Jumat, April 26, 2024

Jokowi dan Peminggiran Agenda Hukum

Khairul Fahmi
Khairul Fahmi
Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), pengajar Hukum Tata Negara, peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Presiden Joko Widodo  didampingi Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan (kiri), Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (keempat kiri), KSAL Laksamana TNI Ade Supandi (ketiga kiri), KSAD Jenderal TNI Mulyono (tengah), Mentan Amran Sulaiman (ketiga kanan), Menlu Retno Marsudi (kedua kanan), KSAU Marsekal TNI Agus Supriatna (kanan) menghadiri pembukaan Rapat Pimpinan TNI di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta. ANTARA FOTO/ Yudhi Mahatma
Presiden Joko Widodo didampingi Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan (kiri), Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (keempat kiri), KSAL Laksamana TNI Ade Supandi (ketiga kiri), dan KSAD Jenderal TNI Mulyono (tengah)di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta. ANTARA FOTO/ Yudhi Mahatma

Tak berbilang satu atau dua kritik yang tertuju pada ketidakberpihakan rezim pemerintahan Joko Widodo pada agenda hukum, terutama pemberantasan korupsi. Hampir selalu pemerintah menyuarakan, kerja! kerja! kerja! Saat yang sama, suara kerja penegakan hukum sayup-sayup mulai menjauh. Entah disengaja atau tidak, yang pasti hukum tidak diberi perhatian khusus untuk dilirik.

Kesan yang muncul, yang penting bekerja, soal hukum itu cerita nomor sekian. Sekalipun agenda tersebut termaktub dalam visi rezim pemerintahan yang tengah berkuasa, tidak terlihat ada tanda-tanda hukum akan dinomorsatukan.

Realitas itulah sesungguhnya yang mendorong sebagian orang berkesimpulan bahwa 2015 merupakan tahun defisit harapan. Betapa tidak, ketika hukum tidak diletakkan sebagai panglima dalam penyelenggaraan negara, bagaimana mungkin cita negara hukum yang demokratis dapat diwujudkan? Bagaimana mungkin kerja-kerja yang didegungkan itu dapat mengantarkan pada tujuan bernegara jika hukum tidak dijadikan pengawalnya?

Alih-alih untuk itu, tanpa mengutamakan agenda hukum, rezim pemerintahan akan terombang-ambang dalam ketidakpastian tolak–tarik kepentingan politik.

Kondisi itu sesungguhnya terkonfirmasi dengan sikap Presiden Jokowi dalam tiga hal, yaitu ketika memilih pembantu-pembantunya di bidang hukum, menghadapi badai yang menerpa Komisi Pemberantasan Korupsi, dan revisi Undang-Undang KPK.

Dalam memilih orang yang akan membantunya menjalankan agenda hukum, Presiden terkesan tunduk pada keinginan partai pendukung dan orang-orang berpengaruh dalam pencalonan dirinya ketika hendak maju dalam Pemilihan Presiden 2014. Presiden tidak kuat mempertahankan prinsipnya untuk menempatkan kelompok profesional nonpartai di bidang penegakan hukum. Akibatnya, agenda penegakan hukum juga tidak sepenuhnya dapat dikendalikan Presiden.

Lebih jauh, berbagai kebijakan Presiden pun ringkih dari aspek pertimbangan hukum. Sejumlah kebijakan baik dalam bentuk peraturan ataupun keputusan harus dibatalkan sebelum diberlakukan. Hal itu sesungguhnya mengonfirmasi bahwa jajaran hukum pemerintah tidak memberikan pertimbangan terbaik terhadap keputusan yang akan dikeluarkan Presiden. Ini wujud nyata “kekalahan” Presiden dalam memilih kelompok profesional di bidang hukum.

Sama halnya dengan masalah yang menimpa KPK, Presiden seakan tidak ambil pusing. Perlawanan balik terhadap KPK hanya disikapi seadanya. Pada gilirannya, agenda pemberantasan korupsi yang sedang berada di atas angin justru terjungkal dan terjerembab dalam arus politik tak menentu yang sedari awal memang hendak menenggelamkannya.

Tidak jauh berbeda dengan rencana revisi UU KPK yang di dalamnya terselip agenda memperlemah KPK dengan mempreteli kewenangan lembaga ini. Para pembantu Presiden di bidang hukum pun menunjukkan sikap setuju atas rencana dimaksud. Walaupun Presiden sudah menegaskan menolak revisi UU KPK, manuver para pembantunya justru bersimpang jalan dengan arahan Presiden.

Kondisi tersebut sesungguhnya menjadi tantangan berat bagi Presiden dalam tahun ini. Tanpa dukungan solid dari pembantu-pembantunya, sulit bagi Presiden melaksanakan agenda penegakan hukum sesuai Nawacita. Bahkan, 2016 bisa menjadi tahun yang jauh lebih buruk bagi proses pembangunan hukum dan pemberantasan korupsi. Apalagi revisi UU KPK akan dibahas pada tahun ini. Jadi atau tidaknya UU ini direvisi merupakan pembuktian apakah Presiden masih punya mimpi membenahi dunia hukum dan pemberantasan korupsi atau tidak.

Memilih bersikap seperti tahun sebelumnya, sama artinya Presiden turut serta mengubur cita-cita memberantas korupsi dengan cara-cara yang luar biasa oleh KPK. Pada gilirannya, agenda pemberantasan korupsi akan mengalami pasang surut ke titik paling mengkhawatirkan.

Agar pengalaman pahit itu tidak berulang, saatnya Presiden mengambil kendali pelaksanaan agenda-agenda hukum dan pemberantasan korupsi. Untuk itu, sesuai dengan janjinya saat pertama kali menyusun kabinet, bagi setiap pembantu Presiden dengan kinerja buruk akan diganti. Dalam konteks itu, saatnya Presiden mengevaluasi kembali kinerja menteri dan pejabat setingkat menteri di bidang hukum sesuai Nawacita.

Siapa pun yang kinerjanya mengambil jarak atau bahkan berhadap-hadapan dengan Nawacita, Presiden mesti menggeser atau menggantinya. Siapa pun yang akan dipilih untuk mengisi posisi tersebut, Presiden harus memastikan bahwa ia dapat bekerja secara profesional dan sesuai dengan visi Presiden.

Selain itu, Presiden juga mesti menegaskan kembali posisinya terkait revisi UU KPK. Dalam situasi politik di DPR yang menghendaki revisi untuk mengurangi sejumlah kewenangan ekstra yang dimiliki KPK, tidak cukup alasan bagi Presiden untuk menyetujuinya, bahkan hanya sekadar menyetujuinya untuk dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional 2016.

Tidak sebatas itu, Presiden juga harus memastikan pembantu-pembantunya patuh dan bertindak sesuai sikap menolak revisi tersebut. Setiap manuver yang berseberangan harus dianggap sebagai perlawanan terhadap keputusan politik hukum Presiden. Untuk mengatasinya, Presiden mesti menggunakan kekuasaan konstitusional yang dimilikinya.

Kejelasan dan ketegasan Presiden sesungguhnya amat diperlukan untuk memastikan agenda pembangunan hukum dan pemberantasan korupsi tidak berhenti atau bahkan mundur ke belakang. Pada saat yang sama, ketegasan itu sekaligus akan membuktikan bahwa Presiden Jokowi tidak sedang meminggirkan agenda pembangunan hukum dan pemberantasan korupsi demi hanya mengalah pada kekuatan politik yang hendak menghentikan langkah pemberantasan korupsi.

Khairul Fahmi
Khairul Fahmi
Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), pengajar Hukum Tata Negara, peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.