Senin, April 29, 2024

Takdir Pilu Perempuan Rohingya

Maya Dania
Maya Dania
Pengajar di School of Liberal Arts, Mae Fah Luang University di Chiang Rai, Thailand. Meraih gelar S1 dari Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta (2004) dan S2 dari Kajian Asia Tenggara dan ASEAN di Chulalongkorn University, Bangkok (2013). Telah menerbitkan sebuah buku budaya dan sejarah Thailand berjudul “Diary dari Bangkok” (2016). Aktif menulis di berbagai media, termasuk Kompas, the Jakarta Post, dan di surat kabar di Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Warga Rohingya duduk di wilayah Bangladesh akibat tidak diizinkan masuk oleh Garda Perbatasan Bangladesh (BGB), untuk masuk Bangladesh, di Cox Bazar, Bangladesh, Senin (28/8). ANTARA FOTO/REUTERS/Mohammad Ponir Hossain

Jumat, 1 September 2017, masyarakat Indonesia dan seluruh masyarakat Muslim lain di kawasan Asia Tenggara merayakan Hari Raya Idul Qurban. Gegap gempita dan takbir melingkupi suasana damai di tanah bumi pertiwi. Tetapi, di bagian bumi lain, di Myanmar, konflik hebat melanda Muslim Rohingya dan nasib perempuannya tak ubahnya seperti kutukan.

Tepat di Jumat itu, yang kini disebut Jumat kelabu/kelam oleh Rohingya, lebih dari 38.000 Muslim Rohingya benar-benar kehilangan tempat tinggal dan berlari menuju lokasi perbatasan negara Myanmar dan Bangladesh untuk menyelamatkan diri. Darah telah tertumpah dari 400 orang akibat tragedi yang mulai kembali memanas sejak Oktober 2016 di Rakhine State.

Sebelum Jumat kelabu terjadi, pada 25 Agustus 2017, sekelompok orang yang mengaku kelompok militan Muslim Rohingya, yang dikenal sebagai ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army), menyerang pos penjagaan militer dan polisi di kasawan utara Rakhine State. Kelompok yang sama juga bertanggung jawab atas penyerangan terhadap puluhan pos keamanan Myanmar pada Oktober 2016.

Upaya penyerangan berkali-kali itu ternyata berdampak sangat tragis terhadap masyarakat sipil Rohingya, karena rezim militer Myanmar berbalik menggelar operasi militer di Rakhine State yang juga berdampak pada upaya “pembersihan etnis” (genosida) tanpa mengenal ampun.

Pemerintah Thailand sebagai tetangga terdekat Myanmar telah diminta untuk tidak mencampuri urusan internal Myanmar. Thailand juga diminta untuk mengawasi pergerakan komunitas Rohingya di kota perbatasan Mae Sot, karena adanya potensi “cross-border terrorism” atau aktivitas terorisme terselubung ARSA yang mengatasnamakan komunitas Rohingya.

Di Rakhine State, Muslim Rohingya menempati 35 persen populasi masyarakatnya. Di sana juga terdapat lebih dari 1.200 masjid dan sekolah-sekolah Islam. Hingga saat ini, ARSA telah mengadakan perlawanan terhadap militer Myanmar dan mendirikan kawasan khusus Rohingya di Maungdaw District, utara Rakhine State, dan menuntut untuk mendirikan Negara Islam di sana.

ARSA mengklaim Rakhine State adalah milik Rohingya dan pihak pemerintah Myanmar juga memiliki ketakutan berkembangnya populasi Rohingya yang dianggap mengancam keberadaan kaum Buddhis lokal. Tuntutan tak berujung ARSA yang ditanggapi dengan kepala panas oleh pemerintah Myanmar telah mengorbankan puluhan ribu jiwa Muslim sipil yang menempati Rakhine, khususnya para perempuan Rohingya. Sebab, selama masa operasi militer yang dilakukan di Rakhine, pemerkosaan dan penyiksaan menjadi sebuah kutukan yang tidak dapat dihindari oleh perempuan Muslim Rohingya.

Human Rights Watch menyatakan bahwa tim investigasi internasionalnya menemukan fakta-fakta bahwa militer Myanmar melakukan strategi pemerkosaan sistematik untuk menyingkirkan etnis Rohingya. Militer Myanmar dan petugas keamanan perbatasan memperkosa perempuan Rohingya secara brutal di Rakhine State. Sebuah laporan mengejutkan juga telah dirilis oleh United Nations Office of the High Commission of Human Rights (OHCHR) yang memberikan konfirmasi tindakan pemerkosaan sistematis terhadap perempuan Muslim Rohingya.

Di dalam laporan tersebut disebutkan, Ayesha, seorang perempuan Rohingya berusia 20 tahun, bersaksi dengan mengatakan, “Mereka (pasukan berseragam) menyerang perkampungan kami dan mengelilingi rumah-rumah. Mereka mencari (perempuan) dan mengumpulkan 15 perempuan muda seperti kami. Kami dipukuli dengan bambu dan ditendang dengan kerasnya sepatu. Setelah itu, (beramai-ramai) mereka melakukan tindakan itu.”

Pasukan yang menyerang pedesaan Rohingya melakukan tindakan pemerkosaan terhadap para perempuan dengan menodongkan senjata dan siksaan fisik. Selain itu, operasi keamanan juga menyiksa dan membunuh anggota keluarga lain. Hampir di seluruh desa Rohingya yang diserang oleh pihak keamanan, terdengar suara jeritan perempuan dan darah yang mengalir tanpa ada yang mampu mencegah.

Sebelum abad ke-20, pemerkosaan dianggap sebagai hadiah atau trofi atas kemenangan di peperangan. Di dalam situasi konflik atau perang, tindakan pemerkosaan digunakan untuk menghukum, mengintimidasi, dan memaksa korban untuk meninggalkan kawasan mereka tinggal. Meski demikian, aksi pemerkosaan telah dianggap sebagai kejahatan perang di bawah 1907 Hague Convention dan 1949 Geneva Convention. Pemerkosaan di dalam konflik atau perang adalah kejahatan serius yang dikecam oleh masyarakat internasional.

Di dalam konflik berkepanjangan antara Muslim Rohingya dan rezim pemerintah Myanmar, para perempuan tetap menjadi korban yang paling menanggung derita. Pemerkosaan kerap dilakukan oleh pihak keamanan Myanmar sebagai bagian dari upaya pengusiran dan pembersihan kawasan. Pemerkosaan itu dikatakan sebagai aksi sistematis, sebab ia memiliki pola berulang, seperti kesengajaan untuk mencari dan mengumpulkan, serta mengkategorikan usia perempuan untuk kemudian diperkosa.

Meskipun demikian, pihak pemerintah Myanmar masih belum mengakui adanya tindakan yang melukai HAM untuk Muslim Rohingya. Dalih yang terus disebutkan adalah pasukan pemerintah Myanmar memasuki kawasan pedesaan, seperti desa U Shey Kha di Rakhine untuk mencari keberadaan kelompok Al-Yakin Mujahidin, salah satu bagian dari kelompok pemberontak ARSA.

Mantan Sekretaris Jendral PBB, Kofi Annan, juga telah berbicara terkait tragedi kelam Muslim Rohingya di Myanmar agar jalan tengah dan perdamaian bisa dicapai oleh kedua pihak yang berseteru. Masyarakat internasional juga telah terus mendesak pemerintah Myanmar agar meninjau kembali sistem dan kategori kewarganegaraan di Myanmar yang turut memberikan jalan buntu bagi penyelesaian konfik di negera tersebut.

Tidak adanya kepercayaan di antara kedua belah pihak juga memperkeruh situasi di Rakhine State. Namun demikian, tindak kekerasan bukanlah jalan keluar bagi tragedi yang dialami masyarakat sipil Rohingya, khususnya kaum perempuan Muslimnya. Setiap detik hidup dan nyawa para perempuan Muslim Rohingya dipertaruhkan, dan setiap detik kejahatan di dalam situasi konflik dan perang terus terjadi.

Kolom terkait:

Persekusi dan Nestapa Muslim Rohingya di Myanmar

Rohingya: Etnis yang Dihapus

Suu Kyi dan Kenaifan Orang Indonesia

Maya Dania
Maya Dania
Pengajar di School of Liberal Arts, Mae Fah Luang University di Chiang Rai, Thailand. Meraih gelar S1 dari Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta (2004) dan S2 dari Kajian Asia Tenggara dan ASEAN di Chulalongkorn University, Bangkok (2013). Telah menerbitkan sebuah buku budaya dan sejarah Thailand berjudul “Diary dari Bangkok” (2016). Aktif menulis di berbagai media, termasuk Kompas, the Jakarta Post, dan di surat kabar di Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.