Kelompok militan yang bercokol di Suriah pimpinan Abu Bakar Al-Baghdadi ini kadang disebut dengan nama yang berbeda oleh media dan banyak kalangan. Kelompok ini memang awalnya memperkenalkan diri dengan nama Daulah Islamiyah fil Iraq was Syam, nama bahasa Arab yang artinya Negara Islam di Irak dan Syam. Masyarakat di Timur Tengah kemudian menyebutnya DAISH sebagai singkatan dari nama tersebut. Hingga saat ini.
Sementara masyarakat Barat kemudian menerjemahkan dalam bahasa Inggris, Islamic State of Iraq and Levant, dan disingkat ISIL. Levant adalah sebuah istilah yang lumrah di era kolonial Prancis untuk menyebutkan kawasan yang mencakup negara Suriah, Yordania, Lebanon, Palestina-Israel, dan bahkan bagian tenggara Turki. Sebuah kawasan dalam bahasa Arab klasik dengan istilah Syam.
Sebagian lagi memadukannya dengan menyebut Islamic State of Iraq and Syam disingkat ISIS. Hanya saja karena kata Syam masih terlalu asing bagi penutur di luar bahasa Arab, lalu diubah dengan kata Syria (Suriah), tetap disingkat ISIS. Beberapa media banyak menggunakan istilah yang terakhir ini.
Di saat publik belum mencapai kesepakatan (konsensus) bagaimana harus menyebut kelompok militan tersebut, setidaknya dalam bahasa Inggris, kelompok ini pada pertengahan tahun 2014 memperbarui namanya. Lebih tepatnya memperpendek menjadi Daulah Islamiyah atau Islamic State. Mereka beralasan ini sebagai penegasan dari negara Khilafah, konsep negara global yang mereka tegakkan. Beberapa media seperti Vice News dan BBC pun akhirnya menggunakan nama “Islamic State” yang selanjutnya disingkat IS.
Lepas dari semua itu, saya pribadi menggunakan nama ISIS untuk menyebut nama kelompok ini. Bukan berarti saya menyetujui kelompok ISIS ini sebagaimana arti dari kepanjangan ISIS. Saya menggunakan nama ini hanya karena sudah telanjur populer, seperti masyarakat Arab yang menggunakan nama DAISH. Toh, pada kenyataannya kelompok ini juga tidak menguasai wilayah Irak dan Suriah sepenuhnya, apalagi tanah Syam yang jelas secara geografis lebih luas.
Dan lagi yang saya tahu dan dengar kelompok ini keberatan dengan penggunaan nama ISIS atau DAISH. Belakangan beberapa media di Indonesia mulai ada yang menggunakan nama NIIS untuk penyebutan nama kelompok ini, maksudnya Negara Islam Irak dan Suriah. Tapi tampaknya nama ISIS tetap lebih akrab di telinga. Jadi, izinkan saya tetap menggunakan kata ISIS di tulisan ini.
Negara atau Bukan?
Menurut kacamata pendukung ISIS, ISIS tentu adalah sebuah negara. Tak tanggung-tanggung mereka menyebutnya Negara Islam atau Daulatul Islamiyah. Mereka meyakini doktrin agama sekaligus negara, jadi Islam agama sekaligus negara.
ISIS bukan satu-satunya kelompok yang meyakini doktrin agama satu paket dengan negara. Al-Qaidah beberapa kali sejak tahun 2000-an juga mengungkapkan memiliki rencana mendirikan negara yang mereka sebut Khilafah .
Hizbut Tahrir mungkin organisasi yang paling getol mengampanyekan Khilafah selama ini. Organisasi ini didirikan pada 1959 di Al-Quds, dipelopori oleh Taqiyuddin An-Nabhani, mantan hakim agama di Palestina. Hizbut Tahrir memiliki cabang di beberapa negara. Di Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI kerap melakukan demonstrasi dan rapat akbar mendorong penegakan negara Islam atau Khilafah.
Meski memiliki keyakinan yang sama tentang kewajiban mendirikan Khilafah, ISIS, Al-Qaidah, dan Hizbut Tahrir kenyataannya malah berseberangan satu sama lain. Klaim ISIS mendirikan negara ditolak mentah-mentah, Al-Qaidah dan Hizbut Tahrir menganggap Khilafah yang didirikan ISIS tidak sah.
Jadi, publik tidak perlu repot-repot mengkaji untuk mencapai sebuah konsensus ISIS ini apakah sebuah negara atau bukan. Di kalangan mereka yang memiliki akar keyakinan yang sama dengan ISIS menganggap ISIS bukan negara, tapi hanya “ormas”.