Jumat, Maret 29, 2024

Jika Tsamara Jadi Menteri

Ibrahim Ali-Fauzi
Ibrahim Ali-Fauzi
Pelancong yang kadang cuma ngupi-ngerumpi di pojok @geotimes dan Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Kasir di Kepiting++ Management: ngejepit tanpa jeda.

Harian KOMPAS edisi Sumpah Pemuda 2018 pernah menobatkan perempuan ini sebagai tokoh politik anak muda dan menampilkan detail sosoknya di halaman depan. Pada Pemilu 2019 lalu, Tsamara Amany Alatas, begitu nama lengkapnya, maju menjadi calon legislatif dari Partai Solidaritas Indonesia. Hasilnya? Ia menang jika saja total perolehan suaranya (140.557) dikomparasikan dengan calon legislatif lain yang berhasil duduk di Senayan, seperti Masinton Pasaribu yang berhasil meraih 82.891 suara.

Perolehan suara Tsamara bahkan hampir dua kali  lipat dari Masinton. Sayangnya, partainya tak berhasil lolos ke Senayan. Maka, Tsamara Amany pun gagal.

Apa artinya ini bagi kita? Sederhana saja, meski masih belia, bahkan kebetulan berjenis kelamin perempuan, ketokohan Tsamara tak bisa dianggap remeh. Betapa tidak. Dia bisa menyingkirkan dua mitos kegagalan tentang hantu politik sekaligus: sebagai orang muda (untuk tidak mengatakan belia) dan perempuan.

Kita tak usah bercerita banyak lagi bahwa posisi sebagai anak muda, bahkan perempuan, sering dipandang sebelah mata. Maka, jika seseorang dari “hantu politik” ini berhasil meraih suara signifikan, kita tak salah untuk memberikan hipotesis awal: sosok itu memang sangat potensial dan diharapkan banyak orang.

Nah, apakah Tsamara Amany diharapkan banyak orang? Carilah dari Google dan buktikan sendiri. Hampir setiap media menjagokan perempuan yang masih muda ini. Tetapi, saya coba untuk tidak terpengaruh pada media-media itu! Siapa tahu mereka pesanan, bukan? Maka, saya tanyakan di grup medsos anak muda tentang apakah anak muda cocok diberi posisi sebagai menteri. Jawabannya tak usah saya sebut di sini.

Pertanyaan lain kemudian saya ajukan: siapa sosok muda yang bisa dijagokan dan diandalkan sebagai menteri? Ah, sudahlah, saya pun tak perlu menyebutkan nama itu di sini. Tanpa saya sebut, Anda pasti sudah tahu.

Kemudian, untuk nama yang sama, saya ajukan pertanyaan lagi: andai Presiden Joko Widodo memang benar-benar mempercayai anak muda dan bukannya semata jualan politis demi meraih suara anak muda, terutama anak muda yang satu ini, posisi mana yang bisa ia duduki? Banyak jawaban yang muncul dengan berbagai argumentasi masing-masing.

Ya, beberapa argumentasi itu terkesan dipaksakan. Tetapi, saya kemudian tahu, kemauan memberi argumentasi ini menjadi salah satu bentuk dari harapan bahwa sosok ini bisa, kok, jadi menteri.

Kalau bisa, lantas kementerian apa yang kira-kira cocok untuk Tsamara? Tentu saja Kementerian Pemuda dan Olahraga. Untuk ini, kita tak perlu bahas.

Mari kita bahas kementerian lain saja. Sebut, misalnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kementerian ini benar-benar membutuhkan orang berani, tangguh, dan ligat. Bahkan, karena generasi milenial sangat dekat dengan gawai, semestinya kementerian ini juga harus dipegang oleh orang muda. Tak bisa ditampik, goyahnya kuda-kuda bernegara kita sejauh ini adalah karena kurang tanggapnya Kementerian Komunikasi dan Informatika menyaring luberan informasi.

Melubernya informasi tanpa saringan yang ketat itu telah membuat kita terpecah belah. Soalnya, perkelahian acap sengaja dirancang dari dunia maya hingga meledak di dunia nyata. Di sinilah kita melihat bahwa dunia maya seperti mempunyai jalur otomatis ke dunia nyata. Betapa tidak, begitu gaduh di dunia maya, gaduh di dunia nyata juga akan mengikuti pula.

Inilah tantangan yang akan dihadapi menteri yang menangani Kementerian Komunikasi. Dan, seperti kita tahu, jalur dunia maya cenderung lebih dikuasai oleh orang-orang muda. Dalam konteks inilah orang muda cocok untuk ditempatkan di kementerian ini.

Apalagi, saat ini, kunci keamanan bernegara kita terletak di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Bahkan, tak berlebihan jika disebut masa depan bangsa ini ada pada kehebatan sosok di balik kementerian ini. Ideologi bangsa bisa pudar jika kita salah pilih. Karena itu, tokoh di balik kementerian ini harus sosok yang gesit, berani, dan tentu saja muda.

Tsamara termasuk pemberani. Ia berkali-kali berkelebat dengan tokoh politik di dunia maya terkait kesimpangsiuran berita. Meski dengan cara yang masih sederhana, paling tidak ia sudah berani melawan kesimpangsiuran itu.

Di atas itu semua, perlu keberanian dan kelihaian ekstra pula untuk menangani kementerian ini. Pertimbangannya, isu populisme kini sedang naik daun. Amerika saja sudah berada di bawah cengkeraman isu populisme eksklusivitas yang dilantangkan sosok tua, seperti Donald Trump.

Eropa juga sedang terasuki virus yang sama. Inggris, misalnya, kini sedang mengalami dilema karena ketakutan orang tua. Prancis juga sempat berkelebat dengan isu populisme ini. Untunglah Emmanuel Macron, sosok yang masih muda, bisa mengalahkan Le Pen, katakanlah sebagai sosok tua.

Sekali lagi, tugas Kementerian Komunikasi dan Informatika tak gampang. Semakin tak mudah karena kini sedang disamaratakan bahwa membatasi akses media (sosial) sama dengan membatasi kebebasan pers. Dalam hal ini, tugas di Kementerian Komunikasi tak bisa sesederhana membatasi akses media (sosial), seperti dilakukan pada detik-detik kerusuhan pasca pengumuman hasil pemilu oleh KPU.

Bagaimanapun, Kementerian Komunikasi harus membebaskan informasi beredar, apalagi kini “pusat pasar” sudah berada di gawai, tentu dengan satu syarat mutlak yang tak bisa diabaikan: tidak sampai memecah belah bangsa.

Sosok Tua Sudah Malas

Apa lagi yang cocok untuk sosok muda seperti Tsamara? Ya, itu dia: Kementerian Pariwisata. Selama ini kita cenderung mengeksploitasi alam daripada memberdayakannya. Akibatnya, hutan yang mestinya seksi jadi gundul, gunung yang awalnya kokoh jadi longsor, pantai yang sebelumnya eksotis jadi tumpukan sampah plastik, dan sebagainya.

Dengan kata lain, kita lebih doyan “menghabiskan” alam ketimbang merawatnyaalih-alih bicara perubahan iklim dan nasib Bumi. Padahal, jika mau optimal, tanpa “menghabiskan” alam pun kita bisa mendapat banyak rupiah. Sebagai perbandingan tentang betapa pariwisata begitu potensial, mari kita lihat pengalaman bangsa lain.

Awal 2016 lalu, misalnya, Boston Globe mencatat bahwa pada lima tahun terakhir, sejumlah biro perjalanan wisata di AS mencatat pertumbuhan sangat pesat, menembus angka 164%, atau jika dirata-ratakan lebih dari 30% per tahunnya. Potensi ini harus benar-benar dimaksimalkan. Butuh orang kreatif, semangat muda, berani, dan visioner untuk kementerian ini. Apalagi saat ini kita sedang menggalakkan ekonomi kreatif. Kita tak menafikan kemauan orang tua. Hanya saja, soal kreativitas, sosok tua sepertinya sudah malas. Jadi, mending ke laut aja!

Kementerian apa lagi? Benar: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Untuk ini, kita tak usah banyak bercerita.

Baiklah kita berbicara saja tentang satu kementerian yang jangan diberikan kepada Tsamara Amany, juga sosok muda lainnya. Apa itu? Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saya meragukan Tsamara. Saya tak sedang mengatakan bahwa saya jauh lebih cerdas dari Tsamara soal mengolah pendidikan dan kebudayaan. Hanya saja, kementerian ini harus benar-benar diampu oleh orang yang sudah malang melintang dalam hal pendidikan.

Tsamara Amany dan Nadirsyah Hosen [foto: kepiting++]

Tsamara emangnya bisa apa di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tak bisa apa-apa, bukan? He he he. Oh, iya, untuk Kementerian Agama, Tsamara juga sangat tidak bisa, lho! Ha ha ha.

Untuk Kementerian Agama, lebih baik dipangku oleh calon yang kompeten. Contohnya Nadirsyah Hosen. Dia salah satu tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU), ahli fikih klasik dan kontemporer, juga profesor hukum yang kini mengajar di Monash Law School, Monash University, Australia, salah satu sekolah hukum terbaik di dunia.

Seperti Tsamara Amany yang jelas-jelas milenial, Nadirsyah Hosen juga terang-terangan mengklaim dirinya tak kalah milenial: dia sangat aktif di media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, dan lainnya). Lewat akunnya, dia kerap menulis, mengomentari, atau mencuitkan isu-isu mutakhir yang terjadi di Tanah Air, misalnya seputar khilafah, Hizbut Tahrir Indonesia, bendera tauhid, dan politik identitas. Isu-isu mutakhir semacam ini sekarang menjadi perhatian khusus Kementerian Agama di bawah Menteri Lukman Hakim Saifuddin. 

Dalam konteks terakhir, mungkin, sokongan pikiran, kehadiran, dan tindakan nyata Nadirsyah terlalu mubazir kalau tidak dimanfaatkan untuk negara (baca: Kementerian Agama)daripada selamanya dia mengajar di Australia (Kayak Bang Toyib aja yang enggak pulang-pulang!).

Lah, saya, kok, jadi ngelantur ke tokoh lain, bukan sosok Dik Tsamara? Oke, abaikan saja.

Terakhir, untuk Presiden Jokowi: jangan ragu dan plin-plan memilih beberapa tokoh muda untuk menjadi menteri. Jangan mau ketinggalan dari negara-negara lain, seperti Malaysia! Itu saja.

Konten terkait

Ketika Tsamara Menertawai Hary Tanoe Mencapreskan Jokowi

Fahri, Bau Kencur Tsamara, dan Dialektika Politik Indonesia

Politik Kita di Tengah “Tsamaraisasi Milenial”

Setelah Tsamara Membedah Fahri Hamzah

PSI dan Kejutan Suara Milenial Jokowi

Ibrahim Ali-Fauzi
Ibrahim Ali-Fauzi
Pelancong yang kadang cuma ngupi-ngerumpi di pojok @geotimes dan Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Kasir di Kepiting++ Management: ngejepit tanpa jeda.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.