Beberapa waktu lalu beberapa media menyitir pernyataan sejarawan senior LIPI Asvi Warman Adam dan aktivis politik Sukmawati Soekarnoputri yang mengatakan bahwa PKI dulu mendukung Pancasila sebagai dasar negara. Partai-partai Islamlah yang justru menolak Pancasila dan mengusulkan Islam sebagai dasar negara pada sidang-sidang Konstituante pasca Pemilu 1955.
Walaupun tidak ada yang keliru, namun di tengah situasi politik masa kini, apa yang dikemukakan Asvi dan Sukmawati itu bisa memunculkan pemaknaan yang kontroversial: seolah ideologi yang diusung partai-partai Islam di masa lalu tak hanya bertentangan dengan komunisme, tetapi juga berseberangan dengan Pancasila. Namun jika kita menengok sejarah dengan menggunakan lensa yang tepat maka kemungkinan terjadinya simplifikasi atau reduksi dalam pemaknaan suatu peristiwa sejarah tentu bisa diminimalisir.
Islam dan Komunisme
Secara umum, sejarah Indonesia memang lebih banyak memperlihatkan pertentangan Islam versus komunisme dibandingkan perseteruan Islam dengan paham kebangsaan yang kemudian diidentikkan dengan Pancasila. Relasi Islam dan komunisme dalam banyak aspek seperti mencampur minyak dan air, sementara relasi Islam dan kebangsaan pada ujungnya lebih bersifat hubungan “dialektis”.
Memang dalam konteks tertentu perjumpaan Islam dan komunisme tak hanya dalam konteks pertentangan saja, tetapi juga dalam relasi “saling memanfaatkan” dalam rangka perjuangan melawan kolonialisme. Islam misalnya dapat meminjam doktrin “perjuangan kelas” dari komunis, sementara komunis menganggap Islam juga memiliki sifat revolusioner untuk melawan kapitalis imperialis. Banyak tokoh kiri seperti Tan Malaka, Haji Misbach atau Datuk Batuah melihat adanya “kecocokan” antara (beberapa) ajaran Islam dengan tujuan-tujuan komunis.
Sementara perseteruan antara golongan Islam dan kebangsaan meminjam konsep Hegelian lebih bersifat dialektis. Memang pada masa pergerakan kemerdekaan ada perdebatan antara paham nasionalisme sekuler dan Islam, seperti tercermin dari polemik Soekarno melawan Agus Salim, A Hasan dan M Natsir, namun di masa pergerakan ide-ide besar itu secara simultan menjadi alat perjuangan melawan penjajah.
Pada masa perumusan UUD di BPUPK tahun 1945 pertentangan golongan Islam dan kebangsaan kembali muncul. Pada saat itu golongan komunis tidak terlibat, karena status PKI sebagai partai terlarang. Apapun, proses dan di ujungnya tercapai suatu kompromi antara golongan Islam dan kebangsaan. Naskah pembukaan UUD 1945 yang disahkan 18 Agustus 1945 di mana termaktub lima sila Pancasila itu merupakan kompromi yang dalam batas tertentu bisa dimaknai sebagai (menurut Kuntowijoyo, 2000) “objektivikasi Islam”.
Pada saat Revolusi Fisik pasca-kemerdekaan, rivalitas dan kerjasama idiologi juga kembali sering mewarnai dinamika politik, antara lain terlihat dari relasi Islam dan komunisme. Walaupun Islam dan komunis sempat bekerjasama dalam Persatuan Perjuangan, namun pertentangan dan bahkan konflik fisik keduanya juga tak bisa dielakkan. Puncaknya adalah rangkaian Pemberontakan Madiun yang melibatkan PKI di mana banyak sekali ulama dan kiyai yang dibunuh golongan komunis di beberapa daerah di Jawa, suatu keadaan yang mewariskan permusuhan kalangan Islam terhadap komunis.
Pada masa Demokrasi Parlementer, terutama dalam Pemilu 1955, situasi persaingan dan bahkan pertentangan politik sangat panas, terutama antara PKI dan Masyumi sebagai partai Islam paling berpengaruh. Masyumi misalnya menyerang PKI sebagai partai dengan ajaran ateisme. Pada akhirnya Pemilu itu memunculkan empat besar: PNI (22 persen), Masyumi (21 persen), NU (18 persen) dan PKI (16 persen). Partai-partai lain, termasuk PSI yang dominan di masa awal Republik, tidak memperoleh suara signifikan.
Perseteruan ideologis berlanjut di Konstituante hasil pemilu yang membuka kembali perdebatan dalam rangka perumusan dasar negara. Adnan Buyung Nasution dalam buku Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia (2001) mengungkapkan tiga kelompok politik di Konstituante yang memiliki pandangan berbeda soal falsafah dasar negara: Pancasila, Islam dan Sosial Ekonomi. Koalisi Pancasila, yang argumennya mirip dengan kubu kebangsaan di BPUPK, tak hanya didukung PNI dan golongan lebih kecil seperti IPKI, Parkindo, dan Partai Katolik, tetapi juga dari PKI dan PSI yang beraliran sosial demokrat.
Sementara Blok Islam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dan menolak (antara lain) potensi “sekulerisme” dalam rumusan dasar negara dari kubu kebangsaan. Koalisi ini didukung partai Masyumi, NU, Perti, PSII, PTI dan sejumlah partai kecil yang berafiliasi pada golongan Islam. Sedangkan Blok Sosial Ekonomi didukung oleh golongan “nasionalis radikal” seperti Partai Murba, yang berciri Marxis, Partai Buruh, dan juga oleh anggota perorangan radikal dari partai-partai nasionalis yang lain.
Sidang Konstituante itu menemui “jalan buntu” yang antara lain kemudian mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, namun tetap menjadi pertanyaan krusial tentang posisi PSI dan terutama PKI: mengapa tidak mendukung Sosial Ekonomi sebagai dasar falsafah negara. Khusus untuk PKI yang beraliran Marxisme-Leninisme, sebab pokoknya menyokong Pancasila mungkin memerlukan kajian lebih lanjut dari sudut strategi politik. PKI merupakan partai yang mengalami pertumbuhan pesat dan amat mungkin akan meraih keuntungan dari sistem demokrasi liberal, yang ditentang partai-partai pendukung paham Sosial Ekonomi. Selain itu, ideologi Sosial Ekonomi menurut PKI tidak berakar pada filsafat materialis Marxisme Leninisme.
Selanjutnya, sejarah menunjukkan di tengah pertarungan ideologi yang sangat keras itu, Masyumi tersingkir dari arena politik, setelah partai ini – bersama PSI — dibubarkan Presiden Soekarno karena sejumlah tokohnya terlibat PRRI. Pembubaran Masyumi dan keluarnya Dekrit Presiden sebelumnya tak hanya lebih memuluskan jalan bagi realisasi konsepsi Nasakom dari Presiden Soekarno, tetapi juga justru menjadikan PKI sebagai satu dari tiga kekuatan politik paling berpengaruh, selain Soekarno dan tentara.
Pada periode inilah golongan Islam bisa dikatakan cukup tertekan. Kekuatan Islam tersisa yakni NU, Perti, dan lainnya kenyataannya pun harus “beradaptasi” dan masuk ke dalam proyek “Nasakom”-nya Presiden Soekarno. Pada saat inilah PKI dengan berani dan lantang misalnya menuntut pembubaran HMI yang dianggap “anak kandung” Masyumi yang kontrarevolusioner, sekalipun tuntutan itu tidak berhasil karena “pasang badan” yang dilakukan seorang tokoh senior NU untuk HMI.
Ketika G30S meletus, terjadi arus balik sejarah bagi PKI, karena partai revolusioner ini dituding terlibat dalam pembunuhan para jenderal angkatan darat. Soeharto yang mengendalikan militer segera melibas gerakan bersenjata itu dan kemudian bersama-sama sejumlah kekuatan sipil, termasuk golongan Islam, melancarkan aksi penumpasan, pembubaran dan pembalasan terhadap golongan komunis. Koalisi kekuatan “Orde Baru” itu bahkan juga kemudian mereposisi kekuasaan Presiden Soekarno.
Ketika rezim Orde Baru mulai berkuasa, corak kekuasaan dan politik pun berubah menjadi lebih otoritarian. Corak relasi Islam, golongan kebangsaan dan komunis seperti zaman sebelumnya jelas tidak ada lagi, karena PKI dan komunis sudah menjadi partai dan ajaran terlarang. Tidak hanya itu, sekalipun atas nama pelaksanaan Demokrasi Pancasila, sistem otoriter Orde Baru kemudian juga berhasil mengontrol semua kekuatan politik, terutama eks kekuatan nasionalis lama dan Islam politik lama. Bahkan dalam corak kekuasaan hegemonik seperti itu, rezim Orde Baru pun dengan mudah menuduh kelompok-kelompok kritis sebagai anti-Pancasila.
Ketika rezim Orde Baru runtuh dan sistem demokrasi multipartai berlaku, keadaannya berbeda lagi. Dari segi kepartaian, pada mulanya seolah terjadi reinkarnasi politik tahun 1950-an (kecuali komunis). Selain itu, dalam pengelompokan politik yang lebih besar juga seolah terjadi apa yang dipersangkakakan sebagai polarisasi atau perseteruan kelompok sekuler dan Islam menyusul penguatan kubu Megawati Soekarnoputri dan BJ Habibie dalam Sidang MPR 1999 yang kemudian juga “diamplifikasi” massa di tingkat grassroot.
Padahal secara umum, corak relasi antar-ideologi politik sendiri malah nampak makin “cair”. Relasi dan kontestasi politik pasca-Orde Baru cenderung makin pragmatis ketimbang ideologis. Apalagi menyangkut Pancasila sebagai dasar falsafah negara, semua elemen politik formal menganggapnya sudah final. Tak heran juga, tokoh-tokoh Islam, yang notabene anak cucu Masyumi atau NU misalnya, justru condong mendirikan atau bergabung dengan partai terbuka bercorak nasionalis.
Namun ada hal menarik di era demokrasi ini. Sekalipun PKI sudah dibubarkan ajarannya juga dilarang, dan bahkan secara global idiologi komunis dianggap sudah “bangkrut” awal 1990-an, namun isu kebangkitan PKI masih sering saja muncul. Pada mulanya isu ini sempat berhembus cukup kencang di awal reformasi, namun dalam perjalanan berikutnya mengendor lagi, termasuk pada bulan September dan Oktober, yang sejak Orde Baru diperingati dan tetap diingat sebagai bulan kekejaman kaum komunis.
Isu kebangkitan komunis menaik lagi pada saat Pilpres 2014, yang mempertemukan Capres Joko Widodo versus Prabowo Subianto yang (dalam batas tertentu) lagi-lagi dipersangkakakan sebagai polarisasi dan perseteruan kelompok “sekuler” dan Islam. Padahal kalau dicermati isu ini yang banyak digulirkan kelompok politik nonparlemen ini tak lebih sebagai (meminjam istilah Rizal Mallarangeng, 2020) “kembangan” politik belaka, karena dalam kenyataannya isu antikomunis ini sering juga tumpang tindih dengan isu antikapitalis dan lainnya. Tak hanya itu, yang menarik, mereka yang menuding maupun yang tertuding (sebagai “komunis” atau “kapitalis”) justru sama-sama memaknai dan mengklaim kelompoknya sebagai “perisai” Pancasila.
Demikianlah di zaman di mana batas-batas dan perbedaan idiologi politik kepartaian semakin kabur, namun sebaliknya isu-isu kembangan dalam politik bercorak populisme justru makin menguat, suatu gejala yang akhir-akhir ini secara umum tidak hanya terjadi di negara kita, tetapi juga di banyak negara demokrasi pluralistik lainnya.