Dua petani menebar pupuk di areal sawah desa Pabean Udik, Indramayu, Jawa Barat, Rabu (17/2). ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
Dalam suatu hal, umat manusia berharap ada sebuah masa di mana masa depan akan dibangun oleh teknologi mahacanggih, dengan mesin-mesin terbaik, kendaraan-kendaraan, dan benda-benda futuristik—seperti halnya pada film-film fiksi sains. Masa depan biologis spesies manusia, masa di mana semua orang-orang akan patuh dan mengikuti sebuah sistem yang berlaku, karena sistem tersebut adalah sistem yang dianggap paling tepat.
Sistem yang baik adalah sistem yang dirancang agar orang-orang mengikuti segala instruksi otoritas dan di mana sistem tersebut tidak pernah cacat, sehingga tak lagi ada pertanyaan kenapa. Masa di mana tidak ada nilai atau kebudayaan, yang ada hanya sains dan teknologinya. Kita menyebutnya modernitas. Seperti ketika petani-petani lokal yang diharuskan menjual lahan mereka untuk kepentingan negara, yaitu pembangunan pabrik. Kita menyebutnya “modernitas”.
Namun, di masa itu pula akan tetap berlaku the have and the have-nots. Jikapun “si miskin” dianggap tak ada karena sebuah sistem yang menjamin kesejahteraan dan kemakmuran warganya, kemungkinan besar mereka “bersembunyi”. Disembunyikan oleh sistem. Bahwa sistem tidak akan pernah salah, jika ada orang yang mati kelaparan, tidak ada yang dapat disalahkan.
Kita tidak memiliki siapa pun untuk disalahkan jika memang kita tidak menyadari bahwa hal tersebut merupakan kejahatan struktural. Kejahatan anonim, di mana kita tidak pernah tahu siapa pelaku dan siapa saja korbannya. Karena yang sekarat, yang menderita penyakit katastropik, yang terjangkit HIV/AIDS, atau yang mati kelaparan akan selalu dianggap sebagai zombie, mayat-mayat hidup, yang virusnya akan selalu kita hindari karena gigitan mereka mematikan.
Karena kita akan terus meningkatkan produktivitas kerja untuk membayar harga pangan yang naik atau memperjuangkan upah minimum regional (UMR) di meja demokrasi daripada harus repot-repot melihat bagaimana struktur dan nilai-nilai sosial, politik, dan ekonomi ini berjalan.
Di Atas Piringmu
Menikmati makanan tidak hanya dalam sajian makanan di atas piring saja agar kita dapat memakan sebagaimana selayaknya. Seperti kita mengartikan food sebagai pangan yang kita olah untuk dimakan. Kita mengenal cuisine, gaya atau metode memasak dengan karakteristik tertentu. Dan kita mengenal dish, penyajian makanan.
Pada zaman Pleistosen awal, di mana Homo hobilis memasak makanan mereka dengan menaruh makanan mereka di bawah sinar matahari. Pada zaman Homo Erectus mengembangkan dan mengolah makanan mereka dengan api, hingga saat ini ketika kita terus mengeksplorasi dalam mengolah makanan. Karena memasak adalah sesuatu yang seksi. Seperti mamak dengan pengulekan cabai dan terasi, Aa’ Burjo dengan kol gorengnya, atau chef bertubuh maskulin bak Jrx SID dengan main course-nya.
Orang-orang berusaha mendapatkan makanan yang memenuhi hasrat mereka, sensasi yang menikmatkan ada indera pengecap. The satisfaction of appetite, nafsu makan, hasrat untuk lebih dari sekadar mencicipi dan merujuk rasa kelaparan. Dan hasrat mengolah tersebut membuat kita mencari cara bagaimana mengolahnya dengan cepat dan ekonomis, di mana tidak hanya pengisi perut ataupun sekadar pemenuhan gizi antropometri.
Globalisasi dan Permasalahan Pangan
Produksi pangan setelah Perang Dunia I, sebelum Perang Dunia II cukup untuk memenuhi kebutuhan orang-orang, khususnya daerah-daerah dengan kondisi geografis yang baik. Pada akhir 1960-an, pertumbuhan penduduk dan kebutuhan pangan tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Persediaan pangan sukar diperoleh dengan pertambahan jumlah penduduk.
Tanggapan atas permasalahan itu adalah pengembangan teknologi budidaya pertanian, yang dikenal dengan “Revolusi Hijau”. Di mana pengembangan tradisional menjadi modern, lebih maju. Seperti penggunaan varietas bibit unggul, penggunaan pupuk kimia secara intensif, pemakaian pestisida hingga irigasi. Produksi padi dan gandum di negara-negara berkembang meningkat 75% antara tahun 1965 dan 1980, dengan hanya meningkat 20% di daerah yang ditanami tanaman ini.
Negara-negara berkembang seperti India, Filipina, dan Indonesia menjadi pengekspor produksi pangan yang tinggi dalam rentang waktu cukup cepat dengan Revolusi Hijau. Revolusi Hijau adalah produksi pertanian dalam jumlah sangat besar, sebuah harapan bagi orang-orang yang kelaparan dengan rekayasa genetik bahwa akan menumbuhkan pangan untuk makanan mereka, menyelamatkan mereka dari kelaparan dan bencana, mengingat produksi pangan yang meningkat dan swasembada.
Dan tentu saja keberhasilan tersebut takkan berhasil jika tidak ada bantuan dari DuPont atau perusahaan-perusahaan kimia lainnya, badan-badan internasional, dan Bank Dunia akan hadir sebagai pasukan anti-kelaparan. Revolusi Hijau adalah penyelamat, mengingat Nobel peace prize 1970 diberikan kepada Norman Borlaug.
Pada akhirnya Revolusi Hijau tidak berjalan cukup baik, meskipun USDA mengatakan bahwa Revolusi Hijau bukanlah Revolusi Merah ataupun Revolusi Putih. Mengingat dari Revolusi Hijau, globalisasi membawa bagaimana negara-negara dunia ketiga ini meningkatkan produksi pangan mereka di level selanjutnya tetapi menguntungkan secara ekonomis. Peningkatan hasil produksi Revolusi Hijau tidak berjalan sebagaimana diharapkan orang-orang. Persediaan surplus dunia dan kelebihan kapasitas produksi di tahun 1972.
Selain Revolusi Hijau, di mana revolusi industri telah berkembang, corak produksi akan terus ditingkatkan. Menambah luas lahan produksi, khususnya lahan produksi di lahan-lahan yang memiliki risiko besar akan terjadinya erosi atau bahkan ketidaksuburan tanah. Intensifikasi pertanian akan terus dikembangkan, bahwa tolok ukur untuk menjadi maju adalah sebagai pengekspor terbesar. Karena pada akhirnya pembangunan pabrik-pabrik atas kemajuan teknologi yang dikembangkan untuk produksi ini banyak tidak berjalan dengan baik.
Penggunaan teknologi untuk intensifikasi produksi juga memiliki ketergantungan pada bahan bakar fosil yang berjumlah besar. Dan ironisnya untuk mendapatkan makanan, kita perlu membayarnya juga dengan sumber daya alam kita. Mesin-mesin untuk penggarapan pertanian secara instensif; misal saja bensin yang digunakan sebagai bahan bakar dan pembuatan pestisida, herbisida, dan fungisida.
Dalam Agricultural Production and Energy Resources oleh G.H Heichel dan saintis Amerika lainnya menuliskan bahwa untuk menanam kol satu acre, dibutuhkan energi sebesar mobil enam orang. Dan untuk menghasilkan jagung satu acre, dibutuhkan energi kira-kira sepadan dengan 80 galon bensin.
Dunia Menyenangkan Kelas Menengah
Globalisasi mungkin adalah proses yang menonjol dalam perubahan sektor makanan kontemporer, sehingga produksi makanan saat ini dapat mengambil jarak cukup jauh dari konsumsi akhirnya (Bonanno, 1994). Eksploitasi kolonisasi agrikultural skala besar menemukan berbagai macam jenis makanan. Tetapi, dan tentu saja, kita akan menganggap bahwa isu pangan adalah permasalahan kaum kelas menengah ke bawah, kelaparan, industri, produksi pangan.
Untuk kelas menengah seperti kita, kenaikan harga atau permasalahan lingkungan saat ini tentu tidak menjadi masalah besar. Karena untuk memperbaiki itu semua, yang dapat kita lakukan adalah dengan meningkatkan produktivitas kerja untuk bisa memenuhi kebutuhan primer, seperti makanan dan tempat tinggal yang dianggap layak. Bahwa isu pangan, yang akan terlintas adalah mengenai sistem produksi makanan, ekspor dan impor makanan dan minuman, atau praktik standarisasi produksi dan konsumsi makanan.
Kita tidak lagi melihat makanan dapat menyebabkan wabah. Kita tidak melihat bagaimana produksi makanan ternyata tidak untuk memenuhi bagaimana kita hidup, tetapi untuk meningkatkan produktivitas kerja kita, dan kenyataan pahitnya menyebabkan kelaparan. Tanpa ingin membuat ini menjadi berlebihan, kelaparan itu ada.
Perkembangan industrial, khususnya industri pangan, terbilang cukup kompleks. Bermacam-macam jenis bisnis global yang dapat memasok sebagian besar makanan yang nantinya dapat dikonsumsi oleh penduduk dunia. Sebab, industri pangan meliputi banyak hal. Dan seperti yang saya katakan, kita hanya melihat dari corak produksi saja, agrikultur, manufaktur pangan, dan seterusnya.
Dunia menyenangkan adalah dunia kelas menengah, bahwa perubahan dan revolusi tidak akan tercapai jika tidak adanya gesekan di kelas menengah. Karena persoalan-persoalan kelas menengah ke bawah akan selalu ada dan seperti tiada akhirnya.
Isu pangan yang kita hadapi saat ini adalah krisis pangan, di mana persoalannya bukan lagi ketakutan daging sapi atau daging babi yang sakit di Amerika. Bukan lagi ketakutan daging lumba-lumba atau daging paus mengandung merkuri di Jepang.
Atau kita yang ketakutan akan daging-daging sapi atau ayam yang mengandung berbagai macam bahan kimia. Hingga ketakutan bahwa daging-daging tersebut digantikan oleh daging babi hutan, tikus, dan berbagai macam daging yang kita anggap tidak layak dimakan karena menjijikkan dan tidak mendapatkan gizi yang cukup dari itu.