Wacana pemerintah mencabut status kewarganegaraan warga negara Indonesia (WNI) yang bergabung dengan militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) kembali mencuat. Ini bukan pertama kali. Pada 2014, usulan ini pernah diwacanakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Lalu, pada pertengahan 2015, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM (saat itu) Tedjo Edhy Purdijatno juga kembali mengemukakan wacana tersebut. Beberapa tokoh sontak lantang mendukungnya, antara lain Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj. Bahkan Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Prof. Jimly Asshiddiqie meminta sikap tegas pemerintah untuk mencabut paspor dan kewarganegaraaan WNI yang ikut perang di negara lain.
Sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Australia memang telah mengeluarkan aturan pencabutan warga negara. Status warga negara Amerika dapat dicabut jika terbukti bergabung dengan kelompok ekstrim seperti Al-Qaidah dan NAZI. Sementara Inggris menyita paspor warganya yang terang-terangan mendukung ISIS, seperti dialami tokoh aktivis pro-ISIS Inggris Anjem Choudary (47).
Belakangan Tajikistan, negara berpenduduk mayoritas muslim, meloloskan rancangan undang-undang yang mencabut kewarganegaraan penduduk yang bergabung dengan ISIS. Parlemen Tajikistan secara bulat mengundang-undangkan RUU itu. Saat ini ada sekitar 400 penduduk Tajikistan bergabung ISIS di Suriah dan Irak. Termasuk Kolonel Gulmurod Halimov, mantan komandan Polisi Khusus “Densus” Tajikistan, yang muncul dalam video propaganda ISIS pada Mei 2015.
Terlepas dari ancaman sejumlah negara akan mencabut paspor warganya jika bergabung ke ISIS, ISIS tercatat tiga kali merilis video yang menampilkan sejumlah pejuang asing ISIS membakar paspor negara asalnya beramai-ramai. Selama ini warga asing adalah salah satu kekuatan yang diandalkan ISIS. Salah satu alasannya adalah mereka dikenal loyal dan memiliki peran vital di medan perang.
Banyak warga asing bersedia melakukan aksi bom bunuh diri dalam setiap penaklukan kota yang diincar ISIS. ISIS tak segan-segan menyita rumah-rumah penduduk di Suriah dan dibagikan ke petempur asing untuk dijadikan tempat tinggalnya. ISIS menyebut mereka kaum Muhajirin (orang-orang yang hijrah) yang layak mendapat perlakuan istimewa.
Peran warga asing, khususnya dari Barat, dinilai berpengaruh besar dalam membangun ISIS sebagai organisasi militan yang lebih modern dibanding militan lain. ISIS juga memanfaatkan petempur asing yang telah bergabung dengannya sebagai “magnet” untuk menarik lebih banyak warga asing agar bergabung ke ISIS.
ISIS terbukti ingin memperluas perekrutan tak hanya sebatas dijadikan petempur, tapi juga ingin merekrut warga asing profesional seperti dokter, insinyur, atau akuntan untuk dipekerjakan di wilayah kekuasaan ISIS dengan iming-iming gaji tinggi. Kepada dunia internasional ISIS ingin menunjukkan bahwa langkah apa pun yang dilakukan terhadapnya tidak akan berpengaruh, termasuk pencabutan paspor anggotanya.
ISIS selama ini mengklaim dirinya sebagai sebuah negara. Di Suriah dan Irak, ISIS menguasai wilayah setara luas negara Belgia, membawahi 11 juta penduduk, mengklaim memiliki 100 ribu tentara, dan terbukti menerapkan wajib militer. ISIS juga mengklaim menerapkan pajak dan menerbitkan kartu identitas penduduk. Yang terbaru ISIS mulai memberlakukan mata uangnya sendiri, yakni dinar dan dirham.
Sebelum ada “negara” ISIS, dulu militan Taliban juga pernah memproklamirkan sebuah negara yang mereka sebut Emirat Islam Afghanistan yang dipimpin oleh Mullah Omar. Ketika itu Taliban menguasai sebagian wilayah Afghanistan. Negara bentukan Taliban ini menerapkan hukum syariat secara brutal seperti ISIS.
Bedanya dengan ISIS, negara bentukan Taliban ini mendapat pengakuan diplomatik dari beberapa negara seperti Kerajaan Arab Saudi, Pakistan, dan Uni Emirat Arab. Pemerintahan Taliban berkuasa pada tahun 1996 dan berhasil digulingkan oleh koalisi Amerika Serikat pada tahun 2001 atas alasan melindungi Osama bin Laden, petinggi Al-Qaeda. Taliban memang tumbang, tapi Talibanisme tetap ada sampai sekarang.
Kembali pada masalah pencabutan kewarganegaraan. Di Indonesia, wacana ini kembali menguat menyusul tragedi teror bom Sarinah beberapa waktu lalu. Pemerintah akan memasukkan poin pencabutan paspor warga negara Indonesia dalam revisi Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme.
Sebenarnya soal pencabutan status warga negara sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam pasal 23 disebutkan sembilan alasan seorang WNI bisa kehilangan kewarganegaraannya. Namun, di situ konteksnya membelot kepada negara asing, tidak disebutkan alasan karena terkait kegiatan terorisme.
Rupanya UU Terorisme ini nantinya akan mempertajam UU Kewarganegaraan, bahwa pencabutan kewarganegaraan tak sebatas terlibat aktivitas negara asing tapi juga terorisme. Karena, jika menggunakan UU Kewarganegaraan untuk mencabut status warga negara, itu sama halnya mengakui ISIS sebagai negara berdaulat.
Jika hasil revisi UU Terorisme dijadikan dasar hukum mencabut paspor WNI yang bergabung ISIS, permasalahannya adalah bagaimana membuktikan yang bersangkutan benar-benar bergabung ISIS?
Selama ini pemerintah lemah terkait data resmi berapa jumlah WNI yang bergabung ke ISIS. Data intelijen BNPT menyatakan ada sekitar 500 WNI. Berbeda dengan data intelijen Polri seperti disampaikan Kapolri: ada 200-300 WNI.
Dengan data yang lemah ini, apakah pencabutan hak kewarganegaraan hanya dengan dasar data intelijen? Bagaimana dengan data WNI yang dimiliki perwakilan pemerintah RI di Suriah?
Jangankan Kedutaan Besar RI di Suriah, Pemerintah Suriah sendiri tidak memiliki akses itu di beberapa wilayahnya. Sebab, beberapa wilayahnya mayoritas dikuasai pemberontak, karenanya sulit mengkonfirmasi jumlah warga asing yang masuk ke wilayah Suriah. Apalagi mayoritas warga asing yang bergabung dengan pemberontak seperti ISIS masuk ke Suriah dengan cara ilegal.
Tujuan mencabut paspor adalah upaya mencegah gerakan ISIS sekaligus melemahkan ISIS yang selama ini diperkuat warga asing. Namun, seperti sejarah Taliban di Afghanistan, ISIS sebagai “negara” bisa saja tumbang karena tekanan militer dan politik dunia internasional, tapi ISIS-isme tidak akan padam.