Polemik hukuman bagi pelaku perkosaan masih belum berakhir, bahkan setelah Presiden Joko Widodo akhirnya mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 yang memberikan hukuman lebih berat pada pelaku perkosaan.
Salah satu bentuk hukuman dalam Perppu tersebut adalah kebiri kimiawi. Mereka yang setuju dengan kebiri kimiawi beralasan bahwa pelaku perkosaan harus dihukum seberat-beratnya. Sementara yang tidak setuju ada yang melihat dari sisi hak asasi manusia (HAM) dan sisi kesehatan. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah mengeluarkan pernyataan yang menolak terlibat dalam pelaksanaan hukum kebiri kimiawi.
Obat-obatan dalam Kebiri Kimiawi
Proses kebiri kimiawi dilakukan dengan memberikan obat yang berfungsi menurunkan kadar hormon testosteron pada pria sehingga hasrat seksualnya turun. Proses kastrasi ini bersifat reversible. Artinya, setelah penggunaan obat dihentikan, kadar testosterone di dalam tubuh akan kembali normal dan fungsi seksual kembali seperti semula.
Obat yang dapat digunakan ada berbagai macam, antara lain Biculatamide, Cyproterone, Degarelix, Goserelin, Leuprolide, Medoxyprogesterone, dan Triptorelin. Dari berbagai pilihan tersebut, yang paling sering digunakan adalah Medroxyprogesterone, Triptoreline, dan Leuprolide.
Medroxyprogesterone tersedia dalam bentuk tablet dan obat suntik (injeksi). Bila diberikan secara injeksi, pemberiannya bisa dilakukan setiap 3 bulan sekali. Peringatan khusus yang menyertai penggunaan obat ini antara lain adalah risiko osteoporosis (bila diberikan secara injeksi), dan risiko pada organ jantung serta demensia (bila diberikan dalam bentuk tablet).
Sementara itu, Triptorelin bekerja dengan menurunkan kadar hormon LH dan FSH yang pada akhirnya menurunkan jumlah testosterone (pada pria) dan estrogen (pada wanita. Obat ini hanya berada dalam bentuk injeksi dan harus diberikan setiap 1-6 bulan sekali. Peringatan khusus yang menyertai penggunaan obat ini adalah adanya kemungkinan pasien/penerima obat mengalami diabetes, paralisis, infark jantung, gagal jantung, dan stroke.
Leuprolide memiliki aktivitas yang kurang lebih sama dengan Triptoreline dan dapat diberikan dalam rentang waktu 3-6 bulan sekali. Laki-laki yang menerima terapi Leuprolide lebih dari 6 bulan memiliki kecenderungan depresi yang parah, kadar gula yang meningkat, dan risiko mengalami gagal jantung kongestif.
Memang hingga kini belum banyak studi komprehensif tentang kebiri kimiawi pada manusia, khususnya pada pelaku perkosaan. Barangkali karena tidak banyak pelaku yang dihukum dengan hukuman tersebut. Sebuah studi di tahun 2003 mengevaluasi dampak kebiri kimiawi pada pasien kanker prostat dengan menggunakan obat Flutamide dan Leuprolide selama 36 minggu.
Studi tersebut juga melihat dampak kebiri 18 minggu setelah kebiri dihentikan. Meskipun datanya terbatas dan diperlukan studi lebih lanjut, hasil studi menunjukkan pasien yang menjalani terapi kebiri kimiawi mengalami peningkatan kejadian depresi dan rasa gugup (anxiety).
Permasalahan Kebiri Kimiawi
Kita bisa menganalisa permasalahan hukuman kebiri kimiawi ini dari berbagai aspek. Dari sudut pandang HAM, hukuman kebiri melanggar HAM karena obat yang digunakan mempengaruhi proses berpikir dan pengambilan keputusan pada seseorang. Selain itu, ada celah dalam proses hukum yang membuat hukuman kebiri bisa salah sasaran.
Mungkin Anda pernah mendengar kasus Brian Banks, seorang pemain American Football muda yang dipenjara selama 5 tahun karena dituduh memperkosa. Enam tahun setelah ia didakwa, korban perkosaan mengaku bahwa sebenarnya ia tidak pernah diperkosa sama sekali oleh Brian Banks. Apa jadinya bila Brian dihukum kebiri kimiawi?
Bagaimana tanggung jawab pengambil keputusan dan masyarakat terhadap kondisi fisik dan mental pelaku yang mendapatkan tuduhan keliru dan telanjur dihukum? Hal seperti ini bisa saja terjadi di negara kita. Maka, kebiri kimiawi kurang sesuai bila dijadikan sebagai salah satu bentuk hukuman yang diajukan oleh jaksa penuntut bagi pelaku perkosaan.
Lain persoalannya bila pelaku sendiri yang meminta untuk dikebiri. Itu pun harus dilakukan dengan pengawasan yang baik untuk melihat apakah muncul efek samping yang tidak diinginkan. Dalam sebuah artikel tentang hukuman kebiri kimiawi, beberapa pelaku perkosaan berulang di Inggris memang meminta sendiri agar mereka dikebiri. Mereka merasa setelah dilakukan kebiri, mereka lebih mudah mengendalikan pikiran dan hasrat seksual.
Dari sudut kesehatan, bagaimana proses terapi ini akan dilangsungkan? Setelah Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak terlibat dalam pelaksanaan hukuman, siapa yang akan memantau kondisi pelaku selama dan sesudah proses kebiri dilakukan?
Berapa lama kebiri ini dilakukan? Obat memiliki waktu kerja tertentu. Artinya, untuk mendapatkan efek yang diinginkan secara lama, ia harus diberikan berulang. Katakanlah pelaku dihukum kebiri kimiawi selama sepuluh tahun. Itu artinya selama sepuluh tahun setiap 3-6 bulan sekali pelaku harus disuntik obat untuk menurunkan kadar testosteronnya. Obat-obatan yang digunakan untuk kebiri kimiawi ini tidak murah, dan pengeluaran negara bisa membengkak untuk membeli obat-obatan tersebut.
Yang juga harus diperhatikan adalah tempat dilangsungkannya proses pelaksanaan kebiri kimiawi. Bila prosesnya dilakukan selama pelaku dipenjara, kemudian dihentikan ketika pelaku selesai menjalani masa hukuman, apa, dan siapa yang menjamin setelahnya pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya setelah efek obat hilang?
Bila prosesnya dilakukan setelah dia keluar dari penjara malah lebih menyulitkan lagi. Siapa yang akan memastikan residivis ini datang ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan suntikan kebiri? Sistem hukum di Indonesia bahkan belum membentuk sistem pengawasan bagi mantan narapidana kekerasan seksual, apalagi menguji keberhasilannya.
Satu hal lagi yang nampaknya luput dari pertimbangan para pengambil kebijakan kebiri kimiawi adalah alasan dilakukannya kekerasan seksual di Indonesia. Kasus kekerasan seksual bisa terjadi karena hasrat seksual berlebih dan tak bisa sama sekali ditahan oleh pelaku, relasi kuasa, atau alasan lainnya.
Alasan-alasan di balik perkosaan inilah yang harus digali lebih dalam sebelum akhirnya memutuskan apakah perlu dilakukan kebiri atau tidak. Itu pun harus sepersetujuan pelaku. Bila perkosaan dilakukan karena relasi kuasa, tak ada gunanya kebiri dilakukan. Pelaku bisa saja kembali melakukan kekerasan seksual tanpa menggunakan organ kelaminnya, tapi menggunakan alat bantu lain.
Hukuman bagi Pemerkosa
Jadi, hukuman seperti apa yang pantas diberikan pada pelaku kekerasan seksual selain hukuman kurungan badan? Mungkin kita bisa mempelajari program yang diberlakukan terhadap pelaku kekerasan seksual di Inggris.
Di Inggris, pelaku kekerasan seksual akan menerima hukuman penjara. Selama berada di penjara ia harus mengikuti program khusus bagi pelaku kekerasan seksual yang disebut Sexual Offender Treatment Program (SOTP).
Program SOTP adalah sebuah terapi perilaku kognitif bagi pelaku kekerasan seksual yang terdiri dari berbagai tahap. Kegiatan-kegiatannya antara lain membina narapidana perkosaan agar mampu menganalisa alasan ia melakukan kekerasan seksual, memikirkan dan menimbang konsekuensi bila ia melakukan kekerasan seksual dengan tujuan akhir agar pelaku dapat mengendalikan dirinya.
Terapi juga dilakukan pada kelompok pelaku kekerasan seksual tertentu, dari ringan hingga berat. Pada beberapa kasus di mana pelaku gagal menjalani program SOTP, karena memang hasrat seksual yang tinggi, kebiri kimiawi menjadi salah satu solusi yang ditawarkan dan beberapa terdakwa ada yang mengambil pilihan ini.
Kasus-kasus perkosaan, apalagi perkosaan pada anak, memang membuat masyarakat, di belahan dunia mana pun, resah. Dampak kekerasan seksual pada korban, keluarga korban, bahkan lingkungan di sekitar korban, sangat besar. Sangat wajar bila masyarakat pun menuntut ada hukuman yang sangat berat diberikan pada pelaku kekerasan seksual. Tidak aneh bila kita mendengar masyarakat menuntut hukuman mati bagi para pemerkosa. Sebegitu geramnya mereka terhadap pelaku perkosaan.
Pemerintah, sebagai pemangku kebijakan, tentu harus berhati-hati merumuskan suatu peraturan. Peraturan yang dirumuskan harus mempertimbangkan bukan hanya korban, tapi juga pelaku sebagai seorang manusia. Untung rugi suatu bentuk hukuman juga harus dipikirkan dengan hati-hati.
Kajian terhadap suatu bentuk hukuman yang diajukan harus dianalisa dengan seksama dan menyeluruh. Jangan sampai karena ingin menenangkan masyarakat, suatu peraturan dibuat tanpa analisa lengkap, dan menyesal di kemudian hari.