Kamis, April 25, 2024

Keadilan Pemilu dalam Sengketa Pilkada

Fadli Ramadhanil
Fadli Ramadhanil
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Jakarta
Sejumlah pengunjukrasa yang tergabung dalam Forum Suara Rakyat untuk Demokrasi, berunjuk rasa di depan Kantor Bawaslu Sulawesi Selatan, Makassar, Senin (21/12). Mereka menolak hasil Pilkada Gowa dan meminta Pilkada ulang karena tingkat partisipasi warga hanya 50 persen dalam Pilkada akibat kurangnya sosialisasi dan banyak warga yang tidak mendapatkan undangan untuk memilih. ANTARA FOTO
Sejumlah pengunjuk rasa yang tergabung dalam Forum Suara Rakyat untuk Demokrasi berdemo di depan Kantor Bawaslu Sulawesi Selatan, Makassar, Senin (21/12). ANTARA FOTO

Proses perselisihan hasil adalah salah satu bagian penting dari tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Jika merujuk pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota, maka proses perselisihan hasil termasuk ke dalam tahapan ke-10 dari 13 tahapan pelaksanaan pilkada yang disusun oleh KPU.

Maka dari itu, proses perselisihan hasil pilkada sama sekali tidak boleh dipisahkan dari proses pelaksanaan pilkada itu sendiri. Tujuan dari pelaksanaan pilkada secara langsung jelas mengokohkan kedaulatan rakyat dalam memilih dan menentukan sendiri pemimpin daerahnya. Dan, sekali lagi, proses di Mahkamah Konstitusi (MK) masuk ke dalam bagian itu.

Menjajaki proses perselisihan hasil pilkada di MK, memang beberapa kali terjadi pergeseran paradigma penyelesaian perselisihan. Setidaknya pergeseran mengerucut dalam dua hal. Pertama, MK hanya akan mengadili persoalan ketepatan angka hasil perolehan suara peserta pilkada yang ditetapkan KPU. Kedua, MK bergeser ke paradigma yang lebih substantif, yakni melihat proses pelaksanaan pilkada secara keseluruhan sampai mendapatkan hasil perolehan suara yang ditetapkan KPU.

Dalam proses penyelesaian perselisihan pilkada, terakhir pada tahun 2012 MK masih berpijak pada proses pemeriksaan perkara yang lebih substantif. MK masih melihat apakah proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah sudah berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, serta prinsip-prinsip pelaksanaan pemilihan yang jujur dan adil.

Konsekuensi dari langgam pemeriksaan yang demikian pun melahirkan beberapa isi amar putusan MK, antara lain: penghitungan suara ulang, pemungutan suara ulang, pemilihan kepala daerah ulang, dan bahkan diskualifikasi calon sampai penetapan pemenang kepala daerah.

Namun, pada proses penyelesaian perselisihan hasil Pemilu 2014, MK memberikan penegasan dan hanya mengadili perihal ketepatan angka dan hasil pemilu saja. Begitu juga dengan proses perselisihan hasil Pemilihan Presiden 2014. Dua proses penyelesaian perselisihan hasil pemilu terakhir setidaknya mengkonfirmasi bahwa terjadi pergeseran paradigma MK dalam proses penyelesaian dan pelaksanaan kewenangannya dalam mengadili perselisihan hasil pemilu.

Ketentuan perselisihan hasil Pilkada 2015 diatur dengan sangat rigid. Tidak hanya mengarahkan proses perselisihan akan mengadili persoalan suara saja, tetapi Undang-Undang Nomor Tahun 2015 yang mengatur pelaksanaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota memberikan syarat selisih suara yang sangat tipis untuk seorang calon kepala daerah yang kalah bisa mengajukan permohonan perselisihan hasil ke MK.

Secara sederhana, UU 8/2015 mensyaratkan bahwa selisih suara antara calon kepala daerah yang menang dengan calon kepala daerah yang ingin menggugat hasil pemilihan tidak boleh lebih dari 2% dari hasil yang ditetapkan oleh KPU. Jika dilihat dari maksud dan tujuan kehadirannya, syarat ini ingin menyampaikan pesan bahwa MK jangan sampai menjadi “keranjang sampah” perselisihan hasil pilkada.

Artinya, semua calon yang kalah bisa mengajukan permohonan perselisihan ke MK, padahal permohonan tersebut tidak punya bukti dan dalil yang kuat. Untuk bisa membuktikan dan “mengubah” hasil pilkada dan perolehan suara yang ditetapkan oleh KPU, pemohon perselisihan hasil perlu membuktikan signifikansi suara yang dimohonkan kepada MK. Artinya lagi, andai dalil dan permohonan pemohon diterima, maka hal itu akan mengubah hasil perolehan suara yang ditetapkan oleh KPU.

Namun di balik itu, MK tentu perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi lain dari setiap permohonan yang masuk. Jika syarat signifikansi suara menjadi pedoman agar calon kepala daerah yang memohonkan sengketa tidak hanya coba-coba, tentu bisa dibenarkan. Tetapi, sangat mungkin terdapat pemohon perselishan hasil pilkada yang suaranya kalah jauh dari pemenang yang ditetapkan oleh KPU, namun memiliki dalil dan bukti yang kuat, bahwa hasil pilkada tersebut didapat dari proses yang penuh dengan praktik kecurangan.

Karena itu, MK perlu memperhatikan betul setiap permohonan yang masuk, sebelum mengambi putusan, apakah permohonan tersebut tidak dapat diterima, atau dapat dilanjutkan ke pemeriksaan pada tingkat pembuktian. Hal ini sekaligus menjadi dorongan agar MK tidak hanya mengadili persoalan ketepatan angka-angka dalam perolehan suara saja. Tetapi jauh dari itu, MK mesti melihat proses integritas pelaksanaan pilkada secara keseluruhan, sehingga sampai pada hasil dan perolehan suara.

Jadi, muaranya jelas, MK bukanlah peradilan kalkulator yang hanya memeriksa ketepatan hitungan KPU. Lebih dari itu, MK adalah panggung terakhir yang diharapkan menjadi pelindung demokrasi dan konstitusi.

Fadli Ramadhanil
Fadli Ramadhanil
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.