Fenomena kekerasan seksual akhir-akhir ini pasti mengoyak dan menyayat hati kita. Betapa perbuatan keji itu melindas nilai-nilai kemanusiaan dan mengendorkan semangat persaudaraan kita sebagai bangsa yang beradab. Yang lebih memprihatinkan kita, sasaran kekerasan seksual adalah kaum hawa kita yang masih di bawah umur.
Setelah kasus Yuyun di Bengkulu yang diperkosa oleh 14 remaja, hingga korban menemui ajalnya. Lalu berita duka datang dari Manado, seorang perempuan diperkosa belasan orang hingga korban mengalami tekanan psikologis atau trauma yang hebat. Dan masih banyak lagi kasus-kasus lain, baik yang sempat diungkap oleh aparat penagak hukum dan ditayangkan media maupun yang belum diungkap.
Atas peristiwa yang memilukan ini, ada anggapan bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami darurat kekerasan seksual. Betapa tidak, perilaku keji itu menyebar di mana-mana hingga ke pelosok-pelosok desa. Karenanya, penanganan ekstra untuk menyelesaikan masalah pelik ini amat dibutuhkan. Dalam konteks demikian, pertanyaannya adalah apakah pemerintah mesti mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)? Dan bagaimana pula substansi Perppu tersebut?
Urgensi Perppu
Secara teoritis perspektif ketatanegaraan, Perppu dipercaya dibuat untuk menghadapi situasi dan kondisi yang memaksa. Di Indonesia, legalitas Perppu diatur dalam konstitusi, yakni Pasal 22 ayat (1) UUD 1945: bahwa dalam keadaan memaksa Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Demikian juga dalam Pasal 1 angka 4 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Di situ dijelaskan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kepentingan yang memaksa.
Dengan demikian Perppu hanya dapat diproduksi oleh Presiden manakala ada suatu kondisi atau situasi yang memaksa. Dalam kosa kata lain rasio logis penerbitan Perppu adalah jika ada suatu kejadian atau peristiwa yang menimbulkan keadaan darurat alias genting. Di luar alasan itu, Perppu tidak dapat diterbitkan.
Jadi, bila dilihat dari situasinya sebetulnya Perppu adalah antitesis dari undang-undang. Jika UU dikeluarkan dalam keadaan normal melalui persetujuan DPR, maka Perppu dibuat dalam keadaan yang sebaliknya, yakni tidak normal/darurat. Masa depan Perppu akhirnya di tangan DPR dalam masa sidang berikutnya (Pasal 22 ayat 2 UUD 1945).
Sayangnya, tolok ukur keadaan memaksa atau darurat tidak disebutkan dalam perundang-undangan. Namun Jimly Asshiddiqie (2007) menyebut tiga indikator: unsur ancaman yang membahayakan; kebutuhan yang mengharuskan; dan keterbatasan waktu.
Dari batasan Perppu tersebut, berikut tolok ukurnya, bila dihubungkan dengan peristiwa kekerasan seksual di beberapa daerah akhir-akhir ini, tampaknya bisa dikatakan bahwa kita memang sedang mengalami darurat kekerasan seksual. Ada kepentingan yang memaksa agar Perppu kekerasan seksual diterbitkan, yakni kepentingan masa depan generasi bangsa ini baik laki-laki maupun perempuan. Sebab, dalam kasus Yuyun, seorang anak desa yang sedang berjuang menggapai cita-citanya justru harus mati di tangan para lelaki biadab.
Intinya sangat relevan jika Presiden Jokowi menerbitakn Perppu kekerasan seksual. Di sisi yang lain, Perppu tersebut dapat menjadi sarana untuk menakut-nakuti pelaku kekerasan seksual agar tidak melakukan kejahatannya. Dalam bahasa von Feuerbach, ini disebut sebagai psycologischehezwang, membatasi hasrat manusia untuk berbuat jahat.
Sanksi Kebiri
Poin penting yang menjadi fokus perdebatan beberapa pihak soal Perppu kekerasan seksual adalah substansinya. Dalam hal ini sanksi pidana yang diatur dan diancamkan bagi pelaku kekerasan seksual. Salah satu sanksi yang mengemuka adalah sanksi kebiri.
Sanksi ini cukup menarik perhatian publik bahkan ada yang tidak sependapat karena mempertentangkan hak asasi manusia (HAM) dengan sanksi tersebut. Pasalnya, tindakan kebiri awal mulanya ditujukan kepada binatang untuk menekan hormon seksualnya sehingga tidak dapat melahirkan keturunan. Dalam perkembangannya, tindakan kebiri ini diadopsi dalam sistem hukum berbagai negara menjadi sanksi kebiri bagi pelaku kekerasan seksual.
Lagi pula tampaknya kurang tepat mempertentangkan HAM dengan sanksi kebiri. Sebab, masih ada sanksi lain yang lebih berat, yakni sanksi pidana mati. Namun demikian, pidana mati sampai saat ini dilegalkan oleh negara. Padahal, di Belanda, yang notabene asal muasal hukum nasional, sejak tahun 1970 telah menghapus pidana mati. Karena itulah konstitusi kita mengenal pembatasan HAM yang ditegaskan dalam Pasal 28J UUD 1945.
Dalam perspektif pemidanaan, sanksi kebiri adalah mengadopsi teori gabungan, yakni hukuman yang memberi efek jera sehingga menghilangkan kemampuan si pelaku dalam mengulangi perbuatannya, juga mendidik masyarakat agar tidak melakukan hal serupa (general preventie).
Dengan menggunakan pendekatan komparatif, yakni membandingkan suatu ketentuan dengan peraturan di negara lain, misalnya di Korea Selatan, sejak tahun 2011 mengadopsi sanksi kebiri kimia kepada pelaku pedofilia (baca: kekerasan seksual). Polandia sejak tahun 2009 memberi sanksi pidana berat dan sanksi kebiri kepada pelaku. Di Moldova, sanksi kebiri kimia menanti pelaku kekerasan seksual. Bahkan di negara tetangga kita, Malaysia, sejak 2013 telah mempertimbangkan sanksi kebiri bagi pelaku pedofilia dan pemerkosaan.
Di Eropa Barat, seperti Belanda, Jerman, Prancis, Belgia, Swedia, Denmark, dan Ceko, pelaku kejahatan seksual dibolehkan memilih hukuman, pidana penjara dalam waktu yang lama (15-20 tahun) atau dikebiri kimia. Penting menjadi perhatian juga adalah hasil riset di Skandinavia (2015) yang menunjukkan sanksi kebiri kimia ternyata lebih efektif menekan laju kekerasan seksual dibanding sanksi pidana penjara.
Dengan demikian, meskipun sanksi kebiri adalah pranata hukum baru dalam sistem hukum nasional, jika dilihat dari faedahnya berdasarkan pengalaman negara lain, sanksi ini tampaknya akan lebih efektif menekan angka kekerasan seksual. Tentu kita tidak ingin setiap bangun pagi membaca koran atau menonton TV, berita soal kekerasan seksual terus terhampar di hadapan kita. Korban berjatuhan di mana-mana.
Maka, sanksi kebiri memang berat bagi pelaku tetapi penderitaan korban kekerasan seksual dan keluarganya tentu lebih berat lagi. Jadi, sanksi kebiri adalah hukuman yang sepadan untuk para pelaku kekerasan seksual.