Sabtu, Maret 15, 2025

Ironi Kebebasan: Dilema Lily Bart dalam The House of Mirth

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Novel The House of Mirth (1905) dibuka dengan sebuah insiden kecil yang memalukan. Lily Bart, seorang perempuan lajang berusia 29 tahun dari kalangan elit New York, mengunjungi apartemen seorang kenalannya, Lawrence Selden. Namun, kepergiannya disaksikan oleh Rosedale, pria yang reputasinya kurang baik. Lily merasa canggung saat berpapasan dengan Rosedale dan berusaha menyembunyikannya. Karena Lily dikenal sebagai bagian dari masyarakat kelas atas – lingkaran sosial yang ingin dimasuki Rosedale – ia pun mengabaikan rasa malunya dan melupakan tujuan awalnya: menikahi pria kaya dan berpengaruh, Percy Gryce, meskipun pemuda itu manja dan tidak menarik.

Sayangnya, Lily gagal. Walaupun ia hampir berhasil membuat Gryce melamar, Lily justru menyinggung perasaannya sehingga Gryce pergi tanpa memberikan lamaran. Akibatnya, Lily terancam jatuh miskin dan kehilangan status sosialnya. Lily memang cantik, anggun, dan memiliki koneksi di kalangan atas. Namun, di usianya yang sudah matang, ia seharusnya lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Sepanjang novel, Lily justru terus membuat kesalahan. Pada akhirnya, ia hancur, baik secara finansial maupun sosial, sebagian karena ulah orang lain dan sebagian lagi karena kecerobohannya sendiri. Lily meninggal karena overdosis obat tidur di sebuah kamar yang bobrok. Hidupnya yang penuh potensi berakhir tragis dan menyedihkan.

Tokoh-tokoh ciptaan Wharton sering kali bertindak di luar dugaan, melakukan hal-hal yang tampaknya merusak diri sendiri. Jelas bagi semua orang, termasuk pembaca, bahwa Lily harus menikah demi mengamankan kondisi keuangannya. Namun, alih-alih fokus pada tujuan tersebut, Lily justru lebih tertarik menjalin hubungan platonis dengan Lawrence Selden, pria yang mencintainya namun tidak memiliki cukup uang untuk menikahinya. Lily juga terjebak dalam gaya hidup hedonis yang menguras tenaga dan waktunya.

Selden, yang paling dekat dengan Lily di antara semua karakter, sebenarnya berperan sebagai pengamat kejatuhan Lily. Ia menyaksikan kemerosotan Lily dengan kepekaan yang mendalam. Meskipun pembaca mungkin mengharapkan Selden menyelamatkan Lily, sejak awal tampak jelas bahwa Selden tidak mampu membangun hubungan yang tulus, baik dengan Lily maupun dengan orang lain. Keegoisan Selden sama mencoloknya dengan kecerobohan Lily.

Lingkungan tempat Wharton berasal turut memengaruhi karyanya. Ia menggambarkan keluarga-keluarga terkaya dan tertua di New York yang hidup dalam dunia eksklusif mereka sendiri. Lily dan Selden, sebagai tokoh utama dalam The House of Mirth, adalah representasi dari dunia tersebut.

Wharton menulis dengan gaya yang cermat dan penuh perhitungan, mengamati setiap detail dengan seksama. Seperti Henry James, Wharton berusaha meningkatkan kualitas artistik novelnya setara dengan puisi, drama, atau lukisan. Ia menganggap penyelesaian yang sempurna sebagai ciri novel yang benar-benar artistik. Wharton lebih menyukai gaya penulisan novelis Prancis seperti Flaubert daripada novelis Inggris seperti Dickens. Ia mengagumi kemampuan novelis Prancis dalam menggambarkan psikologi tokoh dan ketelitian mereka dalam menyusun narasi. Karena berasal dari keluarga kaya, Wharton memiliki waktu luang untuk menyempurnakan karyanya. Ia tidak perlu terburu-buru menerbitkan novelnya demi uang. The House of Mirth pun menampilkan gaya penulisan yang elegan dan terstruktur dengan baik.

Wharton hidup di lingkungan sosial yang setara dengan tokoh-tokoh dalam novelnya. Ia menjalani hubungan yang seimbang dan tidak terjebak dalam perselingkuhan yang merusak. Wharton tampaknya memiliki kebijaksanaan dan kebaikan hati dalam semua interaksinya. Ia cenderung melakukan hal yang benar, baik dalam aspek moral maupun sosial. Keistimewaan karakter Wharton ini semakin terlihat jelas karena kesuksesan karyanya tidak mengubah prinsip hidupnya. Ia tetap menjadi sosok yang cerdas dan bermoral. Wharton adalah contoh teladan yang jarang ditemui.

Bagi pembaca masa kini, Lily Bart mungkin tampak seperti subjek penelitian dalam bidang psikologi yang menarik untuk dikaji. Lily adalah sosok yang kompleks, baik dari sisi psikologis maupun sosial (sesuai dengan fokus Wharton). Ironisnya, Lily tidak mampu menjalani hidup yang sebenarnya ia inginkan.

Di setiap titik krusial dalam hidupnya, ia justru menghancurkan rencana yang telah ia susun dengan sangat cermat. Lily juga tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia harus bekerja. Ketika ia terpaksa bekerja sebagai pembuat topi, ia terlalu kikuk dan tidak berpengalaman. Akibatnya, ia dipecat. Lily dibesarkan dan dididik untuk menikahi pria kaya demi menjaga status sosialnya, meskipun pernikahan itu tidak didasari cinta. Namun, pada akhirnya, ia tidak sanggup memaksa dirinya untuk melakukannya.

Wharton tidak menghakimi atau menyindir dunia Lily, tetapi ia juga tidak mengagungkan dunia tersebut. Wharton menyajikan dunia kelas atas itu secara objektif, memungkinkan pembaca untuk melihat bahwa di balik kemewahan dan hak istimewa yang menyenangkan, terdapat sifat dingin dan destruktif. Di dunia itu, lebih mudah untuk melukai daripada berbuat baik, lebih mudah untuk mengucilkan daripada menjalin hubungan. Oleh karena itu, pembaca dibuat bertanya-tanya apakah Lily memiliki harapan untuk bahagia, mengingat ia memilih untuk tetap berada di lingkungan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan emosionalnya.

- Advertisement -

Permasalahan Lily bukanlah disingkirkan oleh orang lain, melainkan ia sendiri yang menyingkirkan dirinya sendiri dari kesempatan yang ada. Wharton menunjukkan bahwa kebebasan perempuan untuk memilih justru memperumit masalah Lily, bukan menyelesaikannya. Tanpa bimbingan orang tua, Lily kesulitan mengambil keputusan. Setelah melewati masa muda yang naif dan menjadi pengamat tajam lingkungan sekitarnya, Lily terjebak dalam situasi yang sulit. Paradoksnya, bukan Lily yang tidak lagi diinginkan, melainkan lingkungannya — rumah-rumah mewah, hak istimewa, dan sebagainya — yang sudah tidak lagi menarik baginya. Hal ini memaksa Lily untuk membuat pilihan sulit di antara beberapa calon pasangan yang tidak ideal.

The House of Mirth juga mengajukan pertanyaan menarik seputar struktur narasi. Meskipun kejatuhan Lily dramatis dan menarik, kisahnya tidak representatif dan sulit untuk digeneralisasikan. Keunikan Lily — kecantikan, kehati-hatian, dan lingkungannya yang berada di kalangan atas — membuat kisahnya menjadi sangat spesifik. Ketertarikan Wharton, dan juga Lawrence Selden, pada Lily adalah karena keunikannya, baik yang tampak di permukaan maupun yang tersembunyi di baliknya. Hanya ketika dilihat sebagai “studi kasus” dalam psikologi, Lily menjadi mirip dengan orang lain, seperti para pembaca yang mungkin mempelajari kisahnya.

Namun, sebuah novel berbeda dari studi kasus. Novel mengungkap persamaan yang mendasari perbedaan-perbedaan di permukaan. Oleh karena itu, meskipun kisah Lily menarik untuk disaksikan, sulit untuk mengambil pelajaran darinya. Setiap novel tentang kejatuhan tokoh memiliki daya tarik dramatis tersendiri (seperti dalam novel Thérèse Raquin), tetapi kejatuhan Lily begitu khas sehingga The House of Mirth tidak mencapai tingkat kehebatan yang sama.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.