Indonesia dan Turki adalah dua negara Islam yang selalu mendapat perhatian khusus dari Rusia, dengan cara dan “kacamata” yang sangat berbeda. Bagi Rusia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia harus dijadikan sahabat atau bahkan saudara, dan Turki sebagai saingan atau lawan mereka dalam memperebutkan pengaruh geopolitik.
Paradoks ini yang menjadikan politik luar negeri Rusia terhadap negara Islam harus dikaji secara komprehensif, dari faktor sejarah sampai faktor sosial-budayanya.
Jika melihat sejarah, “persentuhan” pertama bangsa Rusia dengan negara Islam adalah dengan Khan-Khan keturunan Mongol yang menduduki negara mereka. Rusia sempat dikuasai oleh Mongol sekitar 300 tahun, di mana para bangsawan Mongol secara gradual memeluk agama Islam.
Setelah Khan Krimea direbut Rusia di bawah Tsarina Catherine Agung, Rusia segera berhadapan langsung dengan Turki Usmani, yang merupakan patron dari para Khan tersebut. Rusia selalu berambisi untuk merebut Istanbul dari Turki. Sebab, menurut mereka, Istanbul yang bernama Konstantinopel merupakan ibu kota sejati dari Romawi Timur. Tsar-tsar Rusia adalah keturunan langsung dari Kaisar Romawi Timur/Byzantium. Maka, tak heran kalau mereka sangat berambisi menguasai Istanbul.
Akibatnya, Rusia dan Turki berkali-kali terlibat perang, yang berpuncak di Perang Dunia I. Lalu Perang Dunia II, dan Perang Dingin, mengakibatkan Turki bergabung ke NATO di bawah komando Amerika Serikat. Di sini tak mengagetkan kalau Rusia tetap curiga dengan Turki sampai sekarang.
Konfrontasi antara Rusia dan Turki yang berlangsung selama berabad-abad menjadi asal-usul tuduhan bahwa Rusia tidak ramah dengan Islam. Padahal, jika dikaji secara ilmiah, itu tuduhan yang salah alamat. Jika diamati dengan teliti, Rusia memusuhi Turki bukan karena faktor agama, melainkan faktor kepentingan politik.
Sewaktu perang saudara di Suriah pecah sejak 2011, Rusia membela pemerintahan Bashir Al-Assad dengan mengirim pasukan dan mendirikan pangkalan udara di Latakia. Insiden serius terjadi pada 2015 ketika pesawat tempur Turki menembak jatuh pesawat tempur Rusia di wilayah Suriah, dekat pangkalan udara Latakia. Mayoritas pasukan pemberontak/rebel berasal dari luar Suriah, bahkan banyak yang berasal dari Eropa Barat dan Amerika Utara.
Yang menarik, menurut Ikatan Alumni Suriah (Syam) Indonesia (Al-Syami), pemerintahan Assad yang disokong Rusia tidak pernah memerangi kelompok Ahli Sunnah (Sunni), mazhab yang dianut mayoritas umat Islam di Indonesia, dan bahkan banyak menterinya yang berasal dari Sunni. Hal ini bertentangan dengan klaim kelompok takfiri, yang mayoritas dari luar Suriah, yang menuduh Assad pro-Syiah dan anti-Sunni.
Menurut Syekh Taufiq Ramadhan al-Buthi, ulama terkenal dari Suriah, apa yang terjadi di negaranya disebabkan agitasi kelompok takfiri, pemilahan sektarian oleh mereka, dan fitnah keji kepada ulama. Hal ini yang dilihat Vladimir Putin sebagai kesempatan emas bagi Rusia untuk mengembalikan supremasi globalnya, jika dapat membantu tercapainya perdamaian di Suriah. Pada rilis pers terakhir, Vladimir Putin sangat yakin bahwa operasi militernya sudah berhasil memperkuat pemerintahan Assad kembali.
Politik luar negeri Rusia terhadap Turki sangat jauh berbeda ketika berhadapan dengan Indonesia. Padahal kedua bangsa tersebut adalah sama-sama negara Islam, yang mayoritas bermazhab Sunni. Walaupun Indonesia berpenduduk Muslim terbesar di dunia, jauh lebih besar dari Turki, Rusia tidak pernah memandang Indonesia sebagai ancaman.
Di zaman Uni Soviet, Rusia justru mendirikan institut bahasa Indonesia. Sementara itu, Indonesia pernah membeli alat utama sistem persenjataan (alutsista) dalam jumlah besar dari Uni Soviet dan negara blok timur lainnya. Persisnya sewaktu Indonesia berkonfrontasi dengan Belanda dalam pembebasan Papua Barat.
Secara geopolitis, intervensi Rusia di Suriah menguntungkan Indonesia. Karena Indonesia sebagai bangsa yang betumpu pada Islam Moderat, Rusia memerangi kelompok takfiri secara langsung, baik itu Negara Islam (ISIS), al-Nusra, dan lainnya. Islam arus utama di Indonesia, yaitu Nahdatul Ulama dan Muhammadyah, sudah secara tegas menolak kelompok takfiri tersebut. Di sini persinggungan kepentingan antara Rusia dan Indonesia kelihatan sangat jelas.
Kedua bangsa besar ini punya kepentingan yang sama dan hal ini harus dimanfaatkan dengan baik oleh kedua belah pihak. Lenyapnya kelompok takfiri dari Suriah akan menguntungkan Rusia maupun Indonesia dan negara Islam moderat lain. Namun, hal ini akan merugikan Turki, Israel, Qatar, Arab Saudi, dan Amerika Serikat, sebab ambisi mereka untuk membangun pipa gas atau minyak di area tersebut semakin tertutup.
Di sudut lain, Israel punya alasan kuat lain untuk khawatir. Sebab, jika pemerintahan Assad semakin kuat, eksistensi mereka juga terancam. Suriah adalah salah satu musuh utama Israel, bersama Iran.
Pertemuan antara Presiden Indonesia Joko Widodo dan Presiden Rusia Vladimir Putin pekan lalu di Rusia merupakan momen yang bagus untuk menunjukkan bahwa sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia selalu terbuka untuk bekerja sama dengan Rusia. Kedatangan Presiden Jokowi dalam rangka KTT ASEAN-Rusia mendapat privelese khusus dibanding kepala negara ASEAN lain. Jokowi langsung diterima Vladimir Putin di kediamannya.
Di zaman Presiden Megawati, kita pernah membeli pesawat tempur Sukhoi dan memberangkatkan pilot-pilot TNI AU untuk mendapatkan pelatihan di Rusia. Sampai sekarang Rusia tidak pernah menautkan syarat penegakan hak asasi manusia (HAM) untuk pembelian alutsista mereka. Hal itu berbeda dengan negara Barat. Ketika Indonesia menggunakan alutsista produk mereka dalam menghadapi separatisme, negara Barat langsung protes dengan alasan HAM.
Sekali lagi, Islam sebenarnya sama sekali bukan agama yang asing di Rusia. Sebab, ratusan tahun lalu bangsa Mongol sudah menyebarkan Islam di sana. Minoritas Muslim di sana, seperti bangsa Tartar yang masih keturunan Mongol, masih berkembang dan bisa mempraktikkan keyakinan mereka dengan baik. Beberapa kota di Rusia, seperti Kazan dan Astrakhan, memang didirikan dan dikembangkan oleh para Khan keturunan bangsa Mongol.
Arsitektur kota-kota di Rusia, yang nuansa orientalnya sangat kental, sudah sangat jelas merupakan pengaruh langsung dari budaya Mongol. Karenanya, politik luar negeri Rusia terhadap negara Islam tentu berbeda sekali dengan Barat, yang cenderung menganggap Islam sesuatu yang asing dan “di luar”. Sejarah Islam di Rusia, yang sudah lebih dari 700 tahun, jelas jauh lebih panjang dari negara Barat mana pun.