Sabtu, Mei 11, 2024

Bumdes Bersama, Membangun Kawasan Perdesaan

Ahmad Erani Yustika
Ahmad Erani Yustika
Guru Besar FEB Universitas Brawijaya, penikmat kopi dan film.

“Kawasan perdesaan (KP) adalah masa depan pembangunan desa”. Kalimat itu yang selalu saya semburkan dalam banyak kesempatan: dialog dengan Kepala Desa, seminar, meriung bersama pendamping desa, bertukar pikiran dengan pegiat desa, rapat koordinasi antarkementerian, dan lain sebagainya.

Keyakinan itu bersumber dari 3 argumen: skala ekonomi, rancang bangun tindakan kolektif, dan kesetaraan relasi desa-kota. Skala ekonomi dibutuhkan agar aneka aktivitas ekonomi punya daya determinasi yang kokoh. Determinasi ekonomi bisa diperoleh dengan rumus baku: efisiensi. Skala ekonnomi diperlukan untuk mengejar efisiensi tersebut. Pada level desa, itu sulit terjadi; potensinya ada di kawasan perdesaan (kolaborasi antardesa).

Skala ekonomi saja tak cukup. Arus berikutnya yang harus direnangi adalah membangun kekuatan. Pelaku ekonomi tak boleh lemah. Jika ini terjadi, pasti akan dihajar oleh pasar. Jalan keluarnya adalah kolaborasi sebanyak-banyaknya dengan orang lain. Benih tindakan kolektif akan dipanen menjadi posisi tawar yang tangguh.

Kawasan akan menjadi kekuatan akumulatif yang semula terserak di desa-desa. Format ini yang nantinya akan menjadi jembatan relasi desa dengan kota. Hubungan desa-kota yang predatorik akan terkikis karena desa-desa itu terorganisir dalam kawasan perdesaan yang memiliki daya pukul yang kuat. Hubungan kota dan kawasan perdesaan relatif menjadi setara.

Jika kawasan perdesaan maju, desa-desa turut menikmati berkah karena mereka adalah pemegang saham kawasan.

Tak banyak kabupaten yang menyadari kekuatan kawasan perdesaan tersebut, padahal pesannya jelas tertulis dalam UU Desa. Dari kabupaten yang tidak banyak itu, salah satunya adalah Kabupaten Wonogiri.

Benar saja, pada 1 Februari 2018 lalu, ketika saya berkunjung ke sana, yang saya lihat adalah gairah. Warga yang berkumpul sudah sangat banyak, termasuk perangkat desa-desa. Tiba di gedung yang sederhana di Kecamatan Girimarto, yang tampak adalah paras cerah warga desa yang optimis menjemput masa depan. Mereka sabar menanti, tekun mendengarkan, juga kerap manggut-manggut tanda paham agenda pemberdayaan. Baju yang dikenakan dan polesan di wajah tidak terlihat untuk unjuk penampilan, namun tanda kesiapan untuk bekerja memuliakan pembangunan.

Di mulut pintu gedung pertemuan, para pengelola Bumdes Bersama (dari 5 desa: Girimarto, Semagar, Selorejo, Bubakan, dan Waleng) menampilkan aneka produk yang telah diolah dengan kemasan yang cantik. Ada bungkus kopi robusta, kripik pare, susu sapi fermentasi, pelembab wajah berbahan baku susu, dan ragam komoditas olahan lainnya yang dibuat dengan cinta dan air mata. Seluruhnya membanggakan karena kualitasnya terjaga, kemasannya mempesona, dan inovasinya banyak rupa. Itu adalah deskripsi hilirnya. Hulunya adalah gerakan pembangunan kawasan perdesaan yang disangga oleh kesadaran untuk meninggikan kolaborasi, bukan kompetisi. Gerakan bersama ini saling menguatkan, meninggalkan pendekatan lama yang saling menyisihkan.

Mereka amat mampu melihat potensi yang mengendap, bahkan sangat tangguh. Hanya saja selama ini tidak menyembul sebab kurang diberi ruang, juga sumber daya tak diberikan.

Ketika Dana Desa dikucurkan dan ruang dibuka, kreativitas mereka sontak membuncah. Saat kami datang ke fasilitas Embung Kawasan dan Rumah Pakan Ternak yang telah terbangun (bantuan dari Ditjen PKP Kemendesa), sesungguhnya itu hanyalah penambah bahan bakar dari bara api semangat yang telah menyala. Fasilitas itu hanyalah ekor dari gagasan yang telah dirancang, bukan sebaliknya. Aneka rencana sudah disusun oleh para pengelola Bumdes Bersama, yang menjadi tanda bahwa mereka telah mengisi lembaga ekonomi itu dengan hati dan pikiran.

Nyala api yang sama juga ditemui ketika saya meresmikan Pasar Kawasan Sido Makmur, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara (Jateng). Bumdes Bersama (3 desa bergabung membentuk kawasan: Desa Pendem, Jinggotan, dan Dudakawu) telah merancang siapa saja yang akan diutamakan berdagang di sana, sistem pengelolaan, dan metode keberlanjutan.

Tak lama setelah peresmian, pasar tersebut telah riuh oleh hiruk-pikuk pedagang dan pembeli. Bahkan, tampaknya pasar mesti segera diperlebar karena tak mampu lagi menampung animo pedagang dan pembeli. Jika itu terjadi, kemajuan itu bukan semata diakibatkan oleh bangunannya yang bagus atau lokasinya yang strategis, namun oleh sebab hasrat yang berpendar dari warga dan perangkat desa. Para pendamping juga memandu dengan ketulusan, bukan sekadar pengetahuan. Pada saat peresmian terik mentari tak membuat mereka meninggalkan tempat, karena mereka yakin itu ujian untuk menjemput keberhasilan.

Itulah sebagian kecil pancaran kekuatan kawasan perdesaan. Satuan wilayah kecil (desa) bekerjasama dengan desa lainnya untuk menjadi wilayah fungsional secara ekonomi. Pelaku ekonomi yang terisolasi dalam sekat-sekat produksi, disatukan dalam organisasi produksi bersama untuk meraup nisbah secara berjamaah. Pola semacam itu, dengan basis dan metode yang bermacam-macam, sudah tumbuh di banyak tempat. Tentu saja masih jauh dari capaian ideal yang dimimpikan, namun sekurangnya tapak jalan ke arah sana telah diperjuangkan. Dibutuhkan ikhtiar yang jauh lebih bertenaga lagi agar kemajuan yang diperoleh mendekati harapan. Paling pokok, titik berangkatnya bukan instruksi, tapi kekuatan warga untuk mengambil inisiasi.

Bagi yang terobsesi melihat kemajuan hanya dari deretan angka-angka, maka hasil yang telah didapatkan saat ini mungkin tak terlalu memberikan kabar menggairahkan. Namun, bila yang ingin diresapi adalah bibit gerakan pembangunan dan kesadaran menggagas kerjasama, capaian sekarang telah melonjakkan cita rasa pembangunan yang bermutu. Sebab, yang tengah berlangsung adalah gelombang perubahan.

Jadi, hari ini yang saya lihat adalah gairah. Hasrat yang sama berpendar di seluruh pojok kawasan perdesaan di Nusantara. Gerakan ini tak bisa dihentikan, akan terus melaju menjadi agenda perubahan. Pesan ujungnya: masa depan tidak diraih dengan modal kelimpahan, tapi bisa direbut dari keterbatasan yang diperjuangkan.

Ahmad Erani Yustika
Ahmad Erani Yustika
Guru Besar FEB Universitas Brawijaya, penikmat kopi dan film.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.