Jumat, April 19, 2024

Kolom: Jokowi dan Upaya Membungkam Kritik

Khairul Fahmi
Khairul Fahmi
Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), pengajar Hukum Tata Negara, peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

Presiden-Hari-Kejaksaan-220715-wsj-1-e1437539815868[1]
Presiden Joko Widodo (ketiga kiri) dan Ibu Negara Ny. Iriana Joko Widodo (kiri) didampingi Jaksa Agung M. Prasetyo (keempat kiri) dan Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi (kedua kiri) berjalan menuju lapangan upacara Peringatan Hari Bhakti Adhyaksa Ke-55 Tahun 2015 di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (22/7). ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf
Melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 terkait pengujian Pasal 134 dan 136 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi menyatakan delik penghinaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Norma tersebut dinilai sebagai norma elastis yang tidak berkepastian dan dapat disesuaikan dengan selera siapa yang sedang berkuasa, sehingga rawan disalahgunakan untuk membungkam suara-suara kritis terhadap pemerintah.

Pada saat yang sama, demi menjaga kehormatan seorang presiden, berbagai norma lainnya di dalam KUHP–seperti aturan makar, pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan–dinilai sudah lebih dari cukup guna membentengi agar kebebasan berpendapat setiap warga negara tak menabrak batas demarkasi kehormatan seorang presiden.

Jika ditelaah lebih jauh, dengan putusan tersebut sesungguhnya MK telah meletakkan garis batas yang seimbang antara kewajiban konstitusional menghormati hak kebebasan berpendapat warga negara dan keinginan agar kehormatan presiden tidak dilecehkan.

Di satu sisi, kebebasan berpendapat tak boleh dibatasi, kecuali untuk tujuan menghormati hak asasi manusia yang lain. Di sisi lain, kehormatan presiden sebagai kepala pemerintahan juga harus dijaga oleh siapa pun. Dalam konteks ini, kebebasan berpendapat harus dilaksanakan secara bertanggung jawab: kutub kebebasan dan kehormatan presiden diletakkan secara seimbang.

Untuk menjaga keseimbangan tersebut, apakah delik penghinaan harus diadopsi ke dalam Rancangan Undang-Undang KUHP sebagaimana terdapat dalam draf yang diajukan Presiden kepada DPR pada Juli lalu? Apakah norma penghinaan dalam Pasal 236 ayat (1) RUU KUHP memang harus ada agar kesimbangan tetap terpelihara?

Dalam pasal tersebut dinyatakan, setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Frasa “di muka umum menghina” merupakan rumusan yang amat elastis.

Maksud penghinaan dalam rumusan dimaksud akan sangat bergantung pada subjektifitas seseorang yang merasakannya. Apa pun ucapan atau tindakan yang dirasa menyinggung perasaan seorang presiden, norma itu dapat digunakan sebagai palu godam membungkam siapa yang melontarkan ucapan atau sikap tersebut. Pada gilirannya, norma dimaksud justru akan dijadikan pasal keranjang sampah guna menghadapi kelompok atau individu yang menghadapkan kritiknya kepada presiden atau wakil presiden.

Dengan begitu, bagaimana mungkin ketentuan dimaksud akan dijadikan sebagai instrumen untuk menjaga keseimbangan antara menghormati kebebasan warga dan kehormatan presiden? Alih-alih dapat menyeimbangkan keduanya, rumusan delik penghinaan justru akan menjauhkan KUHP baru dari upaya melindungi hak-hak warga negara dalam menyampaikan pendapat di muka umum.

Lebih dari itu, jika ketentuan dimaksud tetap hendak dipertahankan, sesungguhnya Indonesia tengah memilih jalan kemunduran demokrasi. Kembali ke kondisi di mana kebebasan dikekang sedemikian rupa, sementara sang pemegang tampuk kekuasaan diberi proteksi berlebihan. Rezim berkuasa berupaya menjadikan hukum sebagai alat mempertahankan kekuasaan dari berbagai kelompok kritis yang dinilai membahayakan kelanggengan kuasa yang tengah dipegang.

Pada dasarnya, ketika fase demokrasi sudah pada posisi seperti saat ini, yang mesti dilakukan adalah merawat kebebasan yang ada agar ia dapat dimanifestasikan secara lebih beradab. Pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat harus dikawal sedemikian rupa agar ia dilakukan secara lebih bijaksana. Mengambil langkah yang bertujuan membatasi kebebasan berpendapat melalui kriminalisasi menggunakan pasal-pasal karet merupakan sikap anti kebebasan berpendapat.

Inilah sesungguhnya tantangan Presiden Jokowi. Sebagai Presiden yang lahir dalam atmosfir kebebasan berpendapat, menjadi utang sejarah bagi Presiden Jokowi untuk merawatnya. Dalam konteks itu, mengambil langkah legislatif yang berlawanan dengan semangat menghormati hak atas kebebasan sama artinya Jokowi tengah membakar jembatan yang mengantarkannya ke kursi kekuasaan pemerintahan.

Karena itu, agar kelak Presiden Jokowi tidak tercatat sebagai kepala pemerintahan yang kembali menghidupkan pasal-pasal intimidatif, berbagai norma dalam KUHP–termasuk delik penghinaan yang dirumuskan dengan frasa-frasa elastis–haruslah dihindarkan. Kalaupun misalnya pemerintah tak punya maksud tidak baik, namun dengan rumusan yang ada justru terlihat sangat buruk. Kalau bukan sedang menghidupkan kembali rezim hukum kolonial, setidaknya pemerintah sedang menentang apa yang telah diputuskan inkonstitusional oleh MK sebelumnya.

Atas alasan itu, sesungguhnya pemerintah tak punya pilihan selain menarik kembali usulan delik penghinaan presiden. Jika ketentuan dalam KUHP hari ini masih dinilai belum cukup untuk memproteksi kehormatan seorang presiden, sebaiknya norma yang diusulkan harus dijauhkan dari sifatnya yang multitafsir dan elastis.

Jalan inilah sesungguhnya yang bisa menjauhkan pemerintah dari fitnah, bahwa ia tengah memberangus kebebasan berpendapat demi menjaga keutuhan kekuasaannya melalui proses legislasi KUHP baru.

Khairul Fahmi
Khairul Fahmi
Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), pengajar Hukum Tata Negara, peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.