Rabu, April 24, 2024

Pendukung Jokowi atau Bukan, di Jalan Tol Kita Semua Konsumen

Dandhy Dwi Laksono
Dandhy Dwi Laksono
Jurnalis, penulis, dan Pendiri Watchdoc, perusahaan film dokumenter. Pada 2015, selama 365 hari, bersama "Ucok" Suparta Arz, Dandhy bersepeda motor mengelilingi Indonesia di bawah bendera Ekspedisi Indonesia Biru.

Transportasi adalah contoh sempurna bagaimana uang pajak menjadi amunisi yang semakin merugikan warga negara pembayarnya, karena sebenarnya hanya dianggap konsumen.

Mula-mula kita membayar pajak untuk membangun jalan. Karena sudah ada jalan, jumlah kendaraan meningkat. Hasilnya, negara mendapat lebih banyak pemasukan dari pajak kendaraan.

Uang yang masuk mestinya diinvestasikan lagi untuk membangun sistem dan infrastruktur transportasi umum massal, agar ketika setiap orang sanggup membeli kendaraan, hal ini tidak menjadi malapetaka.

Tapi jalannya sejarah tidak demikian. Karena tak ada transportasi umum massal, orang mencari solusinya sendiri dengan membeli kendaraan. Kendaraan baru, berarti sumber pajak baru. Demikian seterusnya hingga jalan umum benar-benar tak lagi sanggup menampung beban lalu lintas.

Lalu apa solusinya? Jalan tol dibangun. Jalan yang tidak gratis.

Semua orang yang melintasi jalan tol adalah konsumen. Bukan warga negara. Ketika jalan tol macet, baik produsen maupun konsumennya sama-sama tak punya pilihan. Gerbang tol tetap dibuka dan operatornya cukup mencantumkan: “Arah Cawang, kecepatan 10-20 km. Hati-hati dalam berkendara”.

Itulah disklaimer bahwa membayar bukan jaminan mendapat apa yang Anda mau. Alias “syarat dan ketentuan berlaku”.

Belakangan kita dengar jalan tol Trans Jawa akan digratiskan di saat mudik jika terjadi kemacetan. Tapi di Jakarta, sepanjang periode pembangunan infrastruktur yang merampas ruas-ruas jalan umum, tak ada jalan tol yang digratiskan atau setidaknya didiskon. Pengguna jalan umum dipaksa menelan dampak kegiatan konstruksi yang menyempitkan jalan, dan menimbulkan kemacetan di mana-mana, karena proyek-proyek infrastruktur mengejar tahun politik 2019.

Selama periode konstruksi itu, kalau tak ingin macet, silakan masuk tol dan membayar. Sama sekali tak ada kebijakan selama proses konstruksi yang mengganggu jalan umum—akses tol digratiskan atau diskon 50 persen, misalnya.

Dengan keuntungan sebagai penyedia jalan berbayar, maka investasi selanjutnya jelas untuk membangun jalan berbayar yang lain. Bukan untuk membangun jalanan umum. Meski pendapatan perusahaan infrastruktur itu diperoleh dari mobil-mobil yang sudah membayar pajak.

Ketika jalan tol yang tarifnya terus naik tetap kewalahan mengatasi kemacetan, negara memikirkan solusi lain yang tak kalah merampoknya: Electronic Road Pricing (ERP).

Jalanan umum yang dibangun dari pajak kendaraan kita, sekarang hendak diberi portal dan yang lewat harus membayar.

Jadi, jika disimulasikan, seorang karyawan yang berkantor di rute-rute jalan ERP setiap hari harus membelanjakan setidaknya 50 ribu rupiah untuk melewati tol dalam kota dan ERP. Jika dalam satu bulan ada 20 hari kerja, berarti dalam satu tahun ia diperas oleh negara hingga 12 juta rupiah.

Tak peduli apa pun merk dan jenis mobil Anda, pengeluaran sebesar ini dua kali lipat nilai pajak Toyota Alphard. Kalau Anda kebetulan pemilik Alphard, berarti Anda membayar Rp. 18 juta rupiah per tahun hanya untuk urusan kendaraan. Belum termasuk bensin dan parkir.

Bagi yang benar-benar memiliki Alphard, tentu saja ini bukan soal besar. Tapi jika mobil Anda jenis LCC seperti Agya, apakah ini terdengar masuk akal?

Bagi pemilik Alphard, dalam 18 juta uang yang dikeluarkan untuk urusan kendaraan setiap tahun, hanya 33 persen yang terkait kewajiban sebagai warga negara. 66 persennya karena dipaksa menjadi konsumen jalan tol dan ERP.

Komposisi persentase akan lebih terlihat merampok lagi jika kendaraan Anda bukan Alphard. Maka benarlah jika yang lebih miskin selalu membayar lebih mahal.

Itu baru urusan transportasi yang memang paling mencolok dan mudah diindera. Dalam hal pangan, air bersih, energi, tanah, hingga keamanan, hubungan kita dengan negara yang berpikir kapitalistik ini akan lebih terlihat sebagai konsumen dan produsen.

Kita baru merasa menjadi warga negara di jalan tol ketika mobil-mobil pejabat yang dikawal, dan para jenderal, minta didahulukan. Padahal di jalan tol, semua adalah konsumen.

Lalu para warga negara yang malang ini, berebut remah-remah akses jalan dengan saling sikut dan tancap gas berusaha mengekor konvoi pejabat atau jenderal yang—mobil, sopir, dan pengawalnya—kita ongkosi dengan pajak itu.

Lalu kini kita menyaksikan sekelompok orang dengan heroik dan penuh suka cita membentangkan spanduk yang merayakan statusnya sebagai konsumen, bukan sebagai warga negara.

Dandhy Dwi Laksono
Dandhy Dwi Laksono
Jurnalis, penulis, dan Pendiri Watchdoc, perusahaan film dokumenter. Pada 2015, selama 365 hari, bersama "Ucok" Suparta Arz, Dandhy bersepeda motor mengelilingi Indonesia di bawah bendera Ekspedisi Indonesia Biru.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.