Apakah Papua penting bagi Anda? Jika ya, maka kehadiran Kapolri baru perlu Anda cermati secara seksama, karena sebagian besar persoalan Papua dibebankan di pundak Kapolri. Hal itu terjadi karena konstruksi persoalan politik Papua oleh pemerintah ditempatkan dalam kerangka penegakan hukum. Karena itu, hasil kerja Polri-lah yang akan menentukan arah dan perkembangan Papua.
Kepolisian Daerah Papua adalah Polda dengan wilayah terluas, yaitu 19,33% dari luas Indonesia, atau 317.062 km2, dengan topografi bergunung-gunung tinggi, berlembah-lembah sempit dan berawa-rawa mahaluas. Dengan jumlah penduduk 3.486.000 jiwa. Dengan jumlah personil Polri 11.762 anggota, yang tersebar dalam 22 Polres dan 125 Polsek, serta 42 Polsubsektor. Itu artinya, rasio perbandingan 1 anggota berbanding 324 penduduk, atau 1 anggota melayani 28,6 km2 wilayah.
Agar penglihatan Anda tak keruh mengenai Papua dan tantangan Komisaris Jenderal Polisi Tito Karnavian sebagai Kapolri baru, mari simak uraian singkat ini.
Selain Papua, tidak ada wilayah yang paling membingungkan pemerintah saat ini, termasuk Polri. Kebingungan itu tampak dari ambigunya pendekatan “kesejahteraan dengan keamanan”. Dalam mengedepankan pendekatan kesejahteraan, pendekatan keamanan kerap menyusup ke permukaan. Akibatnya, segala operasi keamanan atas nama “penegakan hukum” berlomba masuk Papua dengan tujuan mengatasi “gangguan keamanan”.
Kebingungan itu bermula dari ketidaksiapan pemerintah mencerna perkembangan terkini internal Papua dan dimensi internasional dari berbagai isu politik, hukum, dan hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Papua. Pemerintah terlalu menyurutkan berbagai permasalahan Papua sekadar menjadi masalah domestik yang bisa diurus di dapur sendiri.
Karena cara pandang dan cara analisa keadaan oleh pemerintah yang demikian itu, masyarakat Papua terus dilihat dalam situasi yang tidak berubah, yaitu sulit berkembang dan terperangkap dalam masyarakat kesukuan yang mudah bertikai. Selalu berpotensi melanggar hukum.
Sementara itu, generasi baru Papua yang telah berdiaspora ke mancanegara terus menarik pelbagai permasalahan Papua ke meja internasional. Self-determination adalah puncak gagasannya, dengan norma-norma HAM sebagai kendaraannya. Di dalam Papua, anak-anak muda atas nama kebebasan berekspresi menggemakan tuntutan referendum dengan demonstrasi massa sebagai wadahnya. Universitas-universitas di Papua dan luar Papua menjadi inkubatornya. Artinya telah terjadi kelindan gagasan baru dengan gerakan baru di Papua.
Selain itu, persoalan klasik Papua tetap eksis, yaitu kelompok perlawanan bersenjata. Meski dianggap kecil dan tersebar, kelompok-kelompok bersenjata tetap bisa meremajakan dirinya dan kekuatan persenjataannya. Kelompok bersenjata telah berkali-kali menunjukkan eksistensinya dengan melakukan serangan dan penghadangan dadakan terhadap pos-pos polisi atau tentara. Tak jarang menjadikan orang-orang sipil sebagai sasaran.
Di lain sisi, liberalisasi politik era reformasi telah mengaduk masyarakat Papua ke dalam kancah politik yang bergolak setiap saat. Tongkat pengaduknya adalah partai-partai politik yang berlomba mendapat akses dan aset politik di Papua. Tangan partai politik menjamah dan merasuk sampai ke hangatnya abu tungku di dalam honai.
Jabatan-jabatan baru muncul untuk diperebutakan, mulai dari gubernur, bupati, anggota DPR, DPD, DPRP serta Majelis Rakyat Papua. Juga anggota KPUD, Bawasluda, dan semacamnya. Semuanya membuat kancah politik Papua mendidih sekaligus menegangkan. Akibatnya, tidak mengherankan konflik pecah dalam memperebutakan posisi dan kedudukan baru tersebut. Pilkada Kabupaten adalah arena yang sering menjadi pemicu konflik terbuka.
Melihat tantangan sekilas di atas, tampak cara-cara konvensional yang telah ditempuh Polri selama ini di Papua tak memadai lagi. Sebab, sebagian besar persoalan Papua berada di luar jangkauan Polri.
Perlu dipahami bersama, kini wajah terdepan pemerintah di Papua adalah Polri. Buruk perilaku anggota Polri di Papua, buruk wajah pemerintah. Sebaliknya, baik persepsi masyarakat kepada kinerja anggota Polri, baik pula wajah pemerintah. Artinya, Polri-lah aparat pemerintah terdepan di Papua. Kini, beban itu berada di pundak Tito sebagai Kapolri.
Maka, Tito sebagai Kapolri perlu memberikan pemahaman kepada lembaga-lembaga negara di Jakarta, khususnya partai politik untuk mengerti dinamika Papua agar persaingan politik tidak membuat senggolan dan kegaduhan baru di Papua. Tito perlu menegaskan bahwa “penegakan hukum” bukan lagi segala-galanya di Papua.
Di samping itu, Tito perlu memberikan telaahan situasi objektif terkini kepada Presiden Jokowi agar kebijakan dan proses penegakan hukum di Papua bisa diperbarui, khususnya dalam menghadapi gerakan politik. Tanpa adanya telaahan baru situasi objektif Papua, maka penegakan hukum atas aksi-aksi politik tidak akan punya dampak positif, bisa jadi kontraproduktif. Sebab, proses penegakan hukum akan dijadikan bahan kampanye di forum internasional.
Singkatnya, operasi penegakan hukum oleh Polri saat ini terhadap gerakan politik tidak lagi menggentarkan. Itu tampak dari tidak berkurangnya aksi-aksi massa di berbagai kota di Papua, meski ada ratusan orang yang ditangkap. Maka, langkah politik yang lain diperlukan untuk mengkanalisasi gerakan politik tersebut. Jika tidak ada kanalisasi, maka gerakan politik akan menggerogoti kinerja Polri di Papua.
Secara operasional langkah baru yang perlu diambil oleh Tito di Papua adalah meningkatkan daya mampu aparatur Polri di Papua, mulai dari rekrutmen, pembinaan, dan penyediaan sarana dan prasarana. Saat ini masih ada Polres yang mengelola 2 sampai 4 kabupaten, itu pun kabupaten tersulit. Bisa dikatakan ada kabupaten hampir tidak ada polisi seperti Nduga dan Yahukimo, karena personil terlalu sedikit.
Sarana dan prasarana Polri yang ada di Papua, khususnya di kabupaten baru di pedalaman sangat terbatas, perlu ditingkatkan 3 atau 5 kali dari yang ada sekarang.
Tanpa peningkatan personil dan sarana dan prasaranan, pelayanan Polri di Papua akan terus minimum. Tentang hal ini Tito tentu sudah sangat tahu dan mengerti karena dia pernah menjadi Kapolda Papua. Karena sekarang sudah menjadi Kapolri, Tito perlu mencari dan mendapatkan dukungan politik yang lebih kuat dari Presiden untuk memperbaharui wajah Polri di Papua.
Jangan lagi Papua menjadi daerah dengan banyak peristiwa kekerasan yang pelakunya tak bisa diungkap. Tito harus mampu mencegah dan meminimalisasi aksi-aksi kekerasan bersenjata oleh pihak mana pun, agar korban tidak lagi berjatuhan. Juga pelanggaran HAM oleh apartur negara tidak perlu lagi terjadi. Cukup sudah!
Terkait