Sabtu, April 27, 2024

Jokowi dan Misteri 12 Tahun KPK

Hifdzil Alim
Hifdzil Alim
Direktur HICON Law & Policy Strategies.
Plt Ketua KPK Taufiqurachman Ruki (kedua kiri) didampingi Wakil Ketua Zulkarnain (kedua kanan), Plt Wakil Ketua Johan Budi (kiri) dan Indriyanto Seno Adji (kanan) memberikan keterangan pers terkait revisi Undang-Undang KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (7/10). KPK menyatakan menolak draf revisi Undang-Undang KPK yang diusulkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 oleh DPR karena dinilai semakin melemahkan kinerja lembaga antirasuah itu. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc/15.
Plt Ketua KPK Taufiqurachman Ruki (kedua kiri) didampingi Wakil Ketua Zulkarnain (kedua kanan), Plt Wakil Ketua Johan Budi (kiri) dan Indriyanto Seno Adji (kanan) memberikan keterangan pers terkait revisi Undang-Undang KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (7/10).  ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc/15.

Tiba-tiba muncul draf perubahan undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diduga berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 5 RUU KPK mengatakan, “Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan.” Ketentuan ini baru sama sekali, sebab tidak ditemukan dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 yang sedang diberlakukan sebagai dasar hukum berdirinya KPK.

Kemunculan angka 12 tahun sebagai umur KPK sungguh sangat mengejutkan. Jika RUU KPK sampai disepakati di sidang paripurna, katakanlah diketok pada 2016, maka usia komisi antirasuah hanya sampai tahun 2028. Setelah itu, KPK tidak lagi memiliki kekuatan hukum kelembagaannya. Dengan kata lain, secara hukum, lembaga negara pemberantas korupsi harus bubar. Kecuali ada kondisi tertentu yang menginginkan lain.

Usulan umur KPK menjadi soal yang misterius. Apa dasar pemilihan umur itu. Apa landasan filosofis angka 12 serta kondisi sosial apa yang mempengaruhi anggota parlemen mengambilnya adalah pertanyaan kunci untuk membongkar misteri umur 12 tahun KPK.

Jika penjelasan komprehensif atas usulan umur tersebut tak bisa dipaparkan, patut dinyatakan para pengusul revisi UU KPK tidak serius mendesain undang-undang. Asumsi publik yang berseliweran bahwa anggota Dewan sedang mengamputasi KPK lewat jalur legislasi menemukan basisnya. Saya pikir, yang seperti ini harus dihindari oleh anggota dewan—yang konon mendapat gelar—terhormat!

Dalam membentuk undang-undang, sebagaimana diamanatkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, harus didasarkan pada asas pembentukan peraturan yang baik. Ingat, UU ini adalah aturan main yang disepakati sendiri oleh DPR dalam menyusun undang-undang.

Pasal 5 huruf a UU Nomor 12 Tahun 2011 memerintahkan ada asas “Kejelasan Tujuan” yang mesti dipenuhi dalam membentuk undang-undang. Penjelasan atas pasal tersebut adalah, “Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai”. Sekarang mari kita pertanyakan, apa tujuan yang hendak dicapai dari angka 12 dalam draf revisi UU KPK? Tidak ada keterangan lengkap yang dirilis oleh anggota Dewan mengenai angka misterius itu.

Sekali lagi dalam menyusun undang-undang juga harus memperhatikan substansi undang-undang atau peraturan lainnya yang sebelumnya mengatur atau memerintahkan perihal serupa. Sebagai misal, tema kelembagaan institusi antikorupsi pernah diamanatkan dalam Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR-RI/2011 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Pasal 2 angka 6 huruf a TAP MPR VIII/2001 berisi, “Arah kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah membentuk undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk pencegahan korupsi yang muatannya meliputi: komisi pemberantasan tindak pidana korupsi.” Kurang lebih dua tahun setelah itu, negara menerbitkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Dalam UU KPK tidak dicantumkan sama sekali umur KPK. Hal ini tampaknya mengacu ke konsideran TAP MPR bahwa korupsi—termasuk juga kolusi dan nepotisme—yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat serius, dan merupakan kejahatan yang luar biasa dan menggoyahkan sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. KPK tidak dibatasi umurnya agar terus hidup untuk memerangi korupsi.

Dengan alur sejarah peraturan, draf umur KPK hanya 12 tahun tentu saja membentur dinding hukum yang sangat tebal. Bahkan tak ada jalan keluar untuk sekadar mencari alasan menghindar dari dinding peraturan. Bukan hanya itu, angka 12 tahun juga bertentangan dengan asas kejelasan tujuan dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Anggota DPR menabrak sendiri aturan yang dibuatnya. Sungguh ceroboh!

Selanjutnya, kemungkinan pendekatan matematika untuk menjelaskan angka misterius itu juga tidak ditemukan. Kecuali pernyataan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto: “Intinya adalah bahwa kita sudah terlalu muak dengan persoalan korupsi, masak kita gak bisa selesaikan dalam waktu 12 tahun, negara ini bisa mencapai indeks korupsi yang tidak bisa sejajar dengan negara lain dalam memerangi korupsi, ya berarti kita sebagai bangsa yang gagal.”(Merdeka.com, 9/10/2015).

Menurut Hasto, usulan 12 tahun adalah untuk memacu kinerja KPK. Pernyataan seperti ini sangat lemah. Setidaknya dengan menggunakan dua ukuran. Pertama, negara yang mencapai indeks pemberantasan korupsi tinggi tidak membatasi umur lembaga antikorupsinya. Singapura sebagai negara di Asia Tenggara yang mendapat skor IPK 84 pada 2014 dan menduduki peringkat ke-7 dunia tidak membatasi umur Corrupt Practices Investigation Bureau/CPIB, lembaga antikorupsinya. Lalu, kenapa Indonesia yang menduduki peringkat ke-107 dengan skor IPK 34 harus sombong membatasi umur KPK? Sungguh menggelikan!

Kedua, pemberatasan korupsi yang maksimal agak susah diselesaikan dalam waktu dekat. Mengingat ada faktor lain yang mempengaruhi, seperti serangan balik koruptor (corruptor fightback), rendahnya kehendak politik pemerintah, serta penegak hukum yang terkontaminasi suap dari terduga korupsi. Intinya, kengototan memasukkan angka 12 tahun sebagai umur KPK hanyalah bentuk misteri oplosan untuk mempercepat proses amputasi gerakan pemberantasan korupsi.

Terakhir, demi menjaga pemberantasan korupsi, Presiden Joko Widodo perlu memberikan porsi perhatian yang besar atas potensi amputasi KPK. Diam tak berarti emas. Presiden harus menolak usulan RUU tersebut agar dia tidak dinilai satu gerbong dengan pengusung misteri oplosan umur 12 tahun KPK.

Hifdzil Alim
Hifdzil Alim
Direktur HICON Law & Policy Strategies.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.