Film The Message, disutradarai oleh Moustapha Akkad, tayang pertama kali pada 1976. Dalam film epik sejarah perjalanan Nabi Muhammad ini digambarkan kala pertama kali azan dikumandangkan di dunia oleh Bilal bin Rabbah, pada masa awal setelah Nabi Muhammad dan para pengikutnya hijrah dari Makkah ke Madinah.
Bilal, sang budak negro yang dibebaskan oleh Abu Bakar sejak di Mekkah itu, tampak berdiri bertelanjang dada melantunkan azan pada suatu hari di bawah langit terbuka yang terang. Terlihat dalam film itu kaum muslim di Madinah terkesima dalam diam kala suara azan diserukan di kota itu. Azan diserukan oleh Bilal kepada kaum muslim di Madinah sebagai tanda tiba waktu salat dan panggilan salat.
Sesudah Bilal melantunkan azan, dalam film itu, tak terlihat adegan atau suara lantunan pujian sebagaimana lazim terdengar di negeri ini sebelum ikamah dikumandangkan. Relevankah membincangkan keberadaan pengeras suara azan pada masa Bilal melantunkan azan di Madinah? Madinah pada abad ke-7 bukanlah Tanjungbalai pada abad ke-21.
Meiliana dari Tanjungbalai dipenjara bukan oleh suara azan. Meiliana pun tak dipenjarakan oleh pengeras suara masjid di Tanjungbalai. Meiliana dipenjarakan setelah diduga menista agama karena memprotes volume lantunan azan yang keras. Setelah ada protes itu, sebagian masyarakat Tanjungbalai gaduh. Pengadilan yang memutuskan Meilina bersalah atau tidak bersalah berdasarkan hukum yang berlaku. Pengadilan adalah perpanjangan tangan negara.
Pemenjaraan Meiliana adalah kontroversi. Namun hukum bukan satu-satunya cara “mengadili” kasus Meiliana.
Berhakkah Meiliana merasa terganggu oleh dan memprotes volume keras suara azan? Meiliana jujur berkata. Apakan kejujuran yang membuat Meiliana masuk penjara? Patutkah kejujuran diumbar kepada semua orang, kepada semua keadaan?
Alkisah, seorang pendeta berterima kasih kepada pelantun azan yang bersuara buruk. Terima kasih yang tulus dan mendalam sang pendeta haturkan kepadanya. Bukan memprotes atau mengeluhkannya. Seseorang bertanya kenapa sang pendeta berterima kasih kepada pelantun azan yang buruk suaranya itu? Sang pendeta memiliki seorang putri jelita yang jatuh cinta kepada seorang pemuda muslim. Suatu ketika sang pendeta mengajak putrinya mendengarkan lantunan azan yang buruk suaranya. Sang putri bertanya, “Itu suara apa? Betapa buruknya!” Sang pendeta menjawab bahwa itu suara panggilan sembahyang dalam tradisi agama kekasih putrinya. Sejak itu putri sang pendeta meninggalkan kekasihnya itu.
Andaikan Meiliana bersikap serupa pendeta dalam kisah itu tatkala mendengarkan suara azan yang keras dari masjid dekat rumahnya, untuk apa dan untuk siapa dia melakukan yang seperti pendeta itu lakukan? Demi kesabarannya? Kesabaran ini tak bijaksana diharapkan dari orang yang sedang merasa pekak telinganya.
Jika saya Meiliana, apakah saya akan berterima kasih karena dipenjarakan setelah mengeluhkan suara azan yang memekakkan telinga? Tidak. Saya tak akan mungkin berterima kasih. Apakah saya akan meminjam telinga Tuhan? Ini lebih tak mungkin lagi dilakukan.
Apakah pemenjaraan Meiliana akan meredakan suara azan yang keras menjadi lebih lirih? Protes khalayak luas atas pemenjaraan Meiliana lebih keras suaranya dan lebih panjang durasinya ketimbang suara azan di Tanjungbalai yang telah dikeluhkan oleh Meiliana. Barangkali gaduh ini terjadi karena anak-anak khalayak luas yang protes itu bukan kekasih pelantun azan yang keras volumenya.
Jika saya Meiliana hanya satu harapan saya: Keadilan—bukan kebisingan khalayak luas.