Pemilihan Umum Mesir telah berakhir. Pemilu yang memakan waktu selama tiga hari itu tidak menimbulkan banyak kejutan. Pemenangnya, sesuai prediksi baik dari media dalam negeri maupun luar negeri, yakni Abdel Fattah El-Sisi.
Hanya, prediksi survei sedikit meleset. Jika dua minggu lalu Sisi diprediksi akan menang dengan persentase 92%, ternyata hasil pemilu melebihi prediksi. Sisi berhasil menang dengan persentase 97%.
Tempo lalu saya pernah menulis apa jadinya pemilu Mesir tanpa oposisi? Apakah akan terjadi revolusi?
Prediksi saya saat itu adalah, jika tanpa oposisi, pemilu berlangsung damai. Sebaliknya, jika ada oposisi, terjadilah revolusi. Namun, ternyata, prediksi saya meleset. Tak ada revolusi sama sekali. Bahkan, detik-detik terakhir ada lawan dari Sisi, yakni Moussa Mustafa Moussa.
Saya mengatakannya lawan. Bukan musuh, apalagi oposisi. Moussa hanyalah “boneka” yang dijadikan oleh Sisi sebagai lawan agar pemilu Mesir tidak diselenggarakan hanya dengan menghadirkan calon tunggal.
Tentu Sisi akan khawatir dengan reaksi dari publik dalam negeri jika nantinya hanya dia yang maju sebagai calon presiden. Meskipun sejak awal Sisi yakin akan menang, rasanya tak elok jika tak mendapat perlawanan dari kubu lain.
Sayangnya, lima bakal calon sebelumnya tak jadi maju akibat “intimidasi” dari kubu Sisi. Alhasil, justru Moussa yang notabene adalah pendukung Sisi didorong maju sebagai lawannya.
Moussa pun hanya mendapatkan 3% dari total pemilih, 23 juta orang. Saya berpikir mungkin yang memilih Moussa adalah orang-orang yang disuruh Sisi atau sekumpulan kecil orang (oposisi) yang tidak ingin melihat Sisi menang mutlak.
Lalu, apa makna dari kemenangan Sisi? Apa benar kemenangan Sisi adalah kehendak rakyat? Atau adakah potensi revolusi?
Anomali Kemenangan Sisi
Setelah kemenangan Sisi, tak ada parade kemenangan, baik dari militer maupun rakyat sipil. Tampaknya, rakyat Mesir sadar bahwa lambat ataupun cepat Sisi akan kembali meneguhkan takhta sebagai penguasa Mesir selama dua periode.
Kampanye dengan slogan “For the love of Egypt” atau “We are all with you for the sake of Egypt” tampaknya dianggap oleh masyarakat hanya sebagai kampanye bias. Toh, nyatanya tak ada perubahan berarti dari Mesir.
Perekonomian Mesir biasa saja. Tak ada yang spesial. Tak ada peningkatan yang signifikan. Infrastruktur berjalan sekenanya. Justru, ada slogan “New Cairo” yang terletak di gurun-gurun. Di sana akan dibangun perumahan yang nantinya terbebas dari tumpukan sampah dan bau tak sedap yang biasa turis temukan di kota Kairo.
Kejahatan seksual acap kali terjadi. Bahkan, Kairo dinobatkan sebagai tempat paling tidak aman bagi kaum perempuan,m engalahkan kota-kota besar seperti Tokyo atau Jakarta.
Namun, ini yang agak unik. Istri saya saat bertugas di sana mengatakan bahwa Mesir lebih baik dipimpin oleh militer. Alasannya, sebagian rakyat Mesir sangat tidak teratur. Administrasi sungguh lamban. Kehidupan kota, terutama di Kairo, sangatlah bising.
Nah, militer mampu mengendalikan itu. Setidaknya sebagian rakyat Mesir boleh dikatakan benci tapi rindu dengan kehadiran militer.
Namun begitu, kemenangan Sisi dinilai positif oleh dunia internasional. Salah satunya adalah Amerika Serikat. Secara khusus, Trump mengucapkan selamat kepada Sisi karena telah berhasil memenangkan pemilu. Trump menilai Sisi mampu menjaga kawasan perdamaian di Timur Tengah.
Ini tak lepas tanggapnya pasukan Mesir untuk mengusir ISIS dari wilayahnya. Meskipun sempat kecolongan dengan gerak teroris saat mengebom gereja dan masji beberapa pekan silam, Mesir masih dianggap AS mampu mengendalikan ISIS agar tak merangsek lebih ke dalam kawasan Mesir.
Sejatinya ucapan selamat dari Trump adalah bias makna. Dengan kemenangan Sisi, penjualan senjata kepada Mesir tetap langgeng. Global Firepower merilis laporan tahun 2017 bahwa kekuatan militer Mesir termasuk dalam daftar sepuluh besar terbaik dunia. Bahkan, jika ukuran Timur Tengah, Mesir menempati urutan kedua setelah Turki.
Potensi Revolusi
Lalu, apakah rakyat Mesir diam saja? Apakah Sisi akan tetap melenggang dengan kekuasaan (yang mungkin) absolut?
Ini menjadi pertanyaan rumit. Namun, yang pasti perlakuan Sisi yang menjurus tirani telah terjadi sehari pasca kemenangannya. Harian Masr al-Arabia dibredel karena mengabarkan berita yang menyudutkan Sisi.
Dengan dibredelnya Masr al-Arabia berarti menambah daftar panjang media daring yang tak boleh lagi beroperasi. Jumlahnya hampir mencapai 500. Tentu saja pembredelan seperti ini mengingatkan saya pada kasus Tempo dan Kompas yang dilarang beroperasi setelah mengkritik Soeharto di era Orde Baru.
Pembredelan tersebut menjadi salah satu bukti bahwa Sisi membawa Mesir ke arah otoriter. Kritik harus dibungkam. Tak peduli kritik yang benar-benar kritik atau kritik yang membangun.
Tentu saja persoalan kritik tak hanya menjangkit di Mesir. Indonesia pun mengalami hal serupa. Hadirnya UU MD3 diyakini akan memperlemah tindakan masyarakat Indonesia untuk melaporkan pihak-pihak yang berwenang jika ada anggota DPR yang diduga melakukan tindak kriminal.
Seharusnya Mesir belajar dari Indonesia. Sekuat-kuatnya pemerintahan otoriter, pasti akan jatuh juga. Rakyat melalui cara apa pun akan berusaha semaksimal mungkin untuk memperjuangkan hak-haknya.
Sehebat apa pun Sisi mengendalikan pemerintahannya, suatu saat akan ada celah kecil terhadap dirinya untuk jatuh dari puncak kekuasaannya. Tinggal menunggu waktu saja, Sisi.
Kolom terkait:
Pemilu Abal-Abal di Mesir dan Transisi yang Salah