Saya beruntung bisa mengenal Bahtiar Effendy sejak tahun-tahun pertama saya kuliah di IAIN (kini: UIN) Jakarta, di tahun 1980-an. Beruntung, karena Bahtiar termasuk senior kami yang jelas “harus diperhitungkan”, tapi ia juga cukup “sulit disentuh”.
Di mata kami, para aktivis mahasiswa waktu itu, ia jelas pintar sekali: selagi nyantri di Pabelan, ia mungkin anak pesantren pertama yang dikirim ke AS untuk setahun sekolah SMA di sana; selagi masih mahasiswa, tulisannya sudah banyak diterbitkan di koran dan majalah; dan ia bukan saja menulis skripsi tentang Martin Luther, tokoh Reformasi Kristen yang belum banyak kami ketahui waktu itu, tapi juga menulisnya dalam bahasa Inggris!
Namun, Bahtiar juga tampak agak “somsom”: ia jarang bergaul dengan para yuniornya; kamar kosnya lebih sering tak terisi dan gelap di malam hari; kami hanya bisa bertemu dengannya di acara-acara training Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) atau membaca tulisan-tulisannya terutama di Panji Masyarakat. Maka, saya beruntung karena ia cukup bergaul dengan saya, selain dengan lingkaran kecilnya yang terdiri dari rekan-rekan segenerasi saya lulusan Pabelan, tempatnya belajar dulu.
Tapi, tak lama kami bergaul di tahun-tahun itu. Seingat saya, selain beberapa kali makan siang yang enak untuk ukuran mahasiswa waktu itu, saya pernah diajaknya bertemu sejumlah tokoh: Luqman Harun, Ridwan Saidi, Deliar Noer, di luar senior-senior saya lainnya di Ciputat seperti Fachry Ali, Azyumardi Azra, Badri Yatim, Din Syamsuddin, dan lainnya lagi.
Dari situ segera saya tahu bahwa selain memang pintar, Bahtiar juga tidak sombong seperti dugaan kami semula: kelakarnya kadang bahkan sampai tingkat keterlaluan, yang —alhamdulillah—masih dipertahankannya hingga sekarang. Di akhir 1980-an kami tak lagi sering bertemu: ia tak lagi beredar di Ciputat, segera kawin, dan pergi ke AS untuk melanjutkan sekolah di Ohio University dan Ohio State University, keduanya di negara bagian Ohio.
Kami berjumpa lagi ketika ia pulang ke Indonesia untuk penelitian disertasi di awal 1990-an. Waktu itu saya sudah bekerja di Jurnal Ulumul Qur’an, di bawah M. Dawam Rahardjo,yang juga menjadi bagian penting dari disertasinya tentang peran para pembaharu di dalam mentransformasikan hubungan Islam dan negara di Indonesia, dari yang semula antagonistik menjadi akomodatif.
Dalam prosesnya mempersiapkan disertasi itu, saya mencatat dua hal yang saya kira penting. Pertama, ia memiliki hubungan yang sangat baik dengan tokoh-tokoh yang diwawancarainya (Munawir Sjadzali, Nurcholish Madjid, M. Amien Rais, dan seterusnya), yang mempermudahnya mengumpulkan bahan-bahan disertasinya.
Kedua, ia seperti begitu terlibat dengan tema yang dibahasnya. Kedua hal ini saling terkait: ia memperoleh tema itu, tentang hubungan Islam dan negara di Indonesia, karena hubungannya yang erat dengan para senior yang belakangan menjadi narasumbernya, dan ia sekaligus menjadi sadar betul akan urgensi dan relevansi sosial dari tema yang dibahasnya.
Pada Bahtiar kala itu, saya menyaksikan seorang aktivis Muslim yang sedang menyiapkan diri menjadi seorang sarjana yang terlibat (engaged scholar): seorang aktivis mahasiswa, dan wartawan, yang seperti tahu persis apa yang perlu bagi masyarakatnya, seraya menyongsong peran masa depannya sendiri di tengah-tengah itu.
Belakangan, ketika sekolah di dua tempat yang persis sama dengan Bahtiar, saya makin menyadari bahwa proses belajarnya itu menjadi model konkret dari apa yang selalu dikatakan para penasihat akademis kepada saya (dan saya kira juga kepada umumnya mahasiswa pascasarjana). Inti nasihat itu: “Jangan sekali-kali memilih tema tesis atau disertasi yang kamu bisa segera bosan dengannya. Pilihlah tema yang dengannya kamu seperti akan hidup bersamanya untuk selama-lamanya.”
Bahtiar pasti beberapa kali menerima nasihat sejenis itu— dan ia, saya yakin, menjalankannya dengan baik. Tak heran jika sekembalinya dari AS, ia tampak begitu fasih dan at home dengan tema Islam dan negara.
Disertasinya, yang atas permintaannya dan dengan kesungguhan hati saya terjemahkan menjadi Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1998 [edisi II, 2009]), kini menjadi karya klasik di bidangnya. Tanpa membaca karya itu, siapa pun akan mustahil mengerti dengan baik posisi kaum Muslim di negeri ini. Karya itu seperti melengkapi karya-karya Deliar Noer dan Syafii Maarif untuk babakan periode Islam di Indonesia sebelumnya.
Untungnya bagi kita, bahkan dibanding karya Noer dan Maarif yang lebih deskriptif, karya Bahtiar juga adalah sebuah karya yang theory-driven dan analitis, seperti yang dengan jelas ditunjukkan dalam bab-bab awal disertasinya. Darinya kita memperoleh bukan saja data mengenai apa yang terjadi, tetapi juga penjelasan sistematis mengenai mengapa hal itu terjadi.
Saya duga itu karena training-nya yang kokoh dalam ilmu-ilmu sosial kontemporer di tahun-tahun pertama sekolah pascasarjananya, yang mengharuskannya untuk memahami dan mendalami metode dan teori dengan baik, sebelum menceburkan diri ke dalam tema risetnya yang spesifik tentang Islam dan negara di Indonesia.
Itu juga sebabnya mengapa kesarjanaan Bahtiar akan terus, jika bukan makin, relevan dewasa ini, hampir dua dekade sesudah ia menulis disertasinya. Ia tak berhenti pada Islam dan negara (tema disertasi yang bagi banyak doktor menjadi tema terakhir kesarjanaan mereka), tapi menjadikannya titik-tolak untuk bicara mengenai banyak hal seputar perkembangan politik di tanah air, khususnya mengenai peran kaum Muslim di dalamnya.
Berkat training-nya yang kokoh dalam ilmu-ilmu sosial dan penguasaannya yang mendalam mengenai tema Islam dan negara di Indonesia, kini ia, sebagai intelektual publik, mampu mencerahkan para audiensnya dengan analisisnya yang dingin, tajam, dan teliti mengenai demokrasi dan nasib partai-partai Islam di dalamnya, misalnya.
Padanya, kita temukan no nonsense analysis! Sekalipun ia sendiri, misalnya, tidak mengerjakan survei opini publik, metode yang belakangan—diakui atau tidak—makin mapan sebagai alat-ukur perkembangan politik, ia tidak canggung berhadapan dengannya, seperti kita lihat diderita banyak analis politik lama kita. Bahtiar tidak saja dengan percaya diri mengutip hasil survei itu, tapi juga—dan di sini terletak kelebihan utamanya— membacanya dalam konteks yang lebih luas, menafsirkannya dengan perspektif yang lebih kaya dan dalam.
Dilihat dari lanskap kesarjanaan yang lebih luas, perjalanan kesarjanaan Bahtiar, yang insya Allah akan terus dan makin produktif, mengingatkan saya akan wacana yang menghangat di awal tahun 1980-an, ketika saya mengawali masa-masa kuliah saya. Wacana itu kami kenal dan gauli antara lain berkat kampanye Dale Eickelman, seorang antropolog dan ahli Islam di Afrika Utara, mengenai apa yang disebutnya “Islam in local context”.
Inti kampanyenya sederhana, tapi sering kali kurang disadari atau diresapi baik oleh para sarjana teologi atau humaniora (atau ilmu-ilmu agama) maupun ilmu-ilmu sosial, yakni bahwa Islam (atau agama apa pun) itu ada dua jenis: Islam dalam teks dan Islam dalam konteks.
Yang pertama Islam normatif, yang kedua Islam empiris atau historis. Keduanya terkait, tapi tak selamanya menyatu, apalagi identik. Karena, kita tahu, selalu ada jarak antara apa yang dikehendaki Allah agar dilakukan umat-Nya (Islam normatif), yang juga sudah ditafsirkan dalam beragam cara dan manifestasi, dan apa yang pada praktiknya dijalankan sang umat (Islam empiris dan historis).
Untuk memahami keduanya dengan baik, dibutuhkan dua jenis pendekatan yang berbeda, dengan peralatan metode dan teori yang juga berbeda. Yang pertama memerlukan ilmu semacam bahasa dan tafsir, yang kedua mensyaratkan penguasaan atas dasar-dasar ilmu sosial seperti metodologi penelitian empiris dan teori sosiologi dan politik. Mencampuradukkan keduanya secara tidak kritis, seperti yang saya kira menjerumuskan sejumlah sarjana yang mengembangkan wacana Islamisasi ilmu-ilmu sosial, hanya akan mendatangkan mudarat bagi keduanya sekaligus.
Kampanye agar kita sensitif pada “Islam dalam konteks lokal” itu menjadi ladang subur bagi sarjana seperti Bahtiar, yang dilatih baik dalam wilayah Islam normatif (Fakultas Ushuluddin di IAIN) maupun Islam empirik (ilmu-ilmu sosial di sekolah pascasarjana di AS). Sebagai sarjana dan analis sosial, ia punya senjata relatif komplet: ia tahu teksnya, dan ia mengerti konteksnya.
Sekarang Bahtiar menjadi gurubesar UIN. Saya dengar ia juga sedang menyiapkan sebuah fakultas di UIN yang akan mengkhususkan diri pada training mahasiswa dalam ilmu-ilmu sosial dan politik. Keduanya merupakan bentuk pengakuan yang absah untuk apa yang sudah cukup lama disumbangkannya.
Sambil berdoa, mari kita mendorong agar Profesor Bahtiar lebih banyak lagi melahirkan produk, baik karya maupun lulusan yang dididiknya. Apalagi kini Indonesia, negara Muslim terbesar di dunia, berkat demokrasi yang sudah berjalan satu dekade terakhir, adalah laboratorium yang makin menjanjikan untuk kiprah kesarjanaannya.
Tahap baru Indonesia ini menjadi tantangan bagi Bahtiar untuk terus mempertajam teorinya tentang hubungan Islam dan negara: bagaimana kita memahami dan mengatasi kenyataan bahwa dukungan terhadap otonomi daerah sudah dimanfaatkan oleh sejumlah kalangan untuk mengundangkan perda-perda bernuansa syari’ah, yang bisa mengancam kebebasan sipil; bagaimana jenis sekularisme kita, yang serba setengah ini, bisa menaungi kehendak orang untuk tidak percaya pada agama-agama resmi atau menjadi ateis; bagaimana kita mengatasi paradoks bahwa fatwa-fatwa MUI, yang menjadi bagian dari ekspresi kebebasan beragama mereka, bisa mengundang sekelompok Muslim lainnya untuk membakar gereja atau masjid Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI); dan lainnya, dan seterusnya. Selamat bekerja, Profesor Bahtiar!
Pamulang, 6 Juni 2009
*Naskah aslinya berjudul “Islam dalam Teks dan Konteks: Sedikit tentang Profesor Bahtiar Effendy”. Dimuat ulang untuk mengenang Profesor Dr Bahtiar Effendy yang wafat hari ini, Kamis, 21 November 2019. Lahu al-Fatihah. Allah yarhamhu.