Sabtu, April 20, 2024

Islam, Sekularisme, dan Pancasila

Israr Iskandar
Israr Iskandar
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas IImu Budaya Universitas Andalas Padang

Masalah relasi agama dan negara di Indonesia telah menjadi tema yang selalu aktual. Bahkan peristiwa politik di mancanegara yang menyangkut isu hubungan negara, agama, dan masyarakat, juga sering diberi makna tertentu atau dikait-kaitkan secara khusus dengan konteks kondisi Indonesia.

Terbaru, misalnya, soal relasi agama, negara dan masyarakat di Perancis. Sikap Presiden Emmanuel Macron yang di satu sisi membela majalah Charlie Hebdo yang memuat karikatur Nabi Muhammad namun di sisi lain menyudutkan (separatisme) Islam justru dimaknai sebagai upaya mempertahankan nilai-nilai sekulerisme dan kebebasan berekspresi yang menjadi identitas negara itu sejak Revolusi 1789.

Tulisan ini tidak membahas sekulerisme di negeri Napoleon itu, tetapi hanya sekedar menjadi “titik tolak” untuk melihat kembali secara ringkas relasi agama dan negara di negara kita sendiri. Membaca kembali corak relasi agama, negara dan masyarakat di Indonesia dapat juga dimaknai sebagai upaya meneguhkan identitas bangsa.

Negara Pancasila

Dalam konteks relasi agama dan negara, Indonesia secara umum tak hanya berbeda dengan negara sekuler seperti Perancis, Amerika Serikat, Inggris, dan bahkan Turki, tetapi juga dengan negara teokrasi, seperti Vatikan, Iran dan Arab Saudi. Hubungan agama dan negara di Indonesia secara garis besar termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945 yang implisit menyatakan negara kita bukan negara sekuler, tapi juga bukan negara agama.

Jika dalam sekulerisme, negara dan agama tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing, maka di negara Indonesia yang ber-Pancasila agama dan negara (dalam banyak aspek dan dimensi) saling mempengaruhi dan bahkan saling “mencampuri”. Prinsip Ketuhanan malah ditempatkan pada sila pertama dari lima sila dasar negara. Namun berbeda dengan negara teokrasi, di Indonesia agama mayoritas, yakni Islam, tidak dijadikan agama resmi negara.

Tidak heran di Indonesia agama mendapatkan tempat istimewa. Agama Islam khususnya tak hanya mewarnai secara luas corak kehidupan masyarakat, tetapi juga bernegara. Bahkan hukum Islam sangat mempengaruhi hukum negara, seperti dalam UU Perkawinan, UU Sistem Pendidikan, UU Peradilan Agama dan lainnya.  Di Indonesia sejak awal juga terdapat Kementerian Agama yang mengurus masalah agama dan kepercayaan warga negara.

Tak heran juga di Indonesia, paham ateisme (salah satu yang sejak semula dikhawatirkan kalangan Islam terhadap sekulerisme dan bahkan sekulerisasi) dilarang. Artinya, berbeda dengan negara sekuler (terutama sekulerisme ekstrem), di negara Pancasila secara formal tidak ada tempat bagi orang yang tidak beragama.

Perspektif sejarah

Indonesia yang bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler telah melewati proses perjalanan sejarah yang panjang. Pada tahun 1920-an dan 1930-an, pencarian identitas kebangsaan yang sedang diperjuangkan kaum pergerakan melawan penjajahan membawa mereka pada perdebatan bercorak filosofis mengenai relasi agama dan negara yang secara umum memunculkan dua pandangan utama yakni sekuler dan Islam.

Pada saat menjelang kemerdekaan, pertentangan antara kelompok berpaham “sekuler” dan “Islamis” itu kembali muncul dalam sidang-sidang tentang perumusan dasar negara. Pada akhirnya dua kelompok yang juga bisa dikategorikan sebagai “nasionalis” dan “Islam” ini mencapai titik temu dengan disepakatinya Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar negara di mana sila pertamanya berbunyi Ketuhanan yang Masa Esa.

Pada sidang Konstituante pasca-Pemilu 1955, perdebatan lama antara kelompok yang mewakili dua pandangan berbeda itu ternyata kembali dibuka. Ada juga yang menyebutnya sebagai pertentangan antara blok “Pancasila” dan “Islam” (Nasution, 1995). Pada saat itu, karena berbagai sebab, Konstituante gagal mencapai kata sepakat sampai kemudian keluar Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD 1945 yang sejatinya sudah merupakan semacam sintesis pemikiran politik kelompok sekuler dan Islam.

Memasuki zaman otoritarian (Orde Lama dan Orde Baru), ketegangan lama antara (pendukung) pandangan sekuler versus Islam dalam konteks relasi agama dan negara memang bisa “dikendalikan”, walaupun dalam hal-hal tertentu corak riak-riak pertentangan lama itu sulit dielakkan, terutama karena kelompok Islam menganggap rezim berkuasa condong mewakili pandangan sekuler. Namun sebenarnya yang menarik, khususnya di masa Orde Baru, bahwa pada ujungnya “sintesis” dua pemikiran politik lama itu justru makin bisa diejawantahkan dalam pelbagai bentuknya, seperti adanya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU  Sistem Pendidikan, dan lainnya.

Di zaman reformasi dan demokrasi, secara umum relasi agama dan negara dianggap sudah selesai. Tidak ada kekuatan politik, termasuk partai-partai Islam, yang mempersoalkan Pancasila sebagai hasil konsensus berbangsa. Kuntowijoyo menyebut Pancasila sebagai objektifikasi Islam (Kuntowijoyo, 2001).

Memang, tetap saja ada riak-riak antara mereka yang juga disimplifikasi sebagai kelompok “sekuler” dan “Islamis”, seperti belakangan ini, namun hal itu sering menyangkut persaingan kepentingan politik jangka pendek, bukan lagi suatu corak ketegangan ideologis yang “kaku” seperti di masa lalu.

Israr Iskandar
Israr Iskandar
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas IImu Budaya Universitas Andalas Padang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.