Kekerasan bersenjata yang memakan ratusan korban jiwa warga minoritas Muslim Rohingya kembali terjadi di Rakhine State, Myanmar, sejak 25 Agustus 2017.
Pembantaian dan persekusi atas warga Rohingya itu dilakukan oleh militer Myanmar. Alasannya, untuk membalas serangan kelompok bersenjata The Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) yang, menurut Pemerintah Myanmar, dibentuk untuk membela warga Rohingya.
Setidaknya sekitar 400 warga Rohingya dilaporkan tewas oleh aparat militer Myanmar dan puluhan ribu lainnya mengungsi ke berbagai wilayah untuk menyelamatkan diri. Di antaranya, mereka–termasuk anak-anak, perempuan, dan lanjut usia–mengungsi di dalam hutan tanpa adanya air bersih dan makanan yang memadai dan menyeberang ke Bangladesh.
Rumah-rumah warga Rohingya dibumihanguskan oleh militer Myanmar dengan dalih mencari pasukan ARSA yang tindakannya diduga telah mengakibatkan terbunuhnya ratusan anggota pasukan militer Myanmar. Tindakan militer Myanmar yang membabi buta itu telah menyalahi hukum internasional dan HAM.
Kejadian ini bukan yang pertama kali dan bukan pula yang terakhir, karena tidak adanya penanganan kekerasan dan pelanggaran HAM oleh militer dan pemerintahan Myanmar yang saat ini di bawah kendali Aung San Suu Kyi , termasuk adanya pembiaran dari komunitas internasional.
Sikap Suu Kyi, peraih nobel perdamaian pada 1991 itu, yang menuduh warga Rohingya mendukung kelompok teroris sangat tidak bijaksana dan mencerminkan sikapnya yang anti-HAM. Pada 2012, Suu Kyi juga meraih Havel Price, sebuah penghargaan prestisius untuk keberaniannya meneriakkan HAM.
Hal ini sungguh ironis karena sebagai ikon perdamaian dan pejuang HAM, sikap Suu Kyi telah menodai esensi dari nobel perdamaian dan penghargaan HAM yang diraihnya. Akibatnya, muncul tuntutan agar penghargaan nobel perdamaian untuk Suu Kyi ditarik kembali.
Menurut sejarah, warga Rohingya telah eksis sejak beberapa abad yang lalu di wilayah yang saat ini bernama Myanmar. Saat ini, diperkirakan ada sekitar 1,1 juta warga Rohingya di kawasan Asia Tenggara.
Meski telah eksis sejak lama, keberadaan etnis Rohingya diabaikan oleh pemerintah Myanmar, dengan tidak dimasukkannya mereka dalam daftar 135 kelompok etnis minoritas di Myanmar. Sejak 1982, Mereka ditolak menjadi warga negara Myanmar karena dianggap bukan bagian dari bangsa Myanmar.
Sebagamana ditulis Al-Jazzera, warga Muslim Rohingya telah eksis sejak abad ke-12. Semasa penjajahan Inggris (1824-1948), terjadi arus migrasi tenaga kerja ke wilayah yang saat ini bernama Myanmar dari wilayah yang saat ini bernama India dan Bangladesh. Karena pada saat ini Myanmar dianggap sebagai bagian dari wilayah India, maka pemerintah kolonial Inggris menganggap hal itu sebagai peristiwa internal (urusan dalam negeri).
Setelah meraih kemerdekaan pada 1948, Pemerintah Myanmar menganggap bahwa arus migrasi warga Rohingya itu sebagai tindakan ilegal (Human Rights Watch, 2000). Sikap dan kebijakan ini berlanjut dan menimbulkan tensi serta kekerasan selama puluhan tahun hingga saat ini.
Pengabaian atas eksistensi Rohingya diinstitusionalisasikan dalam bentuk Undang-Undang tentang Kewarganegaraan pada 1982, dengan tidak dimasukkannya etnis Rohingya sebagai bagian dari bangsa Myanmar (International Human Rights Clinic Yale Law School, 2015).
Namun, bagi warga Rohingya yang telah hidup setidaknya selama dua generasi, dapat mengajukan permohonan Kartu Tanda Penduduk, bahkan kewarganegaraan.
Lantas, kondisi berubah total sejak militer mengambil alih kekuasaan pada 1962, di mana setiap warga negara Myanmar harus memiliki Kartu Registrasi Nasional. Sementara bagi Rohingya, hanya diberikan Kartu Identitas Warga Negara Asing yang membatasi hak-haknya. Hal ini sampai kemudian pada 1982 ketika UU tentang Kewarganegaraan tidak mengakui keberadaan etnis Rohingya, yang berakibat pada status mereka sebagai warga tanpa kewarganegaraan (stateless).
Sesudah serangan militer atas warga Rohingya sejak 25 Agustus 2017, mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Annan menghubungi Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Annan meminta agar Indonesia mengimplementasikan hasil laporan soal Rohingya dari Annan Advisery Commission atau Komisi Penasihat Annan.
Pada September 2016, dibentuk Komisi Penasihat Annan atas kerjasama antara Pemerintah Myanmar dan Kofi Annan Foundation. Tujannya, untuk merumuskan dan memberikan rekomendasi guna memperbaiki kesejahteraan warga di Rakhine State, khususnya Rohingya.
Komisi itu bekerja secara netral dan imparsial, beranggotakan enam tokoh Myanmar dan tiga ahli internasional, satu diantaranya adalah Koffi Annan.
Cakupan kerja Komisi adalah terkait dengan aspek kemanusiaan, akses atas kebutuhan dasar, kewarganegaraan, dan keamanan. Komisi ini telah menyelesaikan draft laporan dan berencana menyampaikannya ke Pemerintah Myanmar akhir Agustus 2017.
Namun, rencana itu kandas karena terlebih dahulu terjadi kekerasan bersenjata yang telah menewaskan sekitar 400 warga Rohingya dan puluhan ribu lainnya mengungsi. Patut diduga, ada unsur sabotase dari pihak yang tidak senang dengan kerja Komisi Annan.
Padahal, Komisi Annan telah melewati proses konsultasi publik yang luas dan partisipatif, dengan melakukan setidaknya 115 pertemuan dengan berbagai pihak, baik di Myanmar dan Bangladesh, serta dengan organisasi-organisasi internasional.
Dalam rekomendasinya, Komisi Annan meminta kepada Pemerintah Myanmar agar memberikan akses yang seluas-luasnya bagi misi kemanusiaan dan media massa. Atas kejahatan dan pelanggaran HAM yang terjadi, Komisi Annan meminta dibentuknya Tim Investigasi Independen untuk meminta pertanggungjawaban pelakunya.
Komisi Annan juga merekomendasikan adanya tim gabungan antara Myanmar dan Bangladesh untuk memfasilitasi dan memverifikasi arus pengungsi yang melewati batas kedua negara, melakukan pemberdayaan sosial dan ekonomi, dan memfasilitasi pelatihan bagi aparat keamanan kedua negara.
Selain itu, Komisi juga melakukan program verifikasi dan pemberian akta kelahiran, dialog secara komunal, dan melakukan pertemuan serta pembahasan reguler di tingkat ASEAN atas implikasi konflik Rohingya yang bisa berdampak ke stabilitas politik kawasan.
Rekomendasi yang cukup komprehensif itu semestinya ditindaklanjuti oleh Pemerintah Myanmar, dengan bantuan dan pendampingan oleh PBB dan ASEAN. Rekomendasi itu mempunyai kekuatan dan legitimasi karena dilakukan secara partisipatif, terbuka, dan berisi tokoh-tokoh yang kredibel.
Namun demikian, ada yang terlewat di dalam pencermatan Komisi Annan, yaitu adanya dugaan keterlibatan sektor bisnis, khususnya di bidang minyak dan gas atas konflik di Rakhine State.
Diduga, ada upaya mendestabilisasi wilayah dan mengusir warga Rohingya agar bisnis sumber daya alam yang melibatkan korporasi dari beberapa negara itu tetap berjalan.
Hal ini harus ditelusuri dengan mengacu pada Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM, korporasi harus mematuhi dan menghormati HAM di dalam menjalankan bisnisnya. Apabila dugaan keterlibatan korporasi terbukti, mereka harus bertanggungjawab memulihkan hak-hak warga Rohingya yang dilanggar.
Sebagai negara tertua di ASEAN dan berpengaruh kuat, Pemerintah RI mempunyai kewajiban agar konflik dan kejahatan HAM atas warga Rohingya teratasi, berbasis pada rekomendasi Komisi Annan dan mendorong adanya investigasi lanjut atas dugaan keterlibatan korporasi di dalam kekerasan atas Rohingya melalui mekanisme regional di ASEAN.
Kolom terkait:
Persekusi dan Nestapa Muslim Rohingya di Myanmar
Nestapa Muslim Rohingya yang Belum Berujung
Rohingya, Ahmadiyah, dan Mereka yang Luput dari Kemanusiaan Kita