Seabad yang lalu, dunia menyambut kehadiran plastik sebagai material revolusioner yang dijuluki “bahan ajaib.” Sifatnya yang serbaguna dan sangat tahan lama membuatnya menjadi solusi yang diimpikan banyak orang. Namun, keajaiban itu kini telah berubah menjadi mimpi buruk yang tak terhindarkan. Plastik, yang dulu disanjung, kini merasuk ke setiap sudut planet kita, dari puncak tertinggi Gunung Everest hingga kedalaman Palung Mariana.
Namun, jangkauan plastik tidak berhenti di situ. Tanpa kita sadari, partikel-partikelnya telah menembus kehidupan kita sehari-hari, mencemari makanan yang kita konsumsi dan udara yang kita hirup. Bahkan, plastik telah ditemukan di setiap benua, termasuk di dalam organ penguin yang hidup di Antartika. Lebih mengejutkan lagi, jejaknya juga terdeteksi di dalam tubuh manusia: dalam aliran darah, otak, ASI, hingga sumsum tulang. Ini bukan lagi sekadar masalah lingkungan; ini adalah krisis kesehatan global yang berkembang pesat dan sering kali diabaikan.
Sebuah ulasan ahli terbaru telah mengungkap fakta mengerikan: krisis plastik sedang merugikan kesehatan kita secara fundamental. Dampaknya meluas, menyebabkan masalah kesehatan serius dari masa bayi hingga usia lanjut, termasuk cacat lahir, serangan jantung, dan risiko kanker. Konsekuensi dari krisis ini sangatlah besar, diperkirakan kerugiannya mencapai $1,5 triliun setiap tahunnya. Maka tidak heran jika krisis ini terjadi. Bumi kita sekarang menjadi rumah bagi 8 miliar ton plastik, dan jumlahnya terus bertambah secara eksponensial.
Ada dua alasan utama mengapa situasi ini menjadi sangat parah. Pertama, produksi plastik yang membludak. Pertama, laju produksi plastik telah meningkat secara dramatis. Sejak tahun 1950, produksinya telah melonjak lebih dari 200 kali lipat. Proyeksinya lebih mencemaskan: pada tahun 2060, angka ini diperkirakan akan hampir tiga kali lipat, di mana lebih dari satu miliar ton plastik akan diproduksi setiap tahunnya. Kenaikan drastis ini sebagian besar didorong oleh obsesi kita terhadap plastik sekali pakai, seperti botol minuman, kemasan keripik, dan wadah makanan cepat saji yang kita gunakan sehari-hari.
Masalah kedua, yang tak kalah serius, adalah ketidakseimbangan antara produksi dan pembuangan. Sementara kita terus membanjiri dunia dengan plastik baru, sistem kita gagal untuk menghilangkannya. Bayangkan, kurang dari 10% dari seluruh plastik yang diproduksi didaur ulang. Sisanya berakhir di tempat pembuangan sampah, berserakan di jalanan, atau mencemari sungai-sungai kita. Seiring waktu, plastik ini tidak hilang; ia hancur menjadi mikroplastik, potongan-potongan kecil yang tak terlihat. Partikel-partikel berbahaya ini kemudian masuk ke dalam tubuh kita melalui makanan, air, dan udara, memperburuk masalah kesehatan yang sudah ada.
Membuang sampah plastik hanyalah puncak gunung es dari masalah yang sebenarnya. Akar masalahnya jauh lebih dalam, dimulai dari proses produksinya itu sendiri. Lebih dari 98% plastik dibuat dari bahan bakar fosil—minyak, gas, dan batu bara—dan dicampur dengan ribuan bahan kimia beracun. Proses ini tidak hanya meningkatkan polusi yang mencemari bumi, tetapi juga secara langsung meracuni tubuh kita.
Lalu, apa solusinya? Beralih ke sedotan kertas atau kantong belanja kain memang baik, tetapi tindakan individu seperti itu tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah yang begitu besar. Ini bukan lagi sekadar masalah kebiasaan pribadi, melainkan masalah kebijakan global yang memerlukan solusi sistemik. Kita membutuhkan regulasi yang lebih baik, aturan yang lebih ketat, dan penegakan hukum yang serius untuk benar-benar mengurangi polusi plastik.
Ada secercah harapan. Saat ini, dunia sedang berada di ambang keputusan bersejarah: perundingan Perjanjian Plastik Global. Perundingan yang dimulai sejak tahun 2022 ini akan memasuki putaran keenam dan kemungkinan terakhirnya di Jenewa bulan depan. Lebih dari seratus negara dan seribu ilmuwan akan berkumpul dengan satu tujuan: menciptakan perjanjian yang mengikat secara hukum untuk membatasi produksi plastik, serta mengatur desain, konsumsi, dan pembuangannya secara menyeluruh.
Namun, jalan menuju kesepakatan ini tidak mudah. Sejak awal, perundingan ini telah dibanjiri oleh pelobi industri yang kaya dan berkuasa. Mereka bersikeras bahwa para ahli salah. Menurut mereka, kita tidak perlu membatasi produksi; yang perlu kita lakukan hanyalah meningkatkan daur ulang. Narasi ini sangat berbahaya karena mengalihkan fokus dari akar masalah, yaitu produksi yang tidak terkendali.
Tentu, meningkatkan daur ulang adalah hal yang penting, tetapi itu saja tidak cukup. Mengurangi produksi adalah langkah yang sama vitalnya. Plastik tidak sama dengan bahan lain seperti kertas atau baja. Proses pembuatannya melibatkan hingga 16.000 jenis bahan kimia beracun, yang membuat proses daur ulangnya sangat sulit dan tidak efisien. Oleh karena itu, kita tidak bisa hanya fokus pada pembuangan. Kita harus melihat seluruh siklus hidup plastik, mulai dari produksi, konsumsi, hingga pembuangannya. Pada titik ini, dunia hanya bisa berharap perundingan ini berhasil. Kita membutuhkan solusi yang nyata untuk mengatasi krisis yang disebabkan oleh “bahan ajaib” ini—dan kini, sepertinya kita membutuhkan keajaiban untuk melawannya.