusi Industri 4.0 saat ini, merupakan proses panjang para ilmuwan untuk menciptakan perubahan, serta membawakan kemudahan bagi umat manusia. Sejak dicetuskan Revolusi Industri di Inggris pada abad ke 18, dan penemuan mesin uap oleh James Watt pada tahun 1814, di situlah terjadi perubahan secara besar-besaran dalam kehidupan manusia di muka bumi.
Kemajuan teknologi yang kian pesat, secara tidak langsung telah membuat manusia terperangkap dalam kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi modern. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa kekayaan khasanah pengetahuan lokal yang menjadi penciri sekaligus jati diri suatu komunitas masyarakat lambat laun mulai ditinggalkan.
Khasanah pengetahuan lokal yang tercipta dari proses panjang berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan mengajarkan kita membangun hubungan yang harmonis dengan alam bahkan hilang dan tenggelam dalam derasnya perubahan zaman.
Sonny A. Keraf (2002), menyebutkan bahwa kearifan lokal adalah mencakup semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupannya di dalam komunitas ekologis.
Artinya, kearifan lokal yang tercermin dalam berbagai ritual dan tradisi yang menjadi kekayaan khasanah budaya masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, harusnya menjadi teknologi lokal yang mampu membawa kita keluar dari bayang-bayang bencana ekologis.
Keberadaan kearifan lokal dalam suatu komunitas masyarakat memiliki peran sangat penting, karena kearifan lokal termasuk dalam pelindung kerusakan lingkungan alam (Kassa, 2011). Ketersediaan, kelestarian, dan keberlanjutan sumberdaya alam ditentukan oleh adanya faktor kearifan sebagai manifestasi akal masyarakat lokal yang tersembunyi dan diyakini sebagai sesuatu yang benar, dirasakan bersama, serta merupakan sesuatu yang baik dan berguna bagi kehidupannya.
Lebih lanjut, Vandana Shiva (1993), menambahkan bahwa akar krisis ekologi terletak pada kelalaian pihak penguasa yang menyingkirkan hak-hak komunitas lokal untuk berpartisipasi secara aktif dalam kebijakan lingkungan. Komunitas lokal selalu dianak-tirikan dalam setiap proses pengambilan kebijakan, komunitas lokal tidak diberikan ruang untuk berekspresi dengan aspirasinya, bahkan selalu menjadi korban dalam setiap pembangunan.
Harus diakui bahwa masyarakat adat yang hidup puluhan ribu tahun merupakan ilmuwan-ilmuwan yang sangat mengetahui tentang alam lingkungan mereka. Sayangnya, sistem pengetahuan mereka belum banyak didokumentasikan, dipublikasikan, dan disosialisasikan, bahkan dalam percepatan pembangunan saat ini keberadaan masyarakat adat dan kearifan lokalnya cenderung tersingkirkan dan terpinggirkan.
Sebaliknya, paradigma dan kebijakan dasar pembangunan saat ini bersumber pada ideologi kapitalisme yang bersandar pada paradigma ilmu pengetahuan modern yang menganggap bahwa “tradisi adalah suatu masalah” dan menghambat pembangunan. Padahal, ilmu pengetahuan modern tidak sepenuhnya berhasil menjalankan sistem ekologi yang kompleks.
Dengan kata lain, masyarakat ilmiah cenderung menyederhanakan sistem ekologi yang kompleks yang mengakibatkan timbulnya serangkaian persoalan dalam penggunaan sumber daya alam serta kerusakan lingkungan.
Dari penjelasan di atas, sangatlah penting memaknai kembali filosofi kearifan lokal masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam ataupun lingkungan. Karena di saat teknologi tinggi dan modern tidak dapat memecahkan solusi pencemaran lingkungan dan akibat pembangunan lainnya, ternyata masyarakat adat dengan kebudayaannya dapat menjadi solusi.
Ketika masyarakat modern bingung hendak menggunakan teknologi apa yang ramah lingkungan ternyata solusinya ada pada kearifan lokal masyarakat adat. Dengan demikian, Rahmat K. Dwi Susilo (2016) dalam bukunya Sosiologi Lingkungan, dapat menjadi pegangan bagi kita semua bahwasanya penting untuk memanfaatkan “ilmu kampung” untuk menjalani hidup yang selaras dan harmoni dengan alam.
Karena bagaimana pun juga, terdapat kepercayaan bahwa ada kekuatan spiritual dalam lingkungan yang harus diagungkan melalui suatu prosesi dan ritual tertentu. Sehingga mencita-citakan suatu kehidupan yang harmoni, selaras dan seimbang dengan alam dapat terwujudkan.