Kekhalifahan yang diproklamirkan 5 tahun lalu oleh militan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS), saat puncak kejayaannya merambah tanah dua negara dan mendirikan pemerintahan “kerajaan agama”, kini telah runtuh setelah Pasukan Demokratik Suriah (SDF) dan koalisi Barat menekuk Baghouz, desa terakhir yang dikontrol ISIS di Deir Ezzour, Suriah.
Pengepungan melumpuhkan ISIS di Baghouz berlangsung dramatis, bentrokan bersenjata dua kubu beberapa kali harus jeda karena, di luar dugaan, banyak keluarga militan ISIS keluar menyerahkan diri. Fenomena ini menarik perhatian sejumlah media, mengingat ribuan di antaranya adalah warga asing yang diperkirakan bergabung ISIS sejak 2014/2015. Namun, ketika beberapa awak media mencoba mewawancarai keluarga militan tersebut, kebanyakan dari mereka menolak dan bersikap agresif kepada jurnalis. Mereka justru meneriakkan slogan-slogan ISIS saat disorot kamera.
Sebagian lagi, yang bersedia diwawancarai media, mengutarakan keinginannya kembali ke negara asalnya, namun uniknya rata-rata alasannya terkait kondisi yang kini memprihatinkan, bukannya menyesali keputusannya selama ini bergabung dengan ISIS.
Lantas, apa yang membuat pengikut ISIS ini tidak berubah, seakan masih tetap memegang teguh ideologi khilafah ISIS? Mengapa mereka mengingkari kenyataan, bahkan memuji, ini sebagai ujian dan cara dari Tuhan menguatkan negara khilafahnya.
Ideologi Khilafah
Ulil Abshar-Abdalla, cendekiawan Nahdlatul Ulama, dalam tulisannya berjudul Ahmadiyah dan Khilafah Spiritual menguraikan perbedaan konsep “Khilafah” yang dipedomi dua komunitas Muslim yang sama-sama mengusung khilafah, yakni Hizbut Tahrir dan Ahmadiyah. Menurut Ulil, khilafah yang diperjuangkan Hizbut Tahrir konsepnya adalah politik, berbeda dengan khilafah versi Ahmadiyah yang konsepnya non-politik atau spiritual.
Konsep “khilafah politik” mengandaikan adanya suatu teritori, wilayah yang jelas, yang dijaga dengan pasukan bersenjata (ribath). Sementara konsep “khilafah spiritual” mengandaikan pengikutnya tetap bisa tinggal di mana saja, asal hati dan rohani mereka tetap tunduk dan taat kepada otoritas spiritual, yaitu seorang khalifah.
Bagaimana dengan ISIS? Kelompok ini membangun khilafah dengan memadukan dua konsep di atas sekaligus, yakni politik (teritorial) dan spiritual. Meski awalnya konsep pertama tampak lebih dominan daripada konsep kedua, namun belakangan terbukti konsep kedua semakin kuat dinarasikan ISIS, bahkan sebelum mereka kehilangan kota Mosul dan Raqqah.
Kekalahannya di desa Baghouz merupakan simbol robohnya kekhalifahan politik ISIS. Namun, seperti sudah diperkirakan, kelompok ini terus memperjuangkan legitimasi kekhalifahan yang berkuasa atas hati dan pikiran. ISIS sepenuhnya menyadari bahwa konsep “khilafah spiritual” menawarkan peluang mengikat pengikutnya untuk tetap radikal dan loyal, sementara perjuangan di darat terus berjalan memulihkan khilafah politik.
Saya kira, satu-satunya faktor penting klaim eksistensi kekhalifahan ISIS dan bisa dikatakan ini daya tarik yang masih tersisa mereka miliki saat ini adalah figur Abu Bakar al-Baghdadi. Al-Baghdadi adalah sosok Khalifah ISIS yang keberadaannya hingga kini masih misterius. Karena khalifah adalah kunci, tanpa khalifah tidak ada lagi khilafah. Khilafah dalam konsep politik dan spiritual sama-sama mengandaikan adanya seorang khalifah.
Selama sang khalifah belum berhasil dilumpuhkan, ISIS akan beroperasi lebih lama dengan menggunakan ideologi khilafah. Hal ini sudah terbukti, ISIS lebih memprioritaskan mengamankan khalifah dibanding mempertahankan wilayah khilafah.
Transformasi Organisasi
Sebelum didepak oleh pasukan SDF di Suriah, pasukan Irak telah lebih dulu mengusir ISIS dari kota-kota utama yang pernah mereka kendalikan, termasuk Fallujah, Ramadi, Tal Afar, dan terakhir Mosul pada tahun 2017, yang berfungsi sebagai basis operasi yang penting bagi ISIS selama tiga tahun terakhir.
Keberhasilan membebaskan kota-kota dari pendudukan ISIS sesungguhnya adalah fase kekalahan ISIS sebagai kelompok pemberontak, bukan sebagai teroris. Kelompok ini memiliki dua wajah dalam satu koin bernama ISIS, wajah pemberontak dan teroris, meski ada perbedaan tapi bukan berarti keduanya berlawanan.
Menurut analisa Colin P. Clarke, seorang peneliti terorisme dan penulis buku After Caliphate, pemberontak merebut dan mengontrol wilayah untuk dapat menjalankan kedaulatan atas suatu populasi, beroperasi di tempat terbuka sebagai unit bersenjata, dan dapat terlibat dalam mobilisasi massa. Teroris tidak bisa melakukan ini semua. Sebaliknya, teroris melakukan serangan dengan anggota yang beroperasi dalam sel-sel kecil dan tidak memegang wilayah.
Intinya, kekalahan ISIS di Baghouz telah memaksa mereka melakukan transisi gerakan dari organisasi pemberontak ke jaringan teroris secara total, efeknya diprediksi aksi kekerasan yang dilakukan ISIS tak lagi terkonsentrasi atau berpotensi lebih menyebar.
Transisi ini juga memungkinkan ISIS tetap beroperasi di bawah tanah di Suriah dan Irak untuk pertarungan masa yang akan datang, yakni dengan mengandalkan taktik gerilya klasik, penyergapan, penculikan, serangan bom, dan pembunuhan.
Seperti halnya pemberontakan dan terorisme yang tidak sama, tujuan kontra-pemberontakan dan kontra-terorisme juga berbeda. Kontra-terorisme memerlukan penanganan kombinasi strategi dan taktik non-militer yang efektif untuk melawan kampanye ekstremisme ISIS.
Singkat kata, mengakui transisi ISIS dari organisasi pemberontak ke jaringan teroris sangat penting, untuk menyusun dan mengalokasikan sumber daya yang diperlukan menumpas ISIS ke akar-akarnya dan mencegah kelompok ini menemukan momentumnya bangkit kembali.