Senin, Desember 9, 2024

Jangan Egois Menolak RUU Permusikan

Anang Hermansyah
Anang Hermansyah
Anggota Komisi X DPR RI.
- Advertisement -

Penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan oleh lebih kurang 260 teman-teman musisi lewat penandatanganan petisi online adalah bentuk aspirasi. Aku enggak ada masalah dengan itu, karena aku sadar undang-undang enggak pernah bisa menyenangkan semua orang. Tapi, jujur, aku sedih melihat sikap mereka yang berkoar-koar ingin menolak, menolak, menolak dan meminta RUU itu dibatalkan seluruhnya.

Bahwa dari 54 pasal yang tertuang dalam RUU Permusikan enggak seluruhnya baik untuk dunia musik, itu betul. Pasal 5 yang berisi poin-poin pengaturan konten musik, seperti poin (f) yang melarang membawa pengaruh negatif budaya asing, aku juga berpandangan itu absurd. Aku setuju itu harus didrop, dihapus.

Atau, katakanlah ada 10 pasal lain yang menurut teman-teman musisi absurd dan bisa memberi efek buruk bagi dunia musik harus dihapus, aku pun setuju. Tapi itu bukan berarti kita juga menafikan 44 pasal lain yang baik. Aku enggak setuju dengan konstruksi pikiran semacam itu.

Aku ingin katakan, RUU Permusikan ini masih bersifat draf. Pembahasan saat ini pun masih pada tahap Rapat Dengar Pendapat (RDP). Tahap mendengarkan pendapat semua pihak, termasuk teman-teman yang menolaknya. Baru setelah semua pihak—DPR dan semua seniman musik—bersepakat, RUU Permusikan akan dibahas lebih serius. DPR menentukan nomenklatur pembahasannya.

Seandainya disepakati pembahasan di Komisi X, akan dilihat slot pembahasan masih tersedia atau enggak. Kalau enggak tersedia, pembahasan UU bisa disepakati dengan membentuk Panitia Kerja (Panja) atau Panitia Khusus (Pansus).

Karena RUU Permusikan adalah usul dari DPR, maka pemerintah akan memberikan Daftar Inventarisir Masalah (DIM). Kalau enggak ada DIM, RUU ini berlanjut dari tingkat Panja atau Pansus ke tim perumus dan tim sinkronisasi. Setelah itu baru disahkan di Paripurna DPR untuk kemudian ditandatangani Presiden. Kalau Presiden enggak menandatangani, sesuai UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, RUU ini secara otomatis sah setelah 30 hari kerja.

Artinya, prosesnya masih panjang. Masih bisa diubah dan masukan teman-teman sekalian masih bisa diakomodir. Bukan seperti anggapan teman-teman bahwa RUU ini besok langsung disetujui parlemen dan pemerintah lalu disahkan. Mohon maaf, pandangan seperti itu terlalu lebay.

Itu soal bagaimana alur pembahasan RUU Permusikan dan RUU lain di DPR.

Baik, kalau kemarin aku cenderung diam dan menghindari perdebatan yang enggak perlu, sekarang aku ingin bercerita sedikit tentang proses penyusunan draf dan naskah akademik yang saat ini teman-teman permasalahkan. Sekaligus aku akan menjelaskan pandanganku tentang beberapa pasal yang menjadi polemik selain Pasal 5.

Draf RUU Permusikan Enggak Disusun Sepihak

- Advertisement -

Perlu teman-teman ketahui, penyusudan draf RUU Permusikan enggak dilakukan secara sepihak oleh DPR seperti yang dituduhkan. Melainkan melibatkan seniman-seniman musik lainnya. Salah satunya Glenn Fredly. Aku sudah bicara dengan Glenn sejak 2015, lalu 2017, berlanjut ke 2018, sampai sekarang draf ini sudah tersusun. Aku katakan, Glenn ikut berproses.

Draf RUU Permusikan juga disusun berdasarkan aspirasi ratusan musisi dan pekerja musik dari berbagai daerah yang hadir dalam Konferensi Musik Indonesia (KMI) Pertama pada Maret 2018, di Ambon. Saat itu, Glenn yang terpilih sebagai ketua KAMI dan seluruh peserta merumuskan 12 rekomendasi kepada DPR dan presiden untuk memajukan seni dan industri musik serta menyejahterakan musisi Indonesia.

Misalnya rekomendasi nomor 11 agar pemerintah meningkatkan kapasitas dan profesional para pemangku kepentingan di bidang musik. Itu dituangkan dalam Bab III tentang Pengembangan Pelaku Musik yang mencakup pasal 32-35 tentang uji kompetensi.

Kenapa rekomendasi itu perlu diterapkan dalam undang-undang? Karena undang-undang mengikat seluruh pejabat pemerintahan dari pusat sampai daerah untuk melaksanakannya. Undang-undang juga lebih tinggi dari peraturan pemerintah dan untuk menghapusnya enggak semudah peraturan lain. Lagi pula, peraturan pemerintah rentan enggak dilaksanakan ketika pemerintahannya berganti. Apa kita mau seperti itu? Enggak, dong.

Selain itu, saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus membahas musik. Tentang bagaimana hak-hak musisi dan pelaku musik nonmusisi; kru, penata sound, dan lainnya, bagaimana kesejahteraan mereka, perlindungan hak cipta, peningkatan kompetensi, sampai pembangunan infrastruktur untuk pertunjukan musik yang masih sangat minim di negeri ini.

Memang ada tiga landasan yuridis yang menyinggung musik, yakni UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta, UU Nomor 13 tahun 2018 tentang Serah Simpan dan Karya Cetak dan Karya Rekam, dan UU Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Tapi apakah itu bisa mewakili urusan permusikan yang begitu kompleks? Ya belum bisa. Karena itu enggak teknis bicara permusikan. Makanya UU Permusikan ini dibutuhkan agar bisa membahas soal permusikan secara lebih detail.

Dari Hak Cipta Sampai Kesejahteraan Musisi    

Seperti aku katakan di awal, enggak seluruh pasal RUU Permusikan layak ditolak. Enggak juga dimaksudkan RUU ini untuk menguntungkan indsutri besar saja dan menciptakan eksklusivitas di dunia musik. Sebaliknya, seperti pula aku singgung sedikit di atas, RUU ini semata untuk mendorong pemerintah memenuhi hak musisi dan semua insan yang bekerja di bidang permusikan.

Kalau kita melihat ke negara-negara maju, saat ini peraturan dan mekanisme melindungi hak cipta sudah sangat maju. Mereka sudah bisa mengatur dan membuat sistem bagaimana karya musik secara cepat bisa didistribusikan ke publik dengan tetap melindungi royalti pemilik karya. Setiap lagu yang dikover di YouTube, dinyanyikan di tempat-tempat karaoke, secara langsung royaltinya masuk ke pemilik karya.

Sementara UU Hak Cipta enggak mengatur secara khusus untuk musik. Aku katakan, yang terjadi royalti enggak dilindungi dan pembajakan terus terjadi. Keuntungan bukan kembali ke pemilik karya, tapi dinikmati orang-orang yang kover di YouTube dan pemilik tempat-tempat karaoke. Lantas apa kita mau biarkan pemusik yang karyanya besar tak bisa menikmati royalti di masa tuanya? Aku sih miris.

Makanya di RUU ini diatur pasal-pasal perlindungan hak cipta yang tertuang dalam Bab IV tentang perlindungan dan Bab V tentang Sistem Pendataan dan Pengarsipan.

Selama ini, pemusik dan orang-orang yang berprofesi di dunia musik juga enggak punya standar minimum honorarium. Aku tanya begini, apakah seniman butuh standar minimum honorarium? Kalau ada musisi atau pekerja musik yang bilang enggak butuh, apa rela dibayar 200 ribu sekali panggung?

Fakta dibayar 200 ribu itu ada. Para pemusik di daerah itu main berjam-jam cuma di bayar sebegitu. Padahal mereka sangat jago bermain musik, terutama untuk musik tradisional. Musisi kleningan di Bali itu jago semua, tapi bayarannya sangat minim karena enggak ada standar minimal honorarium. Itu yang kami perjuangkan. Pasal 37 RUU ini mengharuskan pemerintah menetapkan standar honorarium bagi pelaku musik.

Ini belum lagi bicara soal fasilitas yang minim kepada musisi dan para pelaku di dunia musik lainnya. Seperti di Bali itu musisi dibawa pakai truk untuk manggung. Apa enggak miris? Lho, itu yang dijamin RUU ini. Meskipun enggak mendapat fasilitas mewah, tapi seenggaknya enggak harus dibawa pakai truk.

Ada hak, tentunya ada kewajiban. Sekarang sudah ada Standar Kerja Kompetensi Nasional (SKKNI) untuk musik sebagai syarat pengakuan dan apresiasi yang layak kepada musisi dan pelaku profesi dunia musik. Bukan cuma di Indonesia peraturan itu, tapi di banyak negara dunia lain juga sama.

Tapi sekarang masih sedikit musisi yang memiliki sertifikasi. Akhirnya, ketika mereka ingin tampil ke luar negeri ditolak meskipun kemampuannya sangat jago. Boleh ditanya ke Bekraf bagaimana Bimbo ditolak di tampil di Belanda karena enggak punya sertifikasi.

Kami enggak mau itu terjadi ke musisi dan pelaku musik lainnya, khususnya yang bersifat technical seperti session player, pemain orkestra, penata musik, penata suara, dan lain-lain. Karena itu kami mendorong pemerintah memberikan fasilitas tempat pendidikan dan uji kompetensi.

Jadi, enggak benar kalau uji kompetensi itu untuk membatasi seseorang bermusik dan membunuh musisi indie. Ini untuk membukakan akses dan agar musisi dan pelaku musik bisa lebih dihargai.

Kalau mereka sudah punya sertifikat, otomatis honorarium mereka pun akan naik. 1 juta dalam 1 jam misalnya. Kalau mereka main 5 jam sehari, berarti 5 juta. Sebulan bisa 150 juta. Sekarang buat mendapat penghasilan sebesar itu butuh waktu bertahun-tahun. Makanya Pasal 52 RUU Permusikan menyatakan musisi yang karyanya sudah dikenal publik enggak perlu uji kompetensi lagi. Seperti Iwan Fals itu enggak perlu lagi.

Kalau seseorang ingin bermusik sekadar untuk mengekspresikan perasaannya, kreativitasnya, ya bebas saja. Kalau dia menuju profesi ya butuh standar minimum.

Aku berharap, setelah membaca penjelasanku ini teman-teman bisa lebih membuka pikirannya tentang urgensi RUU Permusikan; mau duduk bersama dan memberi masukan agar menemui titik terang.

Aku berharap mereka yang keras menolak enggak egois. Karena kita harus melakukan otokritik sendiri. Eh, industri ini bermasalah enggak ya? Masih ada seniman yang miskin, enggak? Ada seniman yang karyanya sudah besar sekali tapi enggak dapat royalti, itu bagaimana? Kok bisa seniman-seniman tradisional enggak punya duit? Mereka (seniman tradisional) itu yang dibilang sosiokultur, bukan sosio-ekonomi kalau kita bicara landasan sosiologi. Kan kasihan.

Tapi ada enggak yang memikirkan? Lagi-lagi, ayolah jangan egois dong. Kita ini punya banyak masalah, Bro.

RUU Permusikan enggak akan disahkan sebelum semua seniman dan pelaku profesi musik sepakat. Kami di DPR butuh masukan-masukan agar undang-undang yang terwujud benar-benar baik dan telah menyiapkan tempat khsusus untuk mendengarnya.

Anang Hermansyah
Anang Hermansyah
Anggota Komisi X DPR RI.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.