Jumat, Maret 29, 2024

Jokowi dan Pasar Beras

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Pekerja merapikan beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) Jakarta, Senin (30/11). Para pedagang beras di pasar tersebut mengatakan pasokan beras medium atau kualitas III atau beras IR 64 mulai berkurang, kondisi yang sudah terjadi beberapa bulan ini menyebabkan harga beras medium naik sampai di atas Rp 9.000 per kg dari tingkat normal di Rp 8.200-8.300 per kg. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/pd/15
Pekerja merapikan beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) Jakarta, Senin (30/11). Para pedagang beras di pasar tersebut mengatakan pasokan beras medium atau kualitas III atau beras IR 64 mulai berkurang, kondisi yang sudah terjadi beberapa bulan ini menyebabkan harga beras medium naik sampai di atas Rp 9.000 per kg dari tingkat normal di Rp 8.200-8.300 per kg. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/pd/15

Beberapa hari lagi tahun 2015 akan berlalu. Ada banyak hal bisa dievaluasi, salah satunya pengadaan gabah/beras dalam negeri oleh Badan Urusan Logistik (Bulog). Sampai akhir tahun ini diperkirakan pengadaan beras Bulog maksimal hanya 2 juta ton, 0,9 juta ton di antaranya disumbang beras premium. Pengadaan ini jauh dari target internal 2,7 juta ton, apalagi target pemerintah 4 juta ton.

Sejak awal tahun muncul keraguan Bulog bisa melakukan pengadaan beras, kendati produksi padi diyakini bagus. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Perberasan (17 Maret), yang digadang-gadang menjadi stimulan tak hanya telat dirilis, tapi diktum-diktum di dalamnya juga mandul.

Di luar itu, pasar beras juga telah berubah. Pasar beras kini dikuasai korporasi dan penggilingan besar. Kemampuan mereka, baik dalam jejaring pengadaan dan pemasaran beras maupun dalam pendanaan, telah melampaui kapasitas Bulog. Saat ini ada empat perusahaan swasta beras yang bergerak di industri perberasan. Dalam setahun mereka bisa menyerap beras hingga dua juta ton, setara kemampuan Bulog tahun ini. Dengan jejaring hingga ke petani, mereka tidak kesulitan mendapatkan gabah.

Di sisi lain, Bulog tidak punya “kaki tangan” guna menjangkau petani. Dana bank berbunga komersial membuat operasional Bulog dalam pelayanan publik menjadi mahal. Lengkap sudah derita.

Situasi Bulog yang kesulitan menyerap gabah/beras semacam ini sudah berlangsung beberapa tahun belakangan. Sayangnya, respons pemerintah tidak memadai, kalau tidak dikatakan nyaris tidak ada. Ketika penyerapan beras rendah, cadangan beras pemerintah juga bakal terkuras. Pada titik tertentu, cadangan habis tandas. Saat itu terjadi, kredibilitas pemerintah menjadi taruhan.

Beras bukan hanya komoditas ekonomi, tetapi juga komoditas politik. Apabila pemerintah tidak mampu mengendalikan harga, kondisi sosial-politik mudah sekali terguncang. Legitimasi pemerintah yang berkuasa tergerogoti. Siapa pun rezim yang berkuasa di negeri ini berpeluang untuk terguling jika alpa mengelola beras.

Sudah tentu situasi semacam ini tidak pada tempatnya dibiarkan berlarut-larut. Harus ada respons memadai dan terukur. Yang paling penting adalah perubahan kebijakan penyerapan gabah/beras dari monokualitas menjadi multikualitas. Kebijakan pengadaan beras monokualitas, kualitas medium, sudah berlangsung selama 46 tahun. Seolah-olah segala sesuatunya tak berubah.

Dari pijakan ini saja beleid itu patut digugat. Beras kualitas medium dicirikan oleh kadar air maksimum 14%, derajat sosoh minimum 95%, butir patah dan butir menir maksimal 20% dan 2%. Ini beras kualitas rendah.

Keberadaan beras satu kualitas tidak memiliki alas pijak yang kokoh. Di lapangan, ada lebih dari satu kualitas beras. Di Pasar Induk Beras Cipinang Jakarta, ada 17-an jenis beras, di toko-toko kelontong ada 3-5 jenis beras. Kebijakan harga tunggal mengingkari pergerakan harga gabah/beras sesuai musim, adanya beras di luar kualitas medium, dan segmentasi pasar sesuai preferensi konsumen: segmen menengah-atas yang mengonsumsi beras premium, dan segmen bawah yang mengonsumsi beras medium.

Kebijakan harga tunggal juga menyulitkan pemerintah dalam intervensi harga lewat operasi pasar. Dengan satu jenis beras (kualitas medium), apalagi stok lama, mustahil operasi pasar bisa meredam gejolak harga semua jenis beras di pasar. Operasi pasar menjadi tidak efektif.

Ke depan, pemerintahan Joko Widodo perlu mengoreksi harga kualitas tunggal menjadi multikualitas. Penerapan harga sebaiknya mengacu pada harga dunia agar ada benchmark. Dalam jangka pendek harga multikualitas yang bisa diterapkan: perbedaan butir patah 5% dan 25%, kualitas medium (musim hujan) dan premium (kemarau), serta varietas unggul dan romatik/lokal. Pengadaan beras Bulog mengikuti pengadaan beras multikualitas. Beras kualitas medium tetap dipertahankan untuk memenuhi pagu beras untuk warga miskin (raskin), namun volumenya dikurangi seiring berkurangnya penyaluran untuk publik.

Jumlah beras kualitas premium atau super ditingkatkan guna mengisi cadangan beras pemerintah. Ini akan memberi insentif penggilingan untuk memproduksi beras berkualitas dengan mengganti mesin.

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.