Di era Orde Baru, program Keluarga Berencana (KB) adalah salah satu program unggulan pemerintahan Soeharto yang diakui dunia internasional. Tetapi, setelah itu, termasuk di era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla saat ini, alih-alih meningkat, pelaksanaan program KB justru seperti kehilangan rohnya, dan bahkan mengalami kemunduran yang mencemaskan.
Sekadar mengingatkan kembali, ada tiga tujuan program KB. Pertama, memperbaiki kesehatan dan kesejahteraan ibu, anak, keluarga dan bangsa. Kedua, mengurangi angka kelahiran untuk menaikkan taraf hidup rakyat dan bangsa. Ktiga, memenuhi permintaan masyarakat akan pelayanan KB dan KR yang berkualitas, termasuk upaya-upaya menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan anak serta penanggulangan masalah kesehatan reproduksi.
Jika di era Orde Baru angka kematian ibu hamil melahirkan pelan-pelan berhasil diturunkan, saat ini yang terjadi justru meningkat, dari 228 orang menjadi 359 orang per 100.000 kelahiran hidup. Kenaikan angka kematian ibu hamil melahirkan juga sejalan dengan kenaikan angka kematian bayi. Maka, jangan kaget jika target pemerintah Indonesia untuk mensukseskan tujuan pembangunan millenium (MDGs) tidak tercapai. Salah satunya karena program KB yang sebelumnya mencapai masa keemasan sekarang ini justru terpuruk.
Tak kurang Presiden Jokowi sendiri meminta agar program KB kembali digaungkan. Pasalnya, program tersebut kini seperti tenggelam dan gagal mengendalikan laju pertumbuhan manusia di Indonesia. Dalam lima belas tahun terakhir, jumlah penduduk Indonesia terus meningkat. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 mendatang akan bertambah hingga menjadi 305,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 28,6 persen dari jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 yang sebesar 237,6 juta jiwa.
Tekad Presiden Jokowi untuk merevitalisasi program KB tentu bukan hanya untuk kepentingan mengendalikan pertumbuhan jumlah penduduk, tetapi yang terpenting adalah sebagai persiapan menghadapi bonus demografi yang diperkirakan mencapai puncaknya pada tahun 2025-2045. Bonus demografi adalah masa ketika struktur umur penduduk usia kerja 15-64 tahun melebihi 50 persen.
Di era global seperti sekarang ini, indikator untuk menilai sejauhmana program KB berhasil dilaksanakan tentu bukan hanya pada keberhasilan program ini membatasi jumlah kelahiran dan mengatur jarak kelahiran antar anak. Ketika kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki, maka keberhasilan program KB harus dilihat dari sejauhmana ia mampu mendorong perkembangan kualitas SDM yang makin profesional dan mampu bersaing di era pasar bebas.
Pengalaman selama ini telah membuktikan, sebuah bangsa yang hanya mengandalkan otot, mereka akan menjadi bangsa kuli yang bergaji rendah dan tidak mampu bersaing dengan bangsa lain di dunia. Meski kita memiliki warga masyarakat yang termasuk kelompok diaspora dengan latar belakang pendidikan dan kemampuan luar biasa, harus diakui sebagian besar TKI/TKW yang mengadu nasib mencari kerja di luar negeri sebagian besar adalah tenaga kerja yang tak berpendidikan dan berkeahlian khusus.
Dibandingkan negara-negara tetangga (Singapura, Brunei, Filipina, dan Malaysia), hingga saat ini Indonesia selalu kalah bersaing dari segi kualitas SDM. Menurut data Human Development Index (HDI), peringkat Indonesia dilaporkan di sekitar angka 108 dari 187 negara yang dikaji UNDP. Skor HDI Indonesia hanya sekitar 0,684, masih di bawah rata-rata skor HDI dunia yang 0,702. Bahkan, China yang dulu di bawah kita, sekarang sudah menempati ranking 90–jauh lebih tinggi daripada Indonesia.
Di bawah kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya pulih, dan sebagian masyarakat masih berkutat dengan tekanan kemiskinan, merevitalisasi program KB seperti era sebelumnya tentu tidak mudah. Di era Orde Baru, untuk mensukseskan program KB, pemerintah masih memiliki peluang untuk memobilisasi, dan bahkan kadang juga mengandalkan dukungan aparat keamanan. Tetapi, di era pasca reformasi, pelaksanaan program KB tentu tak bisa digerakkan sekadar mobilisasi dari atas (top down), apalagi mengandalkan pendekatan represif.
Ketika masyarakat yang dihadapi adalah masyarakat pasca-industrial yang makin kritis, maka upaya untuk merevitalisasi program KB mau tidak mau harus mengembangkan pendekatan baru yang lebih bersifat transformatif. Berbeda dengan dulu ketika program ini menjadi instrumen negara untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk. Kini, jika ingin berhasil merevitalisasi program KB, maka ia harus dikelola dan diposisikan sebagai investasi bagi masyarakat untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan masa depan mereka sebagai subjek.
Dengan upaya rekayasa sosial yang tepat, apalagi dengan menempatkan program KB sebagai bagian dari program yang populis, pemerintah bisa saja merevitalisasi program KB hingga mencapai popularitas seperti era Orde Baru. Namun demikian, agar pelaksanaannya benar-benar berkelanjutan, yang dibutuhkan bukan sekadar memposisikan program KB sebagai media penyaluran subsidi dan lain sebagainya.
Pendeknya, untuk memastikan partisipasi dan kesediaan masyarakat ikut ber-KB, harus ada upaya mentransformasikan program tersebut sebagai bagian dari modal sosial-budaya masyarakat dan sekaligus investasi untuk mempersiapkan masa depan masyarakat itu sendiri.