Fenomena imigran dan anti-Muslim kian merebak di wilayah Eropa. Gelombang partai sayap kanan ditengarai siap menyeruak sebagai pengejawantahan asli masyarakat Eropa.
Merujuk fakta sejarah, kaum imigran di wilayah Eropa telah ada sejak abad ke-18 (Engler, 2007). Pada mulanya mereka datang sebagai pekerja buruh. Saat itu Eropa membutuhkan pekerja buruh akibat banyaknya masyarakat lokal yang tewas dalam Perang Dunia I. Salah satu negara yang membutuhkan keberadaan tenaga kerja buruh adalah Italia, Belgia, Cekoslowakia, dan Prancis.
Gelombang imigran yang datang ke Prancis mencapai 2,7 juta jiwa pada tahun 1930. Jumlah tersebut termasuk terbesar kedua setelah jumlah imigran di Amerika Serikat. Rata-rata imigran yang ada di Prancis adalah masyarakat yang berasal dari Aljazair, Maroko, dan Tunisia. Hal ini dikarenakan ketiga negara tersebut adalah bekas jajahan Prancis sehingga mudah bagi mereka untuk masuk ke wilayah Prancis.
Ketiga negara tersebut (baca: kaum maghribi) adalah masyarakat yang didominasi oleh kaum Muslim. Mulanya, mereka hanya masuk ke Prancis sebagai tenaga buruh. Namun, karena mereka merasa sukses, maka mereka membawa sanak familinya untuk bertempat tinggal di Prancis. Pada abad ke-21, jumlah imigran Muslim yang ada di Eropa mencapai 15 juta jiwa. Sepertiga dari jumlah tersebut berada di Prancis atau sekitar 10% dari jumlah total penduduk Prancis (Pabottingi, 2008).
Pemilihan Umum
2017 adalah tahun Pemilu di Prancis. Pemilu tersebut merupakan pemilihan ke-11 pada masa Republik ke-5 Prancis. Pemilu ini juga terhitung pemilihan ke-10 yang menggunakan hak suara universal. Di tahun 2017, Prancis akan melalui pemilihan dengan melewati empat putaran.
Putaran pertama akan dilangsungkan pada 23 April. Jika tak mencapai mayoritas, maka akan diadakan putaran kedua yang dijadwalkan pada 7 Mei. Sedangkan dua putaran selanjutnya untuk menentukan kursi parlemen (legislatif) dijadwalkan pada pertengahan Juni.
Saat ini ada 6 calon presiden dari berbagai partai. Ada politikus sayap kiri Benoit Hamon dari Partai Sosialis, Marine Le Pen yang mewakili kaum ekstrem kanan dari Partai Nasional, Francesco Fillon dari Partai Republik, Emmanuel Macron mewakili kaum moderat, dan Jean-Luc Melenchon, serta Nicolas Dupont-Aignan. Namun dari semua kandidat, Marine Le Pen dan Macron banyak disebut sebagai yang terkuat.
Marine Le Pen membawa semangat anti-Muslim dan anti-imigran. Hal ini dipengaruhi pula oleh ayahnya, Jean-Marie Le Pen, salah satu tokoh di Partai Nasional. Jean-Marine Le Pen bahkan pernah berkata kepada publik bahwa, “to be French, you have to deserve it”. Hal ini dianggap menyindir kaum imigran, utamanya Muslim, yang kian hari jumlahnya makin membengkak di Prancis (Sekher, 2010).
Marine Le Pen dijagokan bakal memenangi putaran pertama pemilu Perancis. Setidaknya itulah hasil survei yang dilakukan oleh lembaga survei setempat pada akhir Februari 2017. Menariknya, masyarakat Prancis gamang dalam hal pilihan. Hal ini tercermin dari survei terakhir bahwa Macron yang akan memenangkan pemilihan umum putaran kedua.
Ketatnya persaingan antara keduanya membuat pemilu Prancis kian menarik disimak. Proposal dan tujuan Marine Le Pen sangat jelas. Mengusir imigran yang terlalu banyak yang berkontribusi meningkatkan jumlah pengangguran di wilayah Prancis, utamanya di kota pinggiran.
Proposal Marine Le Pen didukung banyak pihak yang notabene adalah kaum ekstrim kanan, di antaranya ada politisi Belanda Geerts Wilders dan Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih Donald Trump. Marine Le Pen bahkan bercita-cita pula meniru jejak Inggris dengan keluar dari Uni Eropa (baca: Frexit).
Macron yang dianggap moderat tak menyetujui namun tidak juga menolak bahwa imigran menjadi masalah bagi masyarakat Prancis. Proposal Macron lebih mengedepankan bagaimana menangkis gelombang sayap kanan yang kian lama mengular di Eropa, khususnya Prancis. Namun, tak mudah melawan Marine Le Pen yang memiliki pendukung loyal dan fanatik cukup banyak.
Masa Depan Imigran Muslim
Kasus Charlie Hebdo hingga penyerangan Paris beberapa bulan silam menjadi noktah hitam dalam sejarah berdirinya Perancis. Teror dan pergolakan tersebut dianggap tidak akan sirna selama imigran dibiarkan berkeliaran di wilayah Prancis.
Lebih menyesakkan lagi bahwa pelaku teror tersebut dikaitkan dengan identitas Muslim.
Dalam jurnal Diadems of the Decade from October, 2007, Vol. 18 hal. 30, diungkapkan bahwa akan terjadi peningkatan populasi kaum imigran Muslim setidaknya hingga 20 juta orang. Kemungkinan yang terjadi pula adalah gelombang imigran Muslim mencapai puncaknya pada tahun 2050.
Laporan Pew Research Center tentang The Future of World Religion: Population Growth Projections, 2010-2050 juga menjelaskan bahwa gelombang Muslim tidak hanya membanjiri dan memenuhi melainkan akan berjumlah sama dengan Kristen. Jika Kristen diprediksikan akan mencapai 2,9 miliar penganut, maka Muslim akan mencapai 2,8 miliar pada tahun 2050.
Survei maupun prediksi tentang laporan tersebut bisa menjadi acuan bagi para politisi ekstrim sayap kanan untuk menggelorakan kembali semangat nasionalis masyarakat Eropa. Jika mereka khawatir dengan gelombang imigran Muslim, sejatinya hal tersebut adalah wajar. Siapa dan negara mana yang mau kehilangan bahkan tercerabut dari akar identitas masyarakat aslinya? Inilah slogan yang didengungkan Donald Trump, Geert Wilders, maupun Marine Le Pen.
Marine Le Pen tentu akan lebih khawatir jika masyarakat asli Prancis akan tergerus akibat menjamurnya gelombang imigran Muslim sejak Revolusi Arab Spring 2011. Akhirnya, sentimen anti-imigran dan anti-Muslim digaungkan dengan dalih menyelamatkan entitas dan identitas masyarakat Prancis.
Berkaca dari Eropa, khususnya Prancis, masyarakat Indonesia juga mengalami fenomena serupa. Gelombang pekerja asing Amerika, Eropa, dan khususnya imigran yang berasal dari Cina, diklaim telah membanjiri wilayah Indonesia sebanyak 10-20 juta orang. Ini yang menstimulus teriakan, keluhan, bahkan ancaman kepada pemerintah Indonesia, karena negara dinilai tidak melindungi masyarakat Indonesia dengan sebaik-baiknya.
Sebagai negara dengan masyarakat mayoritas Muslim, bangsa Indonesia dengan penuh percaya diri mengutuk dan menyumpah gelombang populisme yang menyeruak di Eropa, karena diklaim menindas Muslim. Namun, kita lupa bahwa Eropa juga bisa melakukan hal yang demikian kepada pemerintah dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, karena kita diklaim menindas dan bersikap tidak adil pada pekerja asing.