Ketika pemerintah dan rakyat Irak baru saja merayakan kemenangan atas kehancuran militan ISIS di Mosul, sel-sel kelompok keji itu kembali menebar horor. Inggris kembali menjadi target sel-sel ISIS itu setelah sekitar empat serangan sebelumnya.
Kabar terbaru, 22 orang mengalami luka serius akibat aksi brutal di kereta bawah tanah Parsons Green di ibu kota negeri itu kemarin pada saat jam sibuk. Implikasi peristiwa itu terhadap negera-negara lain di Eropa sangat besar, terutama dalam pengetatan keamanan dan peningkatan sentimen anti-imigran Muslim.
Modus operasi yang digunakan sedikit berbeda dengan yang lagi tren sebelumnya; mereka sering memilih operandi menabrakkan mobil dengan kecepatan tinggi ke arah kerumunan massa. Sasarannya biasanya adalah pusat wisata yang dikunjungi warga dari banyak negara, sehingga perhatian dunia akan semakin besar sebagaimana yang terjadi di Spanyol dan Prancis.
Kali ini, sel ISIS melakukan aksi teror dengan membawa bahan peledak ke kereta api bawah tanah. Ini tentu mengerikan secara psikologis bagi orang-orang Eropa. Sebab, kereta api merupakan sarana yang paling diandalkan dalam transportasi di banyak negara di Eropa. Kantor berita ISIS, Amaq, sudah mengklaim keterlibatan sel-sel mereka dalam serangan itu.
Balas Dendam
Betatapun sedikit lebih lambat dibanding negara Barat lain, Inggris terlibat dalam keberhasilan penghancuran ISIS di Irak. Mereka terlibat dalam serangan udara sekutu pimpinan AS. Mereka juga mengirimkan instruktur untuk melatih para pejuang menghadapi kelompok teror itu.
Sebagaimana diketahui, perang ISIS melibatkan ratusan ribu milisi bahkan lebih untuk mengepung mereka dari berbagai arah di Irak Utara dan Suriah Utara. Milisi-milisi itu pada dasarnya adalah rakyat sipil yang dilatih oleh militer Irak maupun asing, termasuk tentara Inggris. Aksi brutal itu tak lain adalah balas dendam atas kejatuhan kekhalifahan mereka di Mosul dan lenyapnya basis kekuatan mereka di pinggiran-pinggiran Irak.
Hancurnya kelompok itu di Mosul, ibu kota mereka sekaligus kelahiran Sang Khalifah Al-Baghdadi, adalah peristiwa memilukan bagi kelompok itu. Sebab, mereka baru sekitar tiga tahun memproklamirkan dengan penuh bangga. Banyak negara yang terlibat dalam perang itu sudah mendapat aksi balas dendam ISIS berupa serangan teror dari sel-selnya.
Ketika ISIS terdesak selama dua tahun perang di Irak, rentetan aksi teror terjadi di mana-mana. ISIS memanfaatkan sel-selnya yang tersebar di berbagai negara untuk melampiaskan dendamnya sekaligus memberi peringatan kepada siapa saja yang terlibat memerangi mereka dan yang ingin terlibat. Turki, Irak, Belgia, Prancis, Jerman, dan masih banyak negara lagi harus mengadapi aksi nekad sel-sel ISIS di negara-negara tersebut.
Kelompok itu sangat membutuhkan aksi teror untuk menggetarkan musuh-musuhnya. Bagaimanapun, kelompok horor itu sama sekali belum bisa dikatakan telah tamat. Tapi kekuatan mereka telah menjadi puing-puing yang berserakan. Mereka memang telah habis sebagai institusi negara di Irak Utara, tetapi masih eksis di sebagian wilayah Suriah Utara. Pusat “pemerintahan” kelompok itu berada di Raqqa.
Misi terbesar kelompok itu sekarang tentu adalah mempertahankan kekuasaan di Raqqa dan sekitarnya. Setelah ISIS di Mosul tumbang, praktis tak ada dukungan langsung dari Irak ke wilayah itu untuk mendukung keberadaan mereka di Raqqa. Kelompok itu juga sedang kelabakan sebab provinsi-provinsi mereka di berbagai negara juga terdesak hebat.
Provinsi-provinsi itu antara lain di Sinai, Mesir, sebagian wilayah di Libya, Afghanistan, Somalia, dan beberapa tempat lainnya. Provinsi itu sebenarnya hendak disiapkan menjadi ibu kota pengganti Mosul dan Raqqa, jika keduanya tumbang. Faktanya, provinsi-provinsi yang semula mengalami peningkatan drastis itu juga dihajar oleh negara-negara besar dan kawasan. Provinsi-provinsi (ISIS menyebut wilayat) itu tak lagi bisa diandalkan.
Kelompok ini pun berupaya mencari spot-spot yang jauh dari arena konflik tradisional di Timur Tengah. Salah satu sasarannya adalah Asia Tenggara. Kawasan ini menjadi salah satu pilihan bagi konsentrasi penguatan kelompok itu di Marawi. Kendati masih sangat kecil jika dibandingkan provinsi-provinsi ISIS, kelompok ISIS Marawi telah menjadi ancaman serius bagi kawasan.
Skenario membangun basis wilayah teritorial adalah doktrin kelompok ISIS yang membedakannya dari pendahulunya, Tandzim al-Qaida. ISIS tak mau menyerah untuk membangun basis wilayah yang kuat. Mereka masih tak mau untuk kembali menjadi sekadar “tamu” di banyak negara sebagaimana jaringan al-Qaeda sebelumnya. Karena itu, mereka berjuang keras menguasai wilayah, kendati sudah hancur di Irak dan babak belur di Suriah.
ISIS sesungguhnya sudah memiliki sel-sel yang luas di banyak negara saat ini. Buktinya adalah aksi-aksi yang mereka lakukan selama ini. Sel-sel itu kemungkinan tidak surut, kendati pusat teritorial kelompok itu sudah dihancurkan. Jika mereka ingin menjadi sekadar tamu sebagaimana strategi al-Qaeda, sesungguhnya mereka sudah mampu. Tapi kelompok itu sepertinya bersikeras untuk membangun basis teritorial.
Aksi brutal di London sepertinya diarahkan untuk tujuan itu. Yakni, mempertahankan survival mereka di basis-basis teritorial yang mereka miliki saat ini. Kini mereka tengah mati-matian mempertahankan kekuasaan teritorial di beberapa wilayah di Suriah. Aksi brutal ini adalah pesan kepada pihak-pihak yang memerangi mereka di Suriah. Mereka ingin siapa saja yang hendak menghancurkan mereka di Suriah agar berpikir ulang dengan risiko sebagaimana yang terjadi di London.
Kelompok dengan ideologi tawakhkhusy (brutalitas) ini tentu siap melakukan apa saja untuk mempertahankan kekuasaan teritorialnya. Karena itulah ancaman ISIS sesungguhnya masih besar, kendati mereka sudah hancur di Irak, dan terdesak hebat di Raqqa dan sejumlah provinsinya. Wallahu a’lam
Kolom terkait:
Melacak Jejak Panas ISIS di Afghanistan